01 Oktober 1274 AG - 07:30 Am
Kota Tigris - Distrik Merah
—————
"Aroma wine ini nikmat sekali. Tapi tidak ada yang lebih nikmat dari bau kemenangan, hahahahaha!"
Seorang pria berambut pirang emas meneguk minuman dari gelas kristal. Dia menyandarkan badannya di ranjang itu ditemani seorang perempuan setengah telanjang.
"Kamu mencintaiku, manis? Kamu tahu serindu apa aku padamu?"
"Iya, Tuan Preponte," jawab seorang perempuan yang nampaknya pertengahan 20-an.
Preponte bahagia. Setelah hampir dua minggu lamanya, dia akhirnya bertemu lagi dengan kekasih yang dia cintai. Berkeping-keping gold dia bayarkan agar kekasihnya itu tidak bosan menyatakan kata sayang. Di rumah bordil itu Preponte menghanyutkan dendamnya bersama alkohol dan wanita penghibur. Karena kemarahannya, dia menginap terus-terusan di distrik merah.
Dirinya lah sang Stauven sejati. Itulah yang Preponte pikirkan melihat warna rambut dan pupil matanya. Dia adalah bagian dari Stauven konservatif yang mempertahankan budaya-budaya baku masa lalu. Preponte bangga terlahir sebagai Stauven. Dia bangga menjadi bagian dari clan pemberani itu.
Keluarga Stauven memiliki budaya militer yang ketat. Mereka adalah clan yang tidak akan menitikkan airmata andaikata anak-anak mereka pulang dari perang dalam keadaan tidak bernyawa. Kebanggaan itu diwariskan turun temurun sehingga Stauven menjadi bangsawan militer paling berpengaruh. Semua Stauven memimpikan pencapaian di medan laga, termasuk Preponte sendiri. Dia selalu bermimpi disematkan medali kehormatan dari sang raja karena prestasinya sebagai prajurit.
Preponte sangat menginginkannya.
Meski faktanya, keinginan itu hanya sekedar keinginan.
Semua anak-anak Stauven mendapat kesempatan membuktikan kelayakan mereka setelah berusia 14 tahun. Para orang tua akan mengirim anak-anaknya ke medan perang lima tahun lamanya demi menjadi seorang knight. Di lima tahun mengadu nyawa itu orang tua harus melupakan anak-anaknya. Jika mereka pulang dengan keberhasilan, maka nama Stauven layak mereka sandang. Tapi jika mereka pulang bersama peti mati, maka anak itu dianggap tidak pernah lahir sama sekali.
Itulah jalan suci yang dipuja para Stauven.
Tapi bagi seorang Preponte, budaya itu adalah kutukan. Prestasi seperti apakah yang yang Preponte torehkan sebagai Stauven?
Nol!
Tidak ada prestasi apapun selain kebanggaan semu karena warna rambut dan pupil itu. Di lubuk hati yang terdalam, Preponte mengakui bahwa dirinya hanyalah pecundang. Mimpinya hancur lebur karena ketakutannya sendiri pada budaya Stauven yang dia anggap sebagai kutukan. Preponte takut. Dia selalu memberi alasan setiap kali ayahnya handak mengirimnya ke medan perang. Dia selalu menunda-nunda karena belum terbiasa jika tidak ada satu orang pun yang melindunginya.
Tahun demi tahun pun terlewati.
Preponte baru sadar usianya bukan anak-anak lagi.
Dia terlambat.
Dia resmi menjadi Stauven gagal.
Cacian para Stauven seperti tombak yang menusuk telinganya. Di manapun Preponte berada, dia pasti mendapatkan tatapan penghinaan. Dan di puncak penghinaan itu dia dipecundangi seseorang yang dia anggap sebagai Stauven palsu. Di saat dia gigih beralasan, anak marquis berani terjun ke medan perang saat usianya masih 11 tahun. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Simian pulang membawa prestasi yang sangat mengerikan.
Simian menjadi earl di usianya yang baru menginjak 18 tahun. Preponte iri. Simian seperti aib yang tidak bisa lepas dari pikirannya.
Apa yang salah dengan dunia? Sampai detik ini Preponte tidak terima Stauven palsu itu punya gelar yang sama seperti ayahnya. Dengan menelan semua harga dirinya, Preponte berhenti sebagai prajurit dan mengawali karirnya sebagai petualang.
Tidak ada jalan lain selain lari dari kenyataan.
Dia mencoba melupakan kekalahannya dan menjalani kebanggaan baru di profesi yang dulu dia hina-hinakan. Dia berhenti menyesali kenapa gelar yang ayahnya capai itu tidak diwariskan saja seperti di kerajaan lainnya Setelah sembilan tahun menjadi petualang, para Stauven lain pun bosan menghinanya. Karir Preponte melejit di profesi itu karena didukung prajurit pribadi ayahnya.
Party Preponte memang berisi enam orang. Tapi setiap kali ada quest, dia selalu membawa rombongan.
Sayangnya, kebanggaan itu berakhir tiga tahun lalu ketika Stauven palsu itu, sekali lagi meremukkan harga dirinya di tempat berbeda. Preponte masih dengki karena Simian ikut pindah menjadi petualang dan mengulangi prestasi mustahilnya seperti di militer. Dia belum bisa menerima reputasi gila Stauven palsu itu sebagai Pria berambut api. Terlebih beberapa hari lalu, Simian terang-terangan menghinanya di depan semua orang.
"Keparat itu harus mati ... aku ... harga diriku sudah sampai batasnya." Preponte bergumam dendam hingga wine yang baru tertuang itu tertumpah.
"Kendalikan dirimu, Tuan," ujar pelacur di sebelahnya menenangkan.
Preponte menoleh. Dia pandangi wajah cantik wanita penghibur itu dengan mata teduh. Dia mensyukuri kehadirannya karena perempuan itulah satu-satunya orang yang mampu memberinya ketenangan. Dia elus pipi kekasihnya dan hendak menciumnya.
Akan tetapi ...
"Aduh," keluh perempuan itu. Dia menangkis tangan Preponte dan meminta maaf.
Mata Preponte sedikit buram karena mabuk. Begitupun kewarasan berpikirnya karena alkohol yang dia teguk. Tapi dia cukup waras untuk menyadari bahwa ada jahitan besar di tepian wajah perempuan yang dia cintai.
"Ada apa, Linda? Apa ini perbuatan tamu lain? Sebut namanya," tanya Preponte penuh kelembutan.
Perempuan yang dipanggil Linda itu terdiam. Dia nampak ragu untuk menjawab pertanyaan pria itu.
"Katakan, Linda. Sebut satu nama saja."
"Tu—Tuan Muda Simian."
Mabuk Preponte langsung lenyap.
Sejenak, dia menatap Linda dengan wajah curiga.
Dia memang benci dengan Simian. Tapi dia kenal betul bahwa pria mata keranjang itu tidak pernah melirik pelacur. Preponte juga sangat tahu bahwa banyak perempuan bermain drama hanya demi menarik perhatian si rambut merah itu saja. Dia jadi menduga, Linda mungkin salah satunya. Setengah takut dia bertanya lagi kepada perempuan itu.
"Siapa tadi?"
"Tua Muda Simian."
"Dia yang melukaimu?"
Linda bergeleng.
"Aku yang melukai wajahku sendiri, Tuan Preponte."
"Maksudnya?" Preponte semakin cemas. Apa dia takutkan sepertinya akan menjadi kenyataan. Matanya langsung terbelalak ketika Linda membisikan semua kejadiannya, dengan menitikkan airmata. Preponte pun spontan berdiri dan mengenakan semua pakaian yang dia campakkan.
"Mau kemana, Tuan?"
Preponte tidak menjawabnya, lebih tepatnya tidak mau. Dia juga tidak menoleh Linda yang semakin riuh menangis. Amarahnya sudah diambang batas. Linda tidak akan sanggup lagi menenangkannya seperti biasa.
Apa yang Linda bisikan?
Preponte akan menganggapnya bohong jika Linda berkata bahwa Simian yang melukainya. Sebagai sesama Pria Stauven, dia tahu bahwa si rambut merah itu tidak akan berani melukai perempuan manapun. Namun yang Linda tadi ceritakan sungguh-sungguh menyakitkan.
Wajah perempuan itu memang terluka lebar. Tapi luka yang dirasakan Preponte jauh lebih menyakitkan seakan seluruh kulit wajahnya dikupas. Hati Preponte tercabik-cabik ketika perempuan itu berkata bahwa dia telah jatuh cinta pada Simian. Jantungnya terasa dicengkram setelah mendengar bahwa Linda sendirilah yang melukai wajahnya karena sebagai pelacur, dia merasa lancang telah berani mencintai Stauven Palsu itu.
Preponte sudah iri dengan kepopulerannya. Dan saat ini, popularitas Simian telah merenggut satu-satunya cinta yang dia miliki. Amarahnya berkecamuk. Dia tidak punya alasan hidup lagi kalau si rambut merah itu belum mati. Karena kemarahannya, Preponte tidak repot-repot memakai tudung ketika keluar dari rumah bordil.
Dia sudah tidak peduli lagi tatapan kaget di sekitarnya yang baru tahu fakta bahwa ada seorang Stauven yang melacur.
Preponte pergi.
Dia pergi meninggalkan Linda yang menangis sesegukan ... setelah itu tertawa lantang tidak lama kemudian.
"Hahahahaha! Dasar bocah Stauven!"