Chapter 9 [Part 5]
Beberapa jam kemudian.
Di sekolah, Selvia terus melamun, teman-teman yang ada di kelasnya pun kebingungan, ada apa dengan Selvia hari ini?
Salah satu temannya pun menepuk pundaknya, Selvia langsung menoleh ke belakang. "Ada apa?" tanya Selvia.
"Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, kamu melamun terus daritadi, kamu kenapa?" tanya teman Selvia yang khawatir.
"Aku? Aku tidak apa-apa, jangan khawatir begitu." ucap Selvia lalu tersenyum.
"Ohh, kalau kamu ada apa-apa, cerita pada ku ya, mungkin aku bisa membantu."
Selvia hanya mengangguk, lalu ia pun melihat ke arah luar jendela. Ia terus menatap ke lapangan sekolah dimana ada murid-murid yang sedang berolahraga. Ia menghela nafas berat, lalu bel pulang sekolah berbunyi. Selvia mengambil tasnya lalu menengok ke arah jendela sekali lagi.
"Ah... Aku harus menjenguknya lagi." ucap Selvia lalu berjalan keluar kelasnya.
Di lorong, ia melihat Herry dan Jessica berjalan menuju tangga, ia pun memanggil mereka berdua. Mendengar suara Selvia, mereka berdua pun langsung menoleh. Selvia pun berjalan mendekati mereka.
"Umm… Kalian hari ini ke rumah sakit lagi gak?"
Herry pun mengangguk dan berkata "Iya, kamu mau ikut?"
Selvia perlahan mengangguk, ia terlihat malu-malu saat di tanya seperti itu. Jessica tertawa kecil lalu memegang tangan Selvia dan berjalan menuruni tangga.
Di gerbang, Jessica, Selvia dan Herry sedang menunggu Chelsea yang masih ada urusan sebagai ketua osis. Namun, mereka sudah menunggu terlalu lama. Jessica pun berniat untuk menjemput Chelsea di ruang osis.
"Umm… Apa mungkin aku jemput Chelsea saja?" tanya Jessica.
"Yah… tidak apa." jawab Herry
"Oke."
Jessica pun pergi menjemput Chelsea yang masih berada di ruang osis SMP 1. Selama Jessica menjemput Chelsea, Selvia dan Herry terus berdiam diri, mereka juga tidak berbicara, seolah mereka orang yang belum pernah bertemu. Herry mencoba mencari topik pembicaraan, ia pun melirik Selvia. Ia terlihat sangat lesu, wajahnya terlihat muram. Herry pun bertanya "Kamu kenapa?"
Selvia menarik nafas panjang dan membuangnya, lalu menjawab "Aku lelah..."
"Karena?" tanya Herry lagi yang terdengar dingin.
"Semua ini… Aku… sedikit lelah dengan semua ini." ucap Selvia dengan suara yang datar.
Herry tidak melirik Selvia lagi. Ia hanya menghela nafas lalu menatap ke langit. Angin berhembus, percakapan mereka terhenti begitu saja. Herry juga terlihat tidak mau melanjutkan percakapan mereka.
"Hey… mau sampai kapan?" tanya Selvia yang suaranya masih datar.
"Entahlah… Tapi, bertahanlah… Jika semua sudah membaik, semuanya akan kembali…" ucap Herry sambil melirik Selvia.
Selvia terlihat tidak mempunyai ekspresi sama sekali, tatapannya datar, wajahnya datar, suaranya pun datar. Seolah tidak berwarna, yang ada hanya hitam dan putih. Ada apa dengannya?
"Ini juga kemauan mu kan? Kalau kamu lelah dan ingin berhenti, maka sampaikan saja kepada dia, benar?" usul Herry yang terdengar seperti memberi semangat pada Selvia.
"Aku… Tidak bisa, Aku tidak mau membuatnya sedih kembali, mau bagaimanapun, aku harus selesaikan ini sampai akhir. Kalau tidak, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri." ucap Selvia sambil menunduk.
Herry pun mendekat dan memegang pundaknya, lalu berkata "Kalau begitu, kamu harus lebih kuat lagi. Selvia, ini untuk Julio dan untuk dia, kan?"
Selvia menghela nafas berat lalu menarik ujung bibirnya. Tak lama, Jessica dan Chelsea mendatangi mereka sambil berlari. Selvia menoleh ke belakangnya dan melambaikan tangannya.
"Ooiii, cepatlah. Nanti keburu sore!" teriak Selvia yang sangat ekspresif.
Ekspresi Selvia yang menghilang sebelumnya telah kembali padanya, seolah-olah yang sebelumnya itu bukanlah dirinya. Setelah itu, mereka pun berjalan menuju rumah sakit dan juga demi keadilan, Herry pun dilarang menaiki sepedanya oleh Jessica dan Selvia.
"Eeh!? Kenapa aku tidak boleh naik sepeda? Gunanya apa jika sepeda ku tidak aku naiki!" protes Herry.
"Tidak boleh! Harus jalan! Kami saja berjalan, masa kamu enak naik sepeda, ya tidak boleh begitu lah!" kata Jessica yang menolak protes Herry.
"Benar, ini demi keadilan… Keadilan harus di junjung tinggi!" ucap Selvia yang terdengar seperti orang berunjukrasa.
"Aaaaahhhhh menyebalkan, jaraknya lumayan jauh loh!"
"Tetap tidak!" ucap Selvia dan Jessica serentak.
Chelsea hanya tertawa melihat mereka. Mau tidak mau, Herry harus berjalan dengan yang lainnya menuju rumah sakit.
***
Di rumah sakit, Chelsea membuka perlahan pintu ruangan dimana Julio dirawat, Chelsea pun melihat Kakaknya yang sedang berbaring dan menggerak-gerakkan kaki kanannya perlahan, melihat itu Chelsea langsung menghampiri Kakaknya dengan wajah yang kurang mengenakan.
"Kakak! Kakimu belum sembuh! Jangan coba-coba menggerakannya!" ucap Chelsea yang memarahi Julio.
"C-Chelsea? Kapan kamu datang?"
Chelsea langsung membuang wajahnya, ia benar-benar marah karena Kakaknya lagi-lagi menggerakan Kakinya. Selvia, Jessica, dan Herry tertawa melihat kedua Kakak-beradik itu.
"Hey Julio, bagaimana kabarmu?" tanya Herry.
"Yah, aku perlahan membaik, kaki kanan ku sudah bisa ku gerakan sedikit." ucap Julio sambil menggerakan kaki kanannya perlahan.
Chelsea yang melihat itu langsung memarahinya lagi agar kakinya yang patah jangan terlalu banyak di gerakan.
"Kakak! Aku bilang jangan menggerakan kakimu lagi! Kalau terjadi apa-apa bagaimana?" teriak Chelsea.
"Sst! Ini rumah sakit, jangan berteriak seperti itu, nanti yang lain terganggu bagaimana? Lagipula, kamu ini cerewet sekali sih, Kakak sudah tidak apa-apa." ucap Julio dengan lembut.
"H-Habisnya, Aku takut kalau kamu ada apa-apa. Aku khawatir tau!" ucap Chelsea.
Chelsea terlihat sangat khawatir, itu terlihat jelas di wajahnya. Julio pun mengusap kepala Chelsea lalu berkata "Tenang saja, Sebentar lagi juga Aku akan sembuh, jangan khawatir begitu."
Chelsea tersenyum, ia merasa senang ketika Kakaknya berkata seperti itu. Setelah itu, Selvia pun mengambil sesuatu di dalam tasnya. Ia pun memberikannya kepada Julio.
"Um, Julio. Tolong terima ini."
"Ini…"
Sebuah novel, novel yang sebelumnya pernah ia baca di ruang eskul sastra. Novel yang Selvia tulis sendiri, Julio hanya tersenyum melihat novel itu.
"Itu Novel yang pernah kamu baca kan? Itu hadiah dari ku, yah siapa tau kamu bosan, mungkin novel ini bisa menghiburmu." ucap Selvia sambil tersenyum.
Julio pun mengangguk lalu berkata, "Iya, aku akan membacanya."
"Ah Julio… Maaf, aku tidak membawa apapun untuk mu." ucap Jessica.
"Tidak perlu minta maaf, aku juga tidak memaksa kalian untuk membawa sesuatu untuk ku." ucap Julio.
Setelah itu, mereka berbicara tentang hal-hal kecil. Julio pun menyadari sesuatu selama mereka mengobrol. Ia pun bertanya "Sebentar, bukannya kalian ada jam untuk eskul sastra, kenapa kalian kemari?"
Herry pun menjelaskannya "Yah, tadi aku sudah mengirim pesan kepada Bella, kalau aku, Jessica dan Selvia tidak bisa ikut kegiatan eskul…"
"Oh begitu…"
"Tapi, sampai sekarang belum ada balasan sama sekali dari Bella." lanjut Herry.
Semuanya pun menoleh kearah Herry dengan tatapan heran.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?"
Julio pun mengehela nafas, lalu berkata "Haah, Bella bakal marah tidak ya?"
Sementara itu di ruang eskul. Bella sedang terus berjalan kesana-kemari, ia terlihat sangat tidak tenang, lalu ia pun duduk dan melihat jam, lalu berjalan kesana-kemari lagi. Sophie dan Lily yang melihatnya pun mulai sedikit risih.
"Uhh… mereka kemana sih?" tanya Bella entah kepada siapa.
"Siapa?" tanya Lily.
"Ya Herry, Jessica, dan Selvia. Sekarang kan sudah waktunya kegiatan! Mereka tidak datang. Apa mereka sudah pulang? Apa mereka lupa?"
"Bella tenanglah, coba periksa handphone mu, mungkin ada pesan dari mereka." ucap Sophie
Bella pun langsung menunduk lesu. "Aku… Aku meninggalkan handphone ku dirumah."
Sophie dan Lily langsung menghela nafas bersamaan.
"Hei! Aku kan lupa, kalian jangan seperti itu dong!"
Sophie pun mengeluarkan handphone nya "Mau bagaimana lagi, pakai handphone ku." ucap nya sambil melemparkan Handphone nya kepada Bella.
Bella pun menangkapnya lalu mencari nomor salah satu dari mereka bertiga yang tidak hadir. Namun, tidak ada nomor telepon milik Herry, Jessica maupun Selvia.
"Eh… Sophie, kenapa tidak ada kontak mereka?"
"Tentu saja, aku kan tidak menyimpannya."
Jawab Sophie berhasil membuat Bella marah. "Terus kenapa kamu berikan handphone mu padaku hah?!"
"Aku pikir kamu mengingatnya."
"Itu tidak mungkin, kan?!"
Melihat Bella yang mulai panas, Lily pun mulai bertindak sebagai penengah mereka.
"Sudah, sudah. Ini, gunakan smartphone ku." ucap Lily.
"Kamu menyimpan salah satu kontak mereka kan?" tanya Bella yang sedikit kasar.
"T-Tentu saja ada, disana ada kontak milik Herry."
Bella pun mencarinya, setelah ketemu ia pun langsung menelepon Herry, namun…
"Haah…"
Sophie dan Lily terus melihat Bella setelah ia menghela nafas, Bella pun berjalan perlahan mendekati Lily dan bersiri di depannya. Jatung Lily berdebar kencang, ia merasa ketakutan melihat Bella yang berdiri di depannya dan terus menunduk.
"B-Bella? K-Kamu kenapa?"
Bella pun memberikan smarthphonenya kepada Lily. Namun, Lily merasa bingung, padahal baru sebentar Bella meminjam smarthphone nya, tapi kenapa langsung di kembalikan?
"Kenapa? Bukannya baru sebentar?" tanya Lily.
Bella menghela nafas berat, lalu berkata "Smarthphone mu… tidak bisa di gunakan untuk menelpon."
"Kenapa?"
Bella menarik nafas "Pulsamu habis!" teriaknya di depan Lily.
Bella sekarang benar-benar marah, ia memang sangat tidak suka bila ada yang datang terlambat atau tanpa keterangan saat kegiatan eskulnya dimulai.
Sophie dan Lily mencoba menenangkannya, Bella menarik nafas lalu membuangnya. Bella pun berkata "Maaf sudah memarahi kalian, Lebih baik kita pulang saja, kegiatan eskul kita akhiri hari ini."
"K-Kamu benar-benar tidak apa-apa?" tanya Lily.
"Yah, aku sudah tidak apa-apa. Ayo pulang." ucap Bella sambil tersenyum.
Setelah itu, mereka Sophie dan Lily berdiri di depan gerbang menemani Bella menunggu jemputannya.
"Bella. Malam ini, bagian kita kan?"
"Iya, kalian jangan sampai telat ya." ucap Bella.
Sophie dan Lily hanya mengangguk, tak lama setelah itu, jemputan Bella pun datang. Sophie dan Lily pun pamit lebih dulu untuk pulang dengan sepeda mereka.
Tak lama setelah itu, Bella juga berangkat pulang dengan jemputannya. Di jalan, Bella terus menatap ke arah luar, ia merasa ada yang ia lupakan hari ini. Tiba-tiba, mobil yang ia tumpangi berhenti.
"Ada apa pak?"
"Maaf nona, tapi ada kecelakaan di depan, jadi jalanan sedikit macet."
Bella hanya menjawab 'Ohh' lalu menyandarkan tubuhnya lagi, setelah mendengar kata kecelakaan, ia terus memikirkan kata itu… terus… dan sampai akhirnya ia teringat dengan Julio di rumah sakit.
Bella pun langsung meminta sang supir untuk pergi ke rumah sakit dahulu.
"Pak, bisa kita ke rumah sakit dulu?"
"Kenapa? Apa nona sakit?"
"Tidak, tidak. Aku hanya ingin menjenguk teman ku."
"Oh begitu, baiklah nona."
Mobil pun langsung berputar arah dan menuju rumah sakit.
***
Di rumah sakit.
"Bapak tunggu disini saja, kalah aku tidak kembali dalam waktu 30 menit, carilah ruangan ini, karena aku ada disana, mengerti?" ucap Selvia sambil memberikan kertas kecil yang bertuliskan ruangan Julio dirawat.
Bella pun langsung menuju ruangan Julio, semakin mendekati ruangan Julio, semakin cepat jantungnya berdegup, ia pun sampai di depan pintu kamar Julio, jantungnya berdegup semakin cepat sampai nafas nya mulai tidak karuan. Ia pun membuka pintunya perlahan lalu memberanikan diri untuk melihat kedalam ruangan. Ia bisa melihat Julio sedang membaca sebuah novel. Bella pun membuka pintunya sedikit lagi agar ia bisa melihat lebih jelas.
*Kyiit*
Mendengar suara pintu berdecit, Julio langsung melihat ke arah pintu. Bella pun mematung di pandangi Julio, ia merasa sangat malu. Ia tidak tahu kenapa merasa seperti itu.
"Bella?"
Bella pun perlahan mendekat, namun ia tidak berani bertatap muka langsung dengan Julio. Julio mulai merasa heran dengan sikap Bella yang tiba-tiba gugup seperti itu.
"Kamu kenapa? Tidak enak badan?" tanya Julio.
"T-T-Tidak kok, A-Aku baik-baik saja." ucap Bella yang semakin gugup.
"Oh begitu." ucap Julio.
Suasana tiba-tiba hening begitu saja, Julio tidak tau harus bertanya apa lagi ketika melihat Bella yang masih gugup seperti itu.
"J-Julio, bagaimana keadaanmu?" tanya Bella.
"Yah, aku baik-baik saja sih. Kaki kanan ku juga sudah mulai bisa di gerakan sedikit." jawab Julio sambil menggerak-gerakkan kaki kanannya.
Bella sedikit tetsenyum ketika tahu Julio sudah mulai membaik, perlahan ia mendekati Julio, lalu duduk di sebelahnya.
Bella memberanikan diri untuk berbicara lagi, perlahan rasa gugupnya mulai menghilang, ia semakin terbawa arus, Bella sangat menikmati saatw dimana ia berbicara dengan Julio dan hanya berdua saja.
"Sebelumnya aku minta maaf karena tidam membawa apa-apa kemari." ucap Bella
"Tidak apa-apa… Jessica dan Herry juga tidak membawa apa-apa saat kemari."
"Oh begitu… Eh? Jessica dan Herry kemari?"
"Iya, dengan Adikku dan juga Selvia."
"Pantas saja mereka tidak ikut kegiatan eskul, ternyata mereka kemari."
Mendengar itu membuat Bella merasa sedikit marah lagi. Julio pun menjelaskan kembali kepada Bella "Herry juga bilang ia sudah mengirim pesan kepadamu, tapi tidak ada jawaban."
"Eh? Benarkah?"
"Iya, memangnya handphone mu kemana?"
"Itu…"
Perlahan amarahnya berubah menjadi rasa bersalah, ia merasa bersalah pada Sophie dan Lily karena sudah marah kepada mereka, karena ini semua salahnya, seandaikan ia tidak lupa membawa handphonenya mungkin ia tidak akan marah seperti tadi.
"Tertinggal di rumah." ucap Bella yang merasa bersalah.
Julio hanya tertawa kecil lalu berkata "Ya ampun, kamu ini. Ceroboh, bagaimana coba kalau nanti ada telepon yang berkaitan dengan jabatan mu sebagai ketua osis?"
Bella mengembungkan pipinya lalu membuang pandangannya dari Julio.
"Hmmmph! Nyebelin!"
"Hahaha, kan kamu sendiri yang salah."
"Tau ah!"
Julio pun mencoba membujuk Bella yang marah, meskipun sebenarnya, Bella tidak benar-benar marah, ia malah sangat senang saat Julio membujuknya untuk tidak marah.
Beberapa saat kemudian, supir Bella pun datang untuk menjemput Bella.
"Nona, waktunya untuk pulang." ucap sang supir.
"Oh begitu ya."
Bella pun berdiri lalu menatap Julio cukup lama, lalu berkata "Cepatlah sembuh, Julio."
Julio hanya mengangguk sambil tersenyum. Bella pun pamit pulang, saat di depan pintu, ia melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu pergi. Namun, sang supir menatap Julio cukup lama, ia seakan merasa heran dengan Julio. Julio tidak terlalu menanggapi serius tatapan dari supir itu, karena supir itu tidak menatap dirinya. Melainkan, benda yang di berikan oleh Bella kepadanya kemarin.
Di jalan, sang supir bertanya "Nona, maaf sebelumnya, tapi apa nona memberikan kalung nona pada pemuda itu?"
Wajahnya pun memerah "I-Iya…"
Sang supir pun tersenyum tipis lalu berkata "Begitu ya… Jadi itu pilihan nona muda…"
Wajah Bella semakin memerah, ia tidak tahu harus bagaimana merespon perkataan supirnya itu. Bella pun menendang dengan keras belakang jok mobil supir itu.
"Sudah cukup! Fokuslah dengan jalan dan jangan berisik!"
"Aw! Maaf nona."
***
Kediaman keluarga utama.
Sang ayah sedang berdiri di luar rumah, di luar rumah yang sangat besar dan juga sangat mewah. Namun, sang Ayah tidak merasa senang, ia tidak merasa senang dengan semuanya. Ia juga sudah merasa tidak betah lagi berada di rumah besar itu. Namun, ia tidak bisa meninggalkan rumah besar ini begitu saja.
"Tuan…" ucap seseorang yang tiba-tiba datang dari belakangnya.
"Oh kamu, bagaimana?"
"Maaf tuan, saya tidak bisa mendapatkan hasil yang bagus."
"Tidak apa-apa. Tidak usah buru-buru."
"Tapi, Tuan mungkin tertarik dengan apa yang saya bawa."
"Apa?"
Orang itu pun memberikan sebuah Flashdisk, lalu orang itupun pamit kembali menjalankan tugasnya kembali.
"Begitu ya."
Sang ayah menghela nafas berat lalu, ia pun menatap langit penuh bintang lalu berkata.
"Semoga dengan apa yang aku lakukan ini bisa menebus dosa ku… Aku mohon, bertahanlah, Anak ku."
To be continue
=====================