Presiden The Evening Post adalah orang yang selalu menepati janjinya. Satu setengah hari setelah panggilan telepon itu, dia telah menyuruh seseorang untuk mengirimkan foto, yang sudah dibingkai. Dia bahkan menyuruh orang itu untuk menggantungnya di dinding kamar Tang En yang menghadap ke tempat tidur. Dengan begitu, ketika Tang En bangun setiap pagi, dia bisa menyaksikan momen kemenangan itu di awal pagi.
Di bawah lautan merah, dia berdiri di sana, bersorak dan mengangkat tangannya.
Itu seperti sebuah lukisan minyak berjudul "Kemenangan", sebuah karya seni yang pantas dianggap bernilai tinggi.
Menatap gambar itu, Tang En memikirkan cara terbaik untuk membalas para media.
Dia mengangguk. Aku bukanlah orang yang selalu menurut, yang menawarkan pipi kirinya untuk dipukul, setelah seseorang memukul pipi kanannya. Aku mungkin tidak punya cara untuk membalas semua komentar kalian, tapi jangan kira aku akan tetap diam saja. Pertandingan berikutnya... di pertandingan berikutnya, aku pasti akan membuat kalian semua merangkak padaku untuk menjilat jempol kakiku! Dasar kumpulan orang-orang bermuka-dua!
Tang En mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, menirukan posenya di foto itu. Dia memejamkan mata dan membayangkan dirinya sedang berada di stadion yang ramai dan penuh sorakan, menikmati kemenangan dan nikmatnya membalas dendam. Saat itulah, Tang En mendengar ponsel yang diletakkannya di meja ruang tengah berdering.
Menginjak-injak koran yang terhampar di seluruh lantai sambil berlari ke ruang tamu, Tang En melihat bahwa nomer yang menghubunginya itu tak dikenalnya. Setelah sedikit ragu, Tang En menjawab.
Detik berikutnya, dia melompat kaget dan senang.
"Yang Yan!"
"Tuan, ini saya. Saya sudah mempertimbangkan tawaran Anda dan memutuskan untuk menerima niat baik Anda dan menjadi guru bahasa Mandarin Anda." Yang Yan mendengar tawa kekanakan Tang En di ujung telepon yang lain.
"Kau memang benar-benar membutuhkan waktu untuk mempertimbangkannya, guru... tapi karena kau sudah setuju, tidak apa-apa. Apa kau tahu..."
Tang En duduk dan bersandar di kursinya, sebelum kemudian mengangkat kakinya dan meletakkannya ke atas meja. Dia berbohong, "Apa kau tahu, karena kau tidak memanduku, aku seperti kapal yang hilang dalam gelap, tidak bisa melihat mercusuar, hanya berputar-putar selama dua bulan. Kalau kau tidak menerima tawaranku, maka mungkin aku akan harus menyerah tentang minatku pada budaya Cina."
Sejak ia memiliki tubuh pria Barat, Tang En menemukan bahwa ia telah mengalami beberapa perubahan, seperti misalnya dia menjadi jauh lebih ceria daripada dirinya sebelumnya. Itu memang sudah bisa diduga, karena dia terlibat dengan hal favoritnya, sepakbola, setiap hari. Tang En pada saat ini sudah menemukan tujuan tujuan hidupnya dan tidak lagi menjadi orang yang keras kepala, sombong, dan menyendiri seperti dulu. Tentu saja, alasan kenapa dia sangat gembira hari itu, sebagian besar disebabkan karena Yang Yan setuju untuk menjadi guru bahasa Mandarin-nya.
Saat ia terus mengobrol dengan gembira, Yang Yan yang berada di ujung telepon yang lain mulai merasa malu mendengar ucapannya. "Tuan, kalau Anda berbicara terus tanpa henti seperti ini, saya pikir saya akan mengubah pikiran saya."
"Ah, jangan! Tentu saja, aku akan mendengarkanmu. Kalau kau tidak ingin aku berbicara, aku takkan mengatakan sepatah kata pun," kata Tang En, sambil menutup mulutnya secara dramatis. Nada suaranya yang bersemangat membuat Yang Yan tertawa.
"Tuan, kenapa Anda begitu bersemangat?"
"Karena aku sedang dalam suasana hati yang sangat bagus hari ini," kata Tang En santai sambil mencoba memikirkan alasan untuk itu.
.
Tapi, Yang Yan segera melihat keanehan ini dan bertanya, "Hah? Tuan Manajer, bukannya tim Anda baru saja kalah dalam pertandingan kemarin?"
"Ya ... Tentu saja. Tapi, kalah tidak selalu menjadi hal yang buruk. Kita harus melihat masalah ini dari sudut pandang yang positif, iya kan? Baiklah, jangan bicara tentang pertandingan yang mengecewakan itu. Kita perlu membahas secara detil tentang bagaimana kau akan menjadi guru bahasa Mandarin-ku. Detil semacam ini biasanya tidak akan jelas kalau dibahas di telepon, jadi kurasa kita harus bertemu... Kau ada dimana sekarang?"
Yang Yan mengangkat kepalanya dan melihat ke seberang jalan. Ada sebuah kafe di sana, jadi dia memberikan nama kafe itu kepada Tang En.
"Oke. Aku akan sampai di sana, paling lama sekitar, 30 menit."
Mendengar Tang En menutup telepon dengan tergesa-gesa, dia hanya menyeberang jalan dan memasuki kafe. Dia duduk di kursi dekat jendela dan memesan jus buah. Yang Yan bertanya-tanya apa keputusan yang diambilnya ini sudah benar. Selain laporan berita di media, dia sama sekali tidak punya pengetahuan tentang orang itu. Dia sama sekali tidak tahu tentang kepribadian aslinya dan juga sama sekali tidak tahu tentang latar belakangnya. Meski kedua subyek itu disinggung di dalam wawancara eksklusif dengannya, Yang Yan merasa bahwa di era dimana informasi semakin banyak dan berganti dengan cepat, kredibilitas media tidak lagi sama seperti dulu. Karenanya, dia seringkali merasa ragu, karena kebiasaan, dengan opini media tentang insiden tertentu. Serupa dengan ini, dia juga memiliki keraguan yang sama terhadap orang yang dilaporkan oleh media.
Kalau dia ingin menjadi tutor privatnya, dia harus memiliki pengetahuan mendasar yang memadai tentang pria itu. Kalau tidak... tidak ada jaminan bahwa dia akan aman, khususnya dengan seorang pria asing di tanah asing seperti ini.
Yang Yan duduk di kafe yang kecil, merasa khawatir tentang orang yang akan ditemuinya. Perasaan ini mirip seperti saat melakukan kencan buta.
Bel di pintu berbunyi saat seseorang mendorong pintu terbuka dan melangkah masuk. Yang Yang mengangkat kepalanya dan melihat ke sekeliling. Dia melihat pria di pintu memakai sepasang kacamata gelap, sedang melihat ke sekeliling. Dia menundukkan kepala dan melihat arlojinya. Saat itu tepat setengah jam sejak dia mengakhiri panggilan telepon.
"Hai." Penampilan pria itu terlalu mencolok, membuat Yang Yan tak punya pilihan selain berdiri dan melambaikan tangan padanya, mengisyaratkan padanya ke tempat duduknya.
"Maaf, aku terjebak kemacetan karena ada kecelakaan mobil. Aku tidak membuatmu menunggu lama, kan?" Melihat sosoknya yang nyata, Yang Yan melihat bahwa manajer liar dan sombong di surat kabar itu sudah kembali tampak sopan, seperti saat dia melihatnya pertama kali. Dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak, waktu berlalu dengan cepat."
Tang En duduk dan melepas kacamata hitamnya. Dia melambaikan tangannya untuk memanggil pelayan dan dengan sopan bertanya pada Yang Yan minuman apa yang dia inginkan. Yang Yan menatap gelas jus buahnya, yang masih belum diminumnya sama sekali, dan menggelengkan kepalanya.
"Hanya secangkir kopi, terima kasih." Setelah pelayan itu pergi, Tang En memiringkan kepalanya dan menatap gadis di depannya. Gadis yang sama yang membuat Tang En memikirkannya siang dan malam, dan yang membuatnya diam-diam mengamatinya dari tempat tersembunyi, kini sedang duduk di depannya. Dia bahkan tersenyum, yang sedikit diwarnai rasa malu.
Yang Yan akhirnya tidak bisa menahan diri dan bertanya, "Tuan, apa yang Anda lihat?"
"Ah, bukan apa-apa. Maaf, aku melamun. Erm..." Ketika pelayan datang untuk mengantarkan kopi Tang En, dia juga membawa selembar kertas putih dan pena.
"Tuan Twain, tolong berikan tanda tangan Anda untuk saya!" Pelayan laki-laki dengan bintik-bintik di wajahnya itu berkata dengan penuh semangat.
"Baiklah, tapi kita baru saja kalah kemarin."
Yang Yan tersenyum saat dia melihat Tang En menurunkan kepalanya dan memberikan tanda tangannya di selembar kertas. Setelah dia selesai menulis dalam bahasa Inggris, Tang En berpikir sejenak, sebelum kemudian melanjutkan menulis nama Cina-nya sendiri, Tang En, dengan sedikit bengkok.
"Ini ...." Pemuda itu tidak yakin tentang itu.
"Hmm, kau tahu, aku sangat suka budaya Cina, jadi ini adalah nama Cina yang aku buat. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku tak bisa membacanya, tapi itu sangat indah..." Pemuda itu pergi dengan rasa puas setelah mendapatkan tanda tangannya, dan Tang En melihat ekspresi Yang Yan sedikit terkejut ketika dia menoleh ke arahnya.
"Haha, mengejutkan kan! Aku sudah mencoba belajar sendiri, meski aku hanya tahu bagaimana caranya menulis dua karakter." Dia berbohong. Sebenarnya, dia bisa dengan berbicara lancar menggunakan dialek Mandarin dan Sichuan. Selain itu, ia juga pandai menulis karakter Cina.
Yang Yan, yang baru saja pulih dari keterkejutannya, menganggukkan kepala sambil tampak bingung. "Memang, itu sangat mengejutkan. Saya tidak mengira Anda bisa menulis huruf Cina. Tapi..." Dia menuliskan nama Inggris Tang En, Twain, di atas selembar serbet.
'Saya rasa ini lebih baik diterjemahkan menjadi 'Tu Wen'."
"Tu Wen? Nama aneh macam apa itu?"
Yang Yan terbatuk. Pria ini jelas tidak mengenal Lawrence, tapi mungkinkah dia bahkan tidak tahu nama penulis terkenal itu? "Twain, Mark Twain ..."
"Ah!" Tang En menepuk bagian belakang kepalanya. "Petualangan Tom Sawyer! Tapi aku lebih suka nama 'Tang En'."
Yang Yan memiringkan kepalanya dan bertanya, "Kenapa begitu?"
"Aku tidak tahu, aku hanya merasa ini terdengar lebih baik, setidaknya lebih baik daripada 'Tu Wen'."
Yang Yan memandang Tang En sebentar, sebelum kemudian tersenyum. "Saya juga merasa ini terdengar lebih baik, Tuan Tang En."
"Memanggilku tuan terlalu formal. Kau bisa memanggilku Tang En." Tang En berpikir dalam hatinya, Nama asliku sejak awal.
Tanpa diduga, Yang Yan menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tuan, ini baru pertemuan kita yang kedua."
Sial! Kita sudah bertemu berkali-kali! Kita ini teman sekelas di sekolah menengah! Tang En benar-benar ingin mengatakan ini kepada wanita yang duduk di seberangnya, tapi dia tidak bisa.
Melihat tekad Yang Yan, Tang En menyerah.
"Erm, kurasa, terserah kau saja," Tang En setuju. Ini adalah kedua kalinya dia menghabiskan waktu dengannya sendirian. Karena itu, ia masih kurang pengalaman dan tiba-tiba tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang Yang-lah yang mengingatkannya. "Tuan Twain, kenapa Anda memanggil saya kemari? Saya rasa bukan agar kita bisa duduk disini dan melamun?"
"Oh, tentu saja. Kita perlu membahas secara rinci rencanamu untuk mengajariku bahasa Mandarin."
Setelah setengah jam, mereka telah selesai membahas semua detail. Dengan mempertimbangkan sifat unik pekerjaan Tang En, ia hanya memiliki waktu yang terbatas untuk belajar bahasa Mandarin, jadi mereka hanya mengatur dua kelas setiap minggu. Akhir pekan jelas tidak digunakan, karena Tang En harus memimpin timnya di pertandingan. Pertandingan kandang masih memungkinkan, tapi jika itu pertandingan tandang, ia akan pergi selama dua hingga tiga hari. Pada akhirnya, mereka menyetujui kelas privat pada hari Senin dan Kamis malam, dan Yang Yan akan harus memberikan pelajaran kepada Tang En di rumahnya. Bayarannya adalah £ 10 per jam.
Jika ada perubahan menit di terakhir, mereka masing-masing harus saling memberitahu.
Setelah selesai berdiskusi, Tang En bermaksud mengajak Yang Yan untuk makan siang bersama, tetapi dia ditolak.
"Hehe, maaf. Saya sudah ada janji makan siang dengan teman." Yang Yan tersenyum dan pergi. Melihat punggung gadis itu, Tang En merasa bahwa dia telah melepaskan seekor kupu-kupu yang gesit dan merasa sedikit sedih.
Tapi, tidak lama setelahnya, dia menyesuaikan kembali suasana hatinya. Karena dia akan bisa bertemu dengannya dua kali seminggu, masih ada banyak waktu.