Di Nottingham, matahari biasanya terbit agak terlambat selama musim dingin, tapi sudah ada banyak sekali pejalan kaki pagi ini. Semua orang sibuk berlalu lalang untuk pergi bekerja, sementara siswa pertukaran juga harus pergi ke sekolah mereka. Ini adalah sebuah kota yang tua sekaligus muda, penuh dengan energi yang kuat. Kota ini tidak seperti kota industri tua Manchester dan Liverpool, yang memiliki atmosfir suram dan lesu.
Twain menguap sambil berjalan di jalur khusus pejalan kaki. Sekelompok anak-anak muda berlarian melewatinya, membentuk kontras yang nyata dengan kelesuannya.
Melihat sosok-sosok muda yang penuh energi itu, Tang En hanya bisa menggerutu dalam hati bahwa tubuhnya telah menyisakan sebuah inersia yang mengerikan. Sama seperti lembar planner yang kaku itu, dia membuka matanya tepat pada pukul enam tiga puluh pagi ini, dan dia tak bisa tidur lagi setelahnya. Dia tahu kalau saat itu adalah waktu untuk lari pagi bagi Tony yang asli, tapi tak bisa disangkal lagi kalau sebenarnya dia tak ingin lari di pagi hari. Dia tak pernah melakukannya lagi sejak terakhir kali dia berpartisipasi untuk pelajaran olahraga di sekolah menengah.
Tang En menatap kosong ke arah langit-langit kamar hingga pukul tujuh, dan kemudian bangkit dari ranjang untuk membuat sarapan bagi dirinya sendiri. Setelah itu, dia masih sedikit linglung hingga pukul 7:40. Akhirnya, dia tak tahan lagi dan memutuskan untuk "pergi bekerja".
Kondisinya yang menguap berkali-kali saat ini adalah konsekuensi langsung dari tubuh yang kekurangan tidur. Ditemani suhu dingin akibat hujan gerimis di pagi hari musim dingin, Tang En terbungkus mantel hitam hingga ke leher, membuatnya terlihat seperti seorang pecandu obat.
Setelah berjalan selama 20-menitan, Tang En berdiri di depan gerbang menuju kompleks latihan, tampak sedikit terkejut. Dia melihat ke arah jam tangannya, mengkonfirmasikan bahwa saat ini baru pukul delapan lewat tiga menit. "Bagaimana mungkin suasananya sangat sepi? Apa libur Tahun Baru masih belum berakhir?" Dia merasa bingung, melihat gerbang kompleks latihan itu sepertinya tak ada yang menjaga. Saat dia berjalan ke arah pintu gerbang, dia melihat ada beberapa burung gereja yang berhenti di depan gerbang, dan langsung beterbangan saat mendengar suara langkah yang ditimbulkan olehnya.
Penjaga keamanan, Ian Macdonald, bahkan lebih terkejut lagi daripada dirinya. "Tony, masih belum waktunya untuk berlatih," katanya saat mereka bertemu.
"Ah... Oh. Jam berapa latihan dimulai?" Tang En tahu kalau dia kelihatan bingung lagi. Dia hanya bisa menghubungkan semua ini ke cedera belakang kepala yang dideritanya.
"Pukul sembilan pagi," kata Macdonald penuh simpati sambil menatap ke arahnya. Tentu saja, Macdonald memiliki banyak alasan untuk menunjukkan ekspresi itu.
Tapi, Tang En tidak suka dianggap gila oleh orang lain. Oleh karenanya, dia memberikan tatapan tajam pada Macdonald, sebelum menjawab, "Baiklah, kalau begitu tak ada salahnya kalau aku datang lebih awal ke kompleks latihan, kan?"
"Erm, tentu saja..." Macdonald membuka gerbangnya.
Tang En berjalan masuk dengan santai. Tapi ini adalah kali pertamanya berada di sebuah kompleks latihan tim sepakbola profesional, jadi dia merasa sangat senang. Kemudian, sebuah suara dari belakang tubuhnya mengganggu mood baiknya. "Tony, kantormu ada di depan. Belok kiri, ruangan ketiga di bangunan putih satu lantai yang punya jendela besar ala Perancis..."
Tang En membalikkan badan dan berterima kasih pada si penjaga keamanan yang sudah tua itu dengan nada yang kasar, "Thanks Ian, tapi aku sudah tahu itu."
Itu memang benar, dia tahu. Sisa-sisa memori Tony Twain masih terdapat di dalam pikirannya. Dia merasa familiar dengan tempat itu, tanpa merasa aneh sedikitpun.
※※※
Memasuki kantornya sendiri, Tang En menyalakan lampu. Ruangan yang tadinya gelap gulita kini diselimuti cahaya yang terang benderang. Perubahan mendadak dari gelap ke terang yang sangat kontras ini membuatnya harus menyipitkan mata.
Hal pertama yang menyambutnya adalah sebuah meja besar berwarna merah gelap. Diatasnya terdapat sebuah komputer, sebuah tempat pena, sebuah telepon, dan beberapa buah buku. Selain itu semua, tak ada lagi apa-apa. Dibalik meja itu terdapat kursi putar yang besar, yang kemungkinan besar adalah miliknya. Meja dan kursi itu terlihat sedikit usang dan memiliki sentuhan historik.
Tang En mengangkat bahunya. Sepakbola Inggris memang seperti ini, selalu menekankan sejarah.
Dia berjalan mendekati meja dan duduk di atas kursi, sebelum kemudian memutarnya beberapa kali. Melihat ke arah kantornya yang teratur dan lapangan latihan yang kosong, dia merasa sangat senang.
Wahaha! Aku tak pernah membayangkan bahwa akan tiba hari dimana aku menjadi seorang manajer sebuah tim sepakbola profesional! Kalau orang-orang yang selalu mengejekku di rumah teh dan bar tahu bahwa Tang En duduk di kursi Manajer tim Nottingham Forest... untuk bisa melihat ekspresi di wajah mereka...
Tang En tersenyum lebar sambil menyentuh dagu Twain.
Tang En tiba-tiba menghentikan senyumnya, dan berbicara serius dengan suara rendah, ke arah pintu, "Ketua Doughty, saya janji saya akan membawakan trofi yang berkilau itu untuk Anda ketika musim ini berakhir. Ya, saya janji..."
Setelah itu, dia berdiri dan menghadap ke arah lapangan latihan. Mencubit rahangnya sendiri, dia mengerutkan dahi sembari berkata, "Hmm, kurasa si nomer tujuh kurang memiliki penampilan yang bagus belakangan ini, haruskah kita memindahnya ke tim cadangan?"
Segera setelah itu, dia tiba-tiba meninggikan suaranya dan melambaikan lengannya. "Idiot! Saat bergerak memotong ke tengah, jangan tetap berada di tengah! Apa kau melewatkan tidur siangmu? Serang dari sayap saat akan menembak! Kacaukan garis pertahanan mereka, robek-robek formasi yang mereka susun, dan selesaikan pertandingan dalam waktu singkat! Idiot!"
Setelah dia selesai berteriak, Tang En menurunkan lengannya dan merasa ragu. Meski dia adalah manajer, dia sebenarnya termasuk orang baru di dunia sepakbola. Dia bahkan tidak memahami timnya sendiri. Ini adalah hari pertamanya berada di latihan tim, dan karenanya dia merasa gelisah. Dia tidak tahu bagaimana para pemainnya akan memandangnya, yang hanya memiliki wajah seorang pria Barat. Apa mereka akan menertawakannya? Apa mereka akan merendahkannya? Apa mereka akan membencinya di dalam hati?
Tang En merasa seolah dia adalah lulusan baru yang sedang menunggu dipanggil untuk wawancara pekerjaan. Situasi ini akan memutuskan apakah dia bisa sukses mendapatkan pekerjaan, sesuatu yang akan mempengaruhi seluruh hidupnya.
Dia kembali duduk, dan melihat ke arah lapangan latihan sambil bersandar di kursinya. Dia tidak tahu berapa lama dia bisa tetap menduduki posisi ini, mungkin seminggu atau dua minggu? Atau mungkin sampai akhir musim? Itu adalah hasil terbaik yang mungkin terjadi. Bisakah seorang manajer baru sepertinya, yang tak memiliki pengalaman dan pengetahuan sama sekali, mencapai sukses dalam menghadapi tantangan-tantangan di depan?
Sebuah ketukan di pintu menyadarkan Twain dari lamunannya. Dia membalikkan badan, merasa tak yakin dengan siapa yang akan datang mencarinya sepagi ini. Dia merapikan pakaiannya, dan menampilkan ekspresi yang dianggapnya paling tepat. Dia berdehem dan berkata, "Silahkan masuk."
Pintunya didorong terbuka, dan ada banyak sekali orang yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan. Ruangan yang cukup luas ini dengan segera menjadi sesak.
"Ini..." Tang En tidak bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Seorang pria muda yang hari itu menarik lengan Twain dan memintanya untuk mengarahkan pertandingan melangkah maju dan berkata, "Tony, Ketua Doughty merasa kalau kau mungkin membutuhkan perkenalan ulang dengan para kolegamu."
Tang En mengingat adegan kemarin, dimana pak tua itu dengan ringan menepuk bahunya di depan gerbang kompleks latihan dan berkata padanya, "Aku tak akan memberimu tekanan, Tony." Pemikiran pak tua itu memang cermat, tapi bukankah ini terlalu formal?
"Erm, aku benar-benar berterima kasih dengan niat baik Ketua Doughty. Tapi sungguh, aku tidak perlu..." Saat Tang En berbicara, dia mengamati reaksi yang ada di dalam kerumunan itu. Dia segera sadar bahwa beberapa diantara mereka menyembunyikan ekspresi merendahkan. Dia bisa tahu meski ekspresi itu hanya terlihat selama beberapa detik. "Kalian semua sebaiknya kembali bekerja, latihan akan dimulai sebentar lagi," katanya sambil menunjuk ke arah jam tangannya.
Kerumunan orang itu tampak ragu sesaat sebelum mereka mulai bubar. Tapi, pria muda tadi tetap tinggal.
Setelah mengantarkan orang terakhir keluar dari kantornya, Tang En menutup pintunya sebelum kemudian berkata pada pria muda di belakangnya. "Des, aku tahu kau melakukan ini demi aku. Tapi kalau kau melakukan ini, kau akan membuat semuanya jadi semakin sulit bagiku."
Des Walker tampak sedikit bingung, "Kenapa?"
"Aku adalah pelatih dan manajer tim. Di depan mereka dan di depan para pemain, aku harus memegang teguh wewenang dan harga diriku. Jujur saja, aku tak suka melihat ada orang yang memberiku tatapan kasihan dan merendahkan, seolah-olah aku sudah gila. Kalau ini terus berlanjut, bagaimana aku bisa memimpin tim? Para pemain takkan mau mendengarkan kata-kata seorang manajer yang harus terus diingatkan oleh orang lain."
Des Walker bukanlah orang bodoh. Dia memahami makna perkataan Twain. "Maaf Tony, aku tak berpikir sampai kesana..."
"Aku sudah mengatakan ini sebelumnya; aku tak menyalahkanmu. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya saat ini adalah kau. Sisanya..." Twain melihat ke arah pintu dan melanjutkan, "Mereka semua menungguku mempermalukan diriku sendiri. Kau harus membantuku."
Des Walker mengumumkan rencana pensiunnya akhir musim lalu. Alasan dia bisa menjadi seorang asisten manajer sebuah tim di usia 37 tahun adalah karena bimbingan Paul Hart. Hart-lah yang menyarankan agar Des menjadi seorang asisten manajer setelah dia pensiun nanti. Walker adalah seseorang yang sangat menghargai ikatan. Kini setelah Hart pensiun, Twain, orang yang dianggap layak oleh Hart telah menjadi manajer. Des berharap Twain bisa sukses, karena itu bisa membuktikan bahwa Hart memiliki penilaian yang tepat. Selain itu, membantu Twain akan hampir sama dengan membantu dirinya sendiri. Karena dia baru saja pensiun, dia tak punya banyak kredensial manajerial. Oleh karenanya, mengikuti Twain untuk mengumpulkan pengalaman adalah sebuah pilihan yang bagus baginya. Untuk bisa menemukan pekerjaan yang layak setelah pensiun bukanlah hal yang mudah di era dan jaman saat ini.
Walker menganggukkan kepala. "Tak masalah, bantuan apa yang kauperlukan?"
Twain menunjuk ke arah kepalanya dan berkata, "Kepalaku masih belum berfungsi dengan baik dan cenderung mengalami korslet. Saat kau bersamaku, kau tak hanya harus mengingatkanku, kau juga sebaiknya menjelaskannya padaku secara mendetil."
Walker mengangguk untuk menyatakan bahwa dia paham, dan melanjutkan bertanya, "Kalau begitu, untuk program latihan hari ini..."
"Kau saja yang memutuskan."
Mendengar jawaban Twain, Walker sedikit terkejut. Tapi, dia berhasil bereaksi dengan cepat. "Kalau begitu, kita gunakan saja program yang biasa."
"Haha, tepat seperti ini!" Tang En tertawa. "Kita akan bisa menjadi pasangan yang bagus dengan banyak sinergi."
Walker mengangkat bahunya dan berkata, "Aku merasa seolah kita membohongi banyak orang."
"Ah, jangan cemas. Kadang, berbohong juga merupakan hal yang bagus. Contohnya adalah saat kau berbohong pada orang lain demi kebaikan. Maka itu tidak dikatakan sebagai 'berbohong untuk menipu' melainkan 'berbohong untuk kebaikan'. Selama latihan, aku akan menonton di pinggir lapangan. Kecuali benar-benar perlu, aku takkan mengatakan apa-apa dan aku menyerahkan semuanya padamu. Kau harus bergegas dan membuat persiapan. Sebentar lagi pukul sembilan, dan mereka akan tiba disini sebelum kau menyadarinya."
Melihat Twain secara akurat menyinggung waktu dimulainya latihan tim, Walker percaya bahwa dia telah sedikit sembuh. Karenanya, dia menganggukkan kepalanya dan meninggalkan ruangan dengan pikiran sedikit tenang.
Setelah melihat Walker menutup pintu barulah Twain bisa menghembuskan napas lega. Berbohong untuk menipu memang tidak baik. Masih bisa dianggap oke kalau kebohongannya diungkapkan oleh orang lain, tapi apa yang dicemaskan olehnya adalah kalau dia sendiri yang membongkar kedoknya, yang jelas akan sangat memalukan.
Kesan semua orang tentang Tony Twain adalah seseorang yang kaku dan seolah hidup di jaman abad pertengahan. Tapi, dia tidak ingin mengubah dirinya sendiri agar sesuai dengan kesan yang dimiliki oleh orang lain terhadapnya. Tang En adalah seseorang dengan temperamen buruk, dan sedikit keras kepala, seperti anak kurang ajar yang kurang bimbingan. Melalui upaya yang dilakukan sendiri olehnya, dia berharap bisa mengatakan kepada semua orang bahwa inilah Twain yang asli. Sementara untuk Tony Twain di masa lalu... Hm, biarkan saja dia menghilang bersama dengan benturan yang terjadi di pinggir lapangan kemarin dulu. Aku tak punya waktu luang untuk peduli tentang kemana dia pergi dan takkan merasa bersalah sama sekali. Patut diketahui kalau aku juga telah kehilangan banyak hal! Surga sialan!
Tatapannya beralih keluar jendela, dan dia melihat bahwa hujan telah berhenti turun. Staf pemeliharaan rumput telah berada di lapangan latihan yang sebelumnya kosong, menginspeksi kondisi rumput lapangan.
Hari latihan yang lain telah dimulai.
Para pemain berlatih sesuai dengan program biasanya, tapi pikiran mereka terarah pada sang manajer, Tony Twain, yang berada di tepi lapangan. Seseorang selalu memandang ke arahnya sepintas lalu selama latihan berlangsung.
Perilaku abnormal ini tak hanya dilakukan oleh para pemain, bahkan para asisten manajer yang sibuk di lapangan juga tak bisa menyembunyikan rasa penasaran mereka.
Tampilan manajer mereka saat ini, Tony Twain, adalah sesuatu yang akan dianggap aneh oleh siapapun yang melihatnya dan mereka akan memandangnya lebih dari satu kali.
Twain memakai sepasang kaca mata hitam dan kemeja hitam, celana panjang hitam dan sepatu kulit hitam. Dia tertutup warna hitam dari kepala hingga kaki. Berdiri di pinggir lapangan, dia kelihatan serius, yang membuatnya tampak ekstra suram. Selain itu, dia berdiri dengan dilatarbelakangi langit yang mendung, seolah-olah dia membuat siapapun yang berjalan melewatinya akan berhadapan dengan sebuah kekuatan jahat.
Bahkan Walker tak mengira Twain akan muncul di tepi lapangan dengan busana itu. Sebelumnya, Twain adalah seorang manajer yang akan muncul dalam setelan olahraga dengan peluit dikalungkan di lehernya. Dia memakai sepatu lari dan berlari mengelilingi lapangan bersama dengan para pemain. Tampilannya saat ini lebih mirip seperti seorang ketua pemilik klub. Sepertinya tak mungkin dia bisa mengharapkan Twin untuk mendemonstrasikan beberapa gerakan selama latihan.
Sebenarnya, ini adalah efek dari apa yang ingin dicapai Twain. Dia merasa cemas seseorang dari tim akan memintanya menunjukkan beberapa gerakan selama latihn, yang sama sekali tak bisa dilakukan olehnya. Bahkan setelah menonton sepakbola selama bertahun-tahun, dia sangat buruk dalam bermain bola. Dia memutuskan bahwa dia sebaiknya berbusana seperti ini untuk memberitahu semua orang bahwa dia tak berniat turun ke lapangan hari itu. Selain itu, kacamata hitam yang dipakainya adalah agar tak ada orang yang bisa melihat matanya, sehingga mencegah mereka untuk tahu tentang apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Walker membantunya dengan berteriak lebih keras dari biasanya, dan dia juga berusaha memanggil nama-nama para pemain sesering mungkin. Dibandingkan dengan dirinya, asisten manajer yang lain, Ian Bowyer, tak tampak terlalu antusias. Dia adalah salah satu orang yang memiliki ekspresi merendahkan di kantor Twain. Menurut Walker, Bowyer adalah seorang veteran di dalam tim. Dia telah melayani tim sebagai seorang pemain selama bertahun-tahun dan menjadi seorang asisten manajer setelah dia pensiun.
Setelah Walker mengatakan ini, Tang En paham. Pastilah saat Paul Hart mengundurkan diri, Bowyer menganggap kalau klub pasti akan menunjuknya sebagai manajer. Tapi dia tak menduga Paul Hart akan merekomendasikan Twain, dan membuatnya merasa iri karenanya.
Tan En paham bahwa merasa iri adalah sifat alami manusia. Tapi, ini bukan berarti dia harus mematuhi si asisten. Dia tak pernah tunduk pada siapapun sepanjang hidupnya.
Bowyer mungkin tak merasa senang, tapi Tang En juga tidak.
Kalau dua hari yang lalu seseorang memintanya untuk melepaskan posisinya, dia akan melakukannya dengan senang hati. Tapi, situasinya sekarang berbeda. Karena dia sudah melangkah sejauh ini dan menjadi seorang manajer pengganti sebuah tim sepakbola, dia sebaiknya menunjukkan sebuah hasil. Tak hanya ini adalah sebuah tantangan, tapi ini juga merupakan sebuah peluang bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun, terdapat banyak peristiwa di masa lalu disaat dia menonton pertandingan sepakbola, ketika kala itu dia mengatakan pada dirinya sendiri pengaturan seperti apa yang akan dilakukan olehnya kalau dia adalah manajer mereka. Selain itu, dia juga sudah memainkan cukup banyak game sebagai manajer tim sepakbola.
Saat ini, meski dia sedang berdiri di pinggir lapangan seperti sebuah tonggak kayu, dia sebenarnya berusaha untuk mencocokkan nama-nama yang diteriakkan Walker dengan para pemain yang ada di lapangan.
Orang berkulit gelap dengan rambut dikuncir, yang rambutnya terlihat seperti Rijkaard, adalah David Johnson, striker yang menabraknya beberapa hari yang lalu. Melihat performanya di lapangan latihan, dia cukup cepat, dan dia punya daya gempur yang cukup bagus. Saat ini, Tang En hanya memiliki kesan-kesan seperti ini dari melihat latihan mereka. Hal lain yang lebih spesifik harus diamati secara mendetil, mungkin melalui pertandingan.
Anak muda yang baru saja melakukan umpan silang yang indah dari sayap itu adalah Andy Reid, seorang pemain muda sepak bola yang berbakat dan dibimbing oleh Twain sendiri, yang dipromosikan oleh Twain ke tim pertama sebelum tahun baru. Twain melihat beberapa kali ke arah anak muda itu, dan kalau ingatannya benar, anak itu nantinya akan bermain di Tottenham. Tak bisa dibayangkan bahwa dia ditransfer dari tim Nottingham Forest. Transfer itu saja sudah cukup mengungkapkan tentang kemampuan Reid, karena kalau tidak, lantas kenapa dia dilirik oleh salah satu tim tertua di Liga Utama Sepak Bola Inggris?
Karena dia menyinggung Reid, ada pula orang lain yang disadari oleh Tang En. Tang En mengalihkan pandangannya ke lapangan belakang. Diantara sekelompok pemain yang sedang berlatih menyundul bola, seorang pria jangkung menangkap perhatiannya. Rambut pirangnya tampak berkilauan, sementara wajahnya menunjukkan kepolosan seorang pemuda. Dia memiliki mata yang bersinar terang dan alis yang indah, dan penampilannya juga luar biasa. Bahkan tim manajerial merancang latihan pertahanan yang disesuaikan untuknya. Dia adalah pria yang disebut-sebut sebagai harapan masa depan Nottingham Forest, Michael Dawson. Dia telah dipromosikan ke tim pertama bersama dengan Andy Reid. Pertandingan kemarin lusa adalah pertandingan pertamanya di Liga Satu, tapi sangat disayangkan karena tim mengalami kekalahan telak. Oleh karenanya, performanya saat itu tak terlalu bersemangat. Tapi, hal itu tak mempengaruhi moodnya sedikitpun, karena wajahnya masih menunjukkan senyum yang terlihat gembira.
Dawson dipromosikan ke tim pertama Nottingham Forest bersama dengan Reid. Dua tahun kemudian, dia juga akan meninggalkan tim Nottingham Forest bersama dengan Reid, saat dia ditransfer ke klub sepakbola Tottenham. Tang En menonton beberapa pertandingan saat Dawson berada di Tottenham dan penampilannya cukup bagus. Dia menunjukkan sinergi yang bagus dengan Ledley King dan merupakan seseorang yang berani memerintah seluruh baris pertahanan di usia yang sangat muda. Dia juga merupakan pemain bertahan yang telah lama beraksi di tim pemuda Inggris, dan kemudian memiliki peluang untuk masuk ke tim nasional sepakbola Inggris. Tapi, itu semua terjadi di tahun 2007. Dawson yang ada saat ini hanyalah seorang anak muda, yang memiliki banyak harapan dan cita-cita untuk masa depan.
Setelah dia menyadari bahwa anak itu akan dibimbing olehnya, sebuah perasaan bangga muncul di dalam diri Tang En – dia tak peduli sama sekali 'Twain' mana yang merupakan pemilik asli rasa bangga itu. Saat ini, semua kebanggaan itu adalah miliknya.
Dia mengamati latihan tim dengan seksama. Dia tak hanya harus mengingat nama dan wajah para pemain, tapi dia juga harus mengingat teknik-teknik unik mereka, serta metode dan gaya latihan tim. Dia tidak bisa bertanya terlalu banyak pada orang lain, atau itu akan mengungkapkan kalau dia adalah orang baru atau amatir dalam bidang ini. Bahkan, dalam kasus terburuk, dia bisa saja dianggap amnesia dan kemudian dikirim ke rumah sakit...
Menurut hasil pengamatannya, skill tim Nottingham Forest jelas tidak lemah. Banyak pemain memiliki fitur-fitur unik yang luar biasa. Sebuah tim seperti ini, kalau dimasukkan ke Liga Satu Inggris, seharusnya memiliki kemampuan untuk naik ke Liga Utama Inggris. Tapi, sekarang sudah pertengahan musim, dan tim Nottingham Forest masih berada di posisi kesepuluh, di tengah klasemen. Untuk sebuah tim yang sangat berharap bisa memenangkan piala Liga Satu sebelum musim berakhir, hasil ini jelas buruk. Hal yang lebih buruk adalah situasi finansial klub. Setelah menjual Jenas ke Newcastle, pendapatan yang diperoleh dari transfer itu sebagian besar digunakan untuk membayar hutang-hutang mereka, sehingga hanya menyisakan sedikit modal bagi sang manajer, Paul Hart, untuk membeli pemain lain. Selain itu, Hart sudah kehilangan kepercayaan diri dalam memimpin tim ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan ketua klub. Di paruh pertama musim, tim ini berkompetisi dalam 27 pertandingan dan mencatat sepuluh kemenangan, delapan imbang dan sembilan kekalahan.
Meski dia tidak melihat Paul Hart mengarahkan tim selama pertandingan, Twain mempercayai kemampuan Paul sebagai seseorang yang telah membesarkan banyak pemain-pemain luar biasa, dan seharusnya kemampuan Paul Hart tak lagi diragukan. Bahkan jika beberapa pemain telah dijual, seperti yang terjadi pada Jenas si pemain bintang, kemampuan tim seharusnya tak menurun drastis hingga mencapai kondisi saat ini. Kalau kemampuan para pemain bukan penyebabnya, maka dimana sumber permasalahan yang membuat tim ini membukukan catatan pertandingan yang sangat menyedihkan?
Karenanya, suaranya tiba-tiba saja menggema ke seluruh lapangan latihan.
"Hey! Apa kalian semua sedang di kebun binatang?! Apa yang kalian lihat? Fokus pada latihan! Kenapa kalian semua melihat ke arahku?!"
Dengan melakukan ini, dia telah benar-benar menjadi seperti hewan di kebun binatang, karena semua orang mengarahkan tatapan mereka pada manajer yang marah. Melihat sang manajer yang tadinya berdiri diam disana seperti tonggak kayu tiba-tiba saja berteriak, tidaklah mengherankan kalau mereka semua terkejut bukan main. Tapi, hal yang lebih membuat mereka terkejut adalah fakta bahwa mereka tak pernah melihat Tony, yang biasanya introvert, berteriak-teriak sebelum ini. Sangatlah tak terbayangkan bahwa seseorang seperti Tony Twain yang biasanya berbicara dalam cara yang terorganisir, bisa mengatakan hal-hal semacam ini dengan emosi yang kuat.
Mungkin manajer mereka sangat jauh berbeda dari siapa dirinya sebelumnya.
Karena ada pertandingan di hari berikutnya, intensitas latihan hari ini cukup ringan. Intensitas latihan yang tinggi seperti misalnya dua kali latihan di hari yang sama, biasanya hanya dilakukan di pertengahan minggu, dan hanya ketika tidak ada dua pertandingan di sepanjang minggu tersebut. Setelah latihan pagi berakhir, Walker membiarkan para pemainnya pulang ke rumah. Di akhir latihan, staff dan para pemain meninggalkan tempat satu persatu, sementara Des berjalan bersama Tang En menuju ke kantor Tang En.
"Setelah melihat latihan pagi, bagaimana pendapatmu?" Tanpa menunggu dipersilahkan oleh Twain, Walker duduk di sebuah kursi setelah dia memasuki kantor dan bertanya dengan santai. Dia menganggap Twain saat ini lebih mudah diajak bergaul, karena dia tak lagi diam saja dan bisa tertawa serta berteriak. Perasaan semacam ini tidak buruk.
Tentu saja, Tang En tak bisa berbicara jujur tentang banyaknya ketidakpastian yang dimilikinya di dalam benaknya. Hal ini disebabkan karena dia bukanlah seorang pengunjung yang mengamati latihan tim untuk pertama kalinya, dan tak memiliki pengetahuan tentang tim Nottingham Forest sebelum ini. Melainkan, dia adalah manajer tim, dan karenanya dia seharusnya tahu banyak hal tentang tim. Bahkan jika otaknya mengalami cedera, dia seharusnya tak melupakan semua hal ini. "Terlepas dari fakta bahwa mereka tidak fokus, secara keseluruhan, latihan hari ini tak terlalu buruk."
Baru pada saat inilah Walker menyadari Twain tidak membawa buku catatan yang selalu dibawa-bawa olehnya. "Apa kau tidak mencatat sesuatu? Dimana buku catatanmu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah tangan Twain.
Tapi, Tang En menunjuk ke arah kepalanya dan menjawab, "Aku mencatatnya disini." Tentang hal ini, dia tidak bohong. Ingatannya sangatlah bagus sejak dia masih muda. Karenanya, meski tak disukai oleh guru-gurunya, nilai-nilai sekolahnya masih tetap cukup bagus.
Walker menggelengkan kepala dan tersenyum. "Kelihatannya perubahan ini sangatlah besar sampai-sampai aku ragu kalau pria yang berdiri di hadapanku saat ini benar-benar Tony Twain."
Tang En merasa bahwa ini adalah sebuah kesempatan agar orang lain bisa menerima dirinya secara bertahap, tapi dia tak boleh mengekspresikannya secara lugas. Melainkan, dia harus menggunakan strategi. Dia menunjukkan ekspresi terkejut, dan berkata, "Huh? Kadang aku sendiri juga tak bisa menjelaskannya, tapi ini memang terjadi. Apa ini tidak bagus? Kalau begitu, aku sebaiknya kembali ke diriku yang dulu..."
"Jangan, jangan," Walker segera memotong kalimatnya. "Begini sudah bagus, begini sudah bagus. Tidak bisa lebih bagus lagi. Kau yang sekarang jauh lebih mudah untuk diajak bergaul."
Twain tertawa di dalam hati, karena ini memang hasil yang diharapkan olehnya. Dia membutuhkan seseorang untuk memperkenalkan dirinya yang baru pada orang-orang lain, dan tak ada orang lain yang lebih pantas untuk melakukan peran ini kecuali Des Walker, yang telah melayani klub selama lebih dari 10 tahun.
Setelah mengantarkan Walker keluar dari kantornya, Tang En mulai mencari ke seluruh kantor. Walker menyebutkan sebuah "buku catatan", yang harus ditemukan olehnya karena isi yang tertulis disana mungkin akan bisa membantunya.
Di laci ketiga mejanya, dia akhirnya menemukan buku catatan yang sedikit lusuh. Buku itu sedikit lebih kecil daripada papan taktik, tapi sangat tebal. Sampul kulitnya yang berwarna hitamnya sudah usang, dan halaman-halamannya sudah menguning. Bahkan tulisan "Buku Catatan" di sampulnya juga sudah mengelupas karena terlalu sering dibuka-buka, menunjukkan bahwa buku tersebut telah digunakan sejak lama.
Tang En membuka buku catatan tebal itu dengan hati-hati, khawatir halaman-halaman yang terlepas akan berjatuhan dari dalam buku, atau buku catatan yang terlihat antik itu akan patah menjadi dua hanya karena disentuh.
"Dia benar-benar orang jaman abad pertengahan," Twain mendecakkan lidahnya dengan sarkastik. Sekarang sudah era teknologi komputer dan internet, dan dia masih menggunakan catatan kertas untuk mencatat. Tak bisakah dia membawa sebuah laptop? Itu akan lebih nyaman dan tampak elegan, dan juga bisa digunakan untuk menarik perhatian para wanita. Pikirkan saja. Memesan secangkir kopi di tempat seperti Starbucks, duduk di kursi dekat jendela. Tanpa mempedulikan apa yang terjadi di sekeliling, membuka laptop, jari jemari bergerak lincah diatas keyboard, sementara kopi yang sampingnya menguarkan aroma yang sangat harum...
Tang En menggelengkan kepala dan menghentikan jenis khayalan konyol ini. Dia tidak pernah pergi ke Starbucks. Untuk seorang pria kelas pekerja sepertinya yang berjuang keras hanya untuk memberi makan dirinya sendiri dan menemukan tempat untuk berlindung dari hujan dan panas, dia tidak pernah memiliki kemampuan ekonomi ataupun mood untuk pergi ke sebuah kafe. Bahkan jika dia memang keluar dari rumahnya, itu adalah perjalanan menuju bar dimana dia bisa menonton pertandingan sepakbola atau ke rumah teh, yang banyak tersedia di sekitar kota Chengdu.
Membuka sampul buku catatan yang terbuat dari kulit itu, terdapat barisan kata yang tertulis rapi di halaman judul. Meski tintanya telah cukup samar, barisan kata –kata itu tetap tampak jelas dan menonjol:
"Beberapa orang percaya bahwa sepakbola adalah masalah hidup dan mati, saya sangat kecewa dengan sikap seperti itu. Saya bisa menjamin bahwa sepakbola jauh lebih penting daripada itu."
Melihat kalimat ini, senyum meremehkan di wajah Tang En perlahan menghilang.
Sebagai salah satu fan sepakbola, dia tahu apa arti kalimat itu, dan bobot dibalik kata-kata ini. Dan hanya seorang fan sepakbola yang bisa memahami makna dibalik kata-kata itu. Sepakbola tak lagi hanya sekadar olahraga, atau sebuah permainan yang dimainkan di jalanan. Melainkan, sepakbola adalah semacam agama, keyakinan dan mengandung hidup dan darah dari seorang fan sepakbola....
Melihat Tony Twain yang asli benar-benar menuliskan kalimat itu di halaman judul, hal ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa berartinya kalimat itu baginya. Bahkan tidaklah salah untuk mengatakan bahwa itu adalah motto-nya. Dia tak menduga bahwa orang "abad pertengahan" yang pendiam dan membosankan sebenarnya menyukai jenis kutipan terkenal semacam ini. Kutipan itu emosional, sedikit irasional dan sama sekali tak mencerminkan Twain.
Mungkin diri Twain yang sebenarnya tidaklah sesuram seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Mungkin jauh di dalam hatinya, terdapat pula api yang selalu membara.
Dia membuka-buka buku catatan itu. Jika dibandingkan dengan kertas planner yang kaku dan tidak fleksibel itu, kandungan isi buku catatan ini jauh lebih berantakan. Kalau tidak ada tanggal dan waktu yang dituliskan disana, akan mustahil untuk mengetahui urutan konten. Beberapa diantaranya bahkan ditulis di ruang kosong di tepi halaman, dan tulisan tangannya sangatlah berantakan dan tak terbaca. Bisa dilihat disini bahwa beberapa hal langsung dituliskan saat dia baru saja memikirkannya. Karenanya, semua catatan dimasukkan dan dituliskan kapanpun ada ruang disana.
Catatan pertama ditulis pada tanggal 21 Maret 1998, sementara catatan terakhir berhenti pada tanggal 31 Desember 2002. Setelah beberapa kali membolak-balik halaman, dia sudah mencapai bagian belakang buku catatan tebal itu. Halaman untuk tanggal 31 Desember 2002 dipenuhi informasi terkait lawan mereka. Walsall, serta strateginya sendiri. Dia telah memperkirakan banyak kemungkinan dan langkah-langkah untuk menghadapinya, tapi dia tak memperhitungkan fakta bahwa dia akan dirasuki oleh Tang En.
Tang En menghembuskan napas panjang. Dia tak berencana untuk mencatat apa-apa lagi di dalam buku catatan ini. Alasan pertama adalah karena tak ada cukup tempat, sementara alasan kedua adalah dia tak ingin menghancurkan kerja keras orang ini, dan karenanya tak ingin menuliskan bahkan satu baris sekalipun. Sambil memegang buku catatan di tangannya, Tang En merasakan bobotnya yang berat.