Tang En tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam.
Jauh dari ranjangnya yang familiar, dia berulang kali berganti posisi untuk mencoba tidur di ranjang yang luas itu. Kepalanya penuh dengan beragam mimpi yang tak masuk akal. Di dalam mimpinya, dia melihat bahwa dirinya tampak kuat, membawa tas bepergian sambil berdiri di depan pintu masuk City Ground. Setelahnya, dia berdiri di samping lapangan sepakbola yang hijau dan subur. Disampingnya adalah seorang pria paruh baya dan ada lebih dari 10 orang pemain muda sepakbola yang mengelilingi mereka. Si pria paruh baya itu muncul dalam mimpinya beberapa kali, dan setiap kali dia muncul, tubuh Twain berdiri disampingnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seperti layaknya sebuah patung. Setelahnya, dia kembali ke lapangan sepakbola yang hijau dan subur itu lagi. Tapi, si pria paruh baya itu sudah menghilang. Kali ini, gilirannya dikelilingi sekelompok pemain muda sepakbola, dimana dia mengatakan sesuatu kepada mereka. Dan kemudian, pemandangannya berubah. Dia melihat sebuah pemandangan yang familiar – lapangan sepakbola tempatnya berada hari ini. Seorang pria paruh baya berdiri disampingnya seperti biasa. Saat dia mengarahkan pertandingan dengan setelannya yang rapi, Twain tetap diam. Mimpinya selalu berubah-ubah dan pria paruh baya disampingnya juga menjadi semakin mudah marah dan kesal. Hingga akhirnya suatu hari, tak ada seorangpun disamping Twain. Melainkan, seorang pria tua berdiri di hadapannya dan menepuk bahunya. Mulutnya mengatakan sesuatu, tapi sayangnya, tak ada yang terdengar.
Dan kemudian... Tang En terbangun.
Saat dia membuka matanya, dia melihat langit masih gelap. Diluar jendela, suara hujan yang berderai terdengar. Dia masih duduk diatas ranjang, dan matanya mulai menyesuaikan diri dengan kondisi ruangan yang gelap. Melihat kearah perabot yang sepenuhnya asing di dalam rumah itu, dia masih memiliki keraguan tentang datang ke Inggris begitu saja. Dia bahkan menjadi seorang manajer sepakbola, meski hanya pengganti... Dia menggosok wajah dengan tangannya, untuk membuatnya lebih terjaga, lalu Tang En melompat turun dari atas ranjang dan membuka gorden yang tertutup rapat.
Diluar rumah matahari mulai terbit, dan tak ada banyak pejalan kaki. Tanah yang basah memantulkan cahaya dari sinar lampu jalan dan dari mobil-mobil yang melintas. Saat itu hujan turun.
Cuaca seperti ini membuatnya berpikir tentang kota asalnya, sebuah kota kecil di provinsi Sichuan. Kota itu juga merupakan kota yang sering mengalami hujan. Tanpa peduli apakah saat itu musim panas atau musim dingin, disana selalu basah. Melihat pagi hari yang seperti ini, sedikit perasaan hangat berkembang di hatinya.
Merasa sedikit dingin, Twain baru sadar kalau dia hanya memakai celana dalamnya. Dengan cepat dia memakai pakaiannya dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tempat dimana manajer Tony Twain tinggal adalah sebuah tempat yang disebut Branford Gardens. Ini adalah sebuah area hunian yang sangat umum dan dikenal sebagai Distrik Wilford, berada di bagian selatan tepi sungai Trent. Rumahnya adalah sebuah rumah bata merah yang umum terdapat di Inggris dengan sebuah taman kecil. Kalau dihuni satu orang saja seperti Twain, rumah itu dianggap cukup besar. Tapi, ukurannya jelas tidak bisa dianggap besar di Nottingham. Harga sewanya sangat murah, dan hal yang paling penting adalah lokasinya yang sangat dekat dengan lapangan latihan dan kompleks pelatihan pemuda untuk tim Nottingham. Berjalan kaki ke arah timur laut selama 20 menit maka gerbang kompleks latihan itu akan terlihat, tersembunyi ditengah hutan.
Setelah membersihkan diri, Twain memutuskan untuk pergi ke dapur dan menemukan sesuatu untuk dimakan.
Baru setelah dia berjalan ke kulkas, dia menyadari bahwa pintu kulkasnya dipenuhi kertas memo. Saat membuka pintu kulkas, dia menemukan sekarton susu dan sepotong roti. Kemudian dia hanya berdiri di depan kulkas dan membaca memo-memo itu sambil menghabiskan sarapannya yang sederhana.
Kertas catatan yang paling mencolok berbentuk lembaran seukuran A4. Tang En merasa pusing setelah melihat isinya.
6:30-7:00 Lari pagi
7:00-7:20 Sarapan
7:00-7.40 Membaca surat kabar
7:40-8:00 Pergi ke tempat latihan (Catatan: untuk hari pertandingan, pengaturan lain)
Ini adalah sebuah rencana aktivitas kerja-istirahat yang sangat mendetil untuk dijalankan setiap hari, dan alokasi waktu yang diberikan sangat akurat hingga setiap menitnya dengan sejumlah catatan tambahan. Dari sejak dia membuka mata di pagi hari, rencana itu dijalankan tepat waktu, hingga saat dia kembali berbaring diatas ranjangnya dan menutup mata untuk tidur.
"Dasar OCD sialan!" Bagi Tang En yang malas, metode merencanakan kehidupan sehari-hari seseorang dan memisahkannya ke dalam segmen-segmen hingga ke menit-menitnya dan mengisinya dengan detil yang kongkrit adalah siksaan hidup. Dari sejak dia membuka matanya, aktivitas hariannya telah terencana, melakukan sebuah hal spesifik pada waktu spesifik, dan melakukan hal spesifik yang lain di waktu spesifik yang lain. Ini dilakukan hingga tingkatan dimana Twain yang asli memasukkan slot waktu spesifik untuk pergi ke toilet, di dalam timetable-nya, menunjukkan kebiasaannya untuk hidup teratur. Tang En akhirnya memahami alasan kenapa Kenny Burns, pria yang ditemuinya kemarin, merasa terkejut dengan fakta bahwa dia meminum minuman keras – Tony Twain yang lama adalah seorang pria yang seratus persen gila kerja, tanpa daya tarik emosional, sama sekali tidak tahu bagaimana cara menikmati hidup, dan mirip mesin yang keras kepala dan sama sekali tidak fleksibel.... Orang semacam itu bisa hidup sampai usia 34 tahun merupakan sebuah keajaiban!
Di sekeliling kertas planner berwarna putih itu, terdapat pula beberapa strip catatan kecil berwarna kuning, hijau dan merah yang ditempelkan. Isi yang berbeda dituliskan di dalamnya. Catatan kuning berisi memo yang mengingatkannya tentang kapan dia harus menghadiri meeting. Catatan hijau berisi detil kontak yang dicatatnya secara acak. Tak ada banyak catatan hijau semacam ini, kelihatannya semua detil kontak itu pada akhirnya dipindahkan ke buku telpon pribadi Twain. Catatan merah lebih banyak daripada dua catatan lainnya. Mereka mengandung pengaturan penting untuk hari itu, dan ada satu untuk setiap harinya. Tang En terus memeriksa pintu kulkas itu, dan akhirnya dia menemukan catatan merah yang ditempelkan disana pagi hari kemarin.
Selain tanggal, hanya ada sebaris kalimat yang tertulis disana:
"Pertandingan liga satu pertama yang kupimpin sebagai manajer harus menang!!!"
Setelah melihat begitu banyak memo yang ditinggalkan oleh Twain yang asli, ini merupakan kali pertama bagi Tang En melihat penggunaan tanda seru untuk menunjukkan sebuah perasaan yang kuat, dan Twain menggunakan tiga tanda seru.
Melihat kata-kata yang ditulis dengan terburu-buru dan berantakan di kertas merah itu berbeda dari yang ada di dalam catatan yang lain, Tang En bahkan bisa membayangkan seperti apa ekspresi dan tindakan yang dilakukan oleh Twain, saat dia menuliskan kalimat itu. Dia pastilah tengah mengepalkan tangannya dengan erat, menggertakkan giginya, penuh antisipasi dan semangat juang saat dia menggunakan seluruh kekuatan tubuhnya untuk menuliskan sumpah itu.
Sayang sekali... Tang En ingat apa yang dilaporkan di berita kemarin. Tim Nottingham Forest kalah dengan menyedihkan 0:3 di kandang mereka sendiri saat melawan tim Walsall yang lemah. Apa kemunculan dirinya yang mendadak justru menjauhkan kemenangan? Tang En bertanya-tanya sambil menatap kosong ke arah pintu kulkas yang penuh dengan tempelan kertas catatan kecil.
Twain pasti memiliki rencana yang komprehensif dan mengatakannya pada para pemainnya sebelum pertandingan dimulai. Tapi apa gunanya? Mereka tetap kalah. Terdapat ungkapan Cina yang mengatakan: Rencana selalu tertinggal dibelakang perubahan.
Satu demi satu, Twain menjulurkan tangan dan mencabut kertas memo di pintu kulkas. Terakhir, dia hanya meninggalkan memo merah yang memiliki kata-kata "harus menang" tertulis diatasnya. Setelahnya, dia membuang semua kertas catatan dan karton susu ke dalam tempat sampah dan menepukkan tangannya sambil meninggalkan dapur.
Ketika dia kembali ke kamar tidurnya, sinar matahari telah bersinar sangat terang. Meski masih hujan, jumlah pejalan kaki dan mobil di jalanan telah semakin bertambah. Mengingat dia harus pergi ke kompleks latihan pada pukul delapan, Tang En menundukkan kepala dan mengecek jam tangannya. Masih pukul 7:40.
Tak peduli seberapa buruk dan tak masuk akalnya realitas, Tang En telah menjadi Tony Twain. Sebagai pengganti Twain, tentu saja Tang En harus menjalankan pekerjaan Twain. Tang En bukanlah orang yang tak bertanggungjawab. Selain itu, kapanpun dia menonton sepakbola, tak pernah sekalipun terlintas di benaknya bahwa kemenangan akan bisa diraih tanpa upaya apapun. Dia memakai mantel luar dan mengambil payung hitam di dekat pintu sebelum kemudian mendorong pintu rumah hingga terbuka dan melangkah ke bawah hujan.
Lapangan latihan tim Nottingham Forest juga berada di Distrik Wilford. Sungai Trent yang mengalir ke timur membuat kelokan berbentuk 'N', membentuk sebuah plot lahan datar yang luas. Satu abad yang lalu, tempat ini masih merupakan plot lahan subur yang bisa ditanami dan juga hutan. Nottingham hanyalah sebuah plot lahan kecil yang berada di tepi selatan sungai Trent. Kini, pembangunan kota telah melampaui batas Sungai Trent. Kota ini telah menjadi sebuah area hunian berskala cukup besar, dan Nottingham Forest Football Club telah membeli sejumlah besar lahan disini untuk membangun fasilitas latihan mereka sendiri.
Kompleks latihan yang sempit dan panjang telah dipisahkan menjadi dua oleh sebuah lembah kecil yang disebut "Wilford Lane". Sisi utara sedikit lebih besar ukurannya dan merupakan kompleks latihan untuk tim pemuda. Training camp untuk tim pemuda disini adalah salah satu dari sedikit training camp tim pemuda yang terbaik di seluruh Inggris. Disisi lain, sisi selatan yang sedikit lebih kecil adalah kompleks latihan untuk tim pertama, yang juga dikenal sebagai "Wilford".
Hujan yang turun di Inggris saat musim dingin tidaklah deras, tapi sangat mengesalkan, karena hujan hampir tak pernah berhenti turun. Tang En merasa tak berdaya. Bagaimanapun juga, tak peduli apakah dia berada di kota asalnya atau kota tempatnya tinggal setelah lulus kuliah, hujan tak pernah berhenti mengguyur saat musim dingin tiba.
Penjaga kompleks latihan, Ian Macdonald, melihat ke arah Tony Twain yang basah kuyup dengan tatapan bingung. "Tony, kenapa kau datang kemari?"
Tang En, merasa bahwa pertanyaan itu sedikit konyol. "Untuk latihan, tentu saja."
Macdonald menjawab, "Tapi Tony, sekarang ini tanggal 2 Januari 2003. Tim sepakbola sudah pergi berlibur, libur Tahun Baru."
Tang En menepuk kepalanya, seolah-olah dia lupa tentang itu.
Melihat Tony menepuk kepalanya, Macdonald menggelengkan kepala dengan ringan. Dia pasti berpikir bahwa kepala Twain sedikit tidak beres setelah mengalami insiden kemarin.
"Aku merasa, disini sangat, sangat tenang. Selamat Tahun Baru." Twain tersenyum canggung ke arah Macdonald sebelum membalikkan badan dan baru akan beranjak pergi. Pada saat itu, dia melihat sebuah Audi A6 berwarna merah gelap berhenti disampingnya.
Pintu belakangnya terbuka, dan seorang pria tua yang tambun muncul dari dalam. Pikiran bawah sadar Tang En mengatakan bahwa orang itu adalah bosnya, ketua tim sepakbola, Nigel Doughty. Orang berikutnya yang juga turun dari mobil itu adalah seorang pria paruh baya. Dia mungkin berusia sebaya dengan Twain, jangkung dan tampak berpengalaman. Memakai sebuah jaket kasual, dia memegang sebuah payung di tangannya, memayungi kepala sang ketua.
Doughty melihat Twain yang sedang berdiri di pinggir jalan, dan secara otomatis menjulurkan kedua lengannya untuk memeluk Twain. "Tony, aku melihat berita kemarin. Maafkan aku karena tak menghubungimu, putraku baru saja kembali dari Amerika untuk mengunjungiku. Apa kau baik-baik saja?"
Twain sedikit terkejut melihat sikap si bos pada dirinya, dan menjawab dengan cepat. "Saya rasa saya akan... baik-baik saja. Terima kasih, Pak Ketua."
Nigel melepaskan pelukannya pada Twain dan sambil menunjuk ke arah pria paruh baya yang berdiri disampingnya, dia berkata, "Putraku, Edward."
Edward Doughty mengulurkan tangannya, "Halo, senang bertemu dengan Anda, Tuan Pelatih..."
Ayahnya yang berada disampingnya memotong ucapannya, "Edward, aku sudah mengatakan berulang kali. Kau tidak memanggilnya 'pelatih', kau harus memanggilnya 'manajer'. Kita berada di Inggris, bukan di Amerika."
Edward tersenyum meminta maaf pada Twain, "Maaf, Tuan Manajer."
Tang En juga mengulurkan tangannya, "Tak masalah, saya juga merasa senang bertemu dengan Anda, Tuan Doughty."
Ketua Doughty kembali memotong pembicaraan mereka, "Putraku baru saja kembali dari Amerika. Dia sudah tinggal disana sejak dia masih kecil, dan karenanya menjadi kurang familiar dengan Inggris. Dia kini seorang 'Amerika' yang tumbuh besar dengan menonton NBA."
Terhadap sarkasme semacam ini, Edward hanya bisa tersenyum pasrah. Dia tak berusaha membantah ayahnya.
Orang yang berdiri dihadapannya adalah atasan yang membayar gajinya, Tang En mengingat ini dari catatan merah yang ada di pintu kulkas. Dia merasa kalau dia harus menjelaskan tentang kekalahan kemarin, bahkan meski dia harus berbohong untuk itu. "Er, Ketua, tentang kekalahan kemarin, saya benar-benar minta maaf..."
Tanpa diduga, bos-nya menepuk pundak Tony dengan ringan, dan malah mulai menghiburnya. "Tony, aku juga tidak suka kalah, tapi ini bukan tanggungjawab yang harus kau tanggung sendirian. Dua musim ini..." Pada saat ini, Doughty menatap ke kejauhan dengan mata yang menunjukkan kesusahan batin dan menggumamkan beberapa kata makian, yang mana setelahnya, dia kembali ke masa kini. "Lakukan saja yang terbaik dan jangan terlalu banyak memikirkannya. Aku takkan memberimu tekanan yang lebih besar. Selamat Tahun Baru, Tony," dengan ringan dia menepuk pundak Twain sebelum kemudian memutar tubuh dan berjalan dengan putranya memasuki kompleks latihan tim.
Tang En berdiri di pintu gerbang dan melihat sosok sang ketua. Disampingnya adalah putranya, Edward, yang membantunya berjalan dan menaunginya dengan payung. Melihat ini, dia tak bisa mengekspresikan dengan kata-kata apa yang saat itu sedang dirasakannya. Perasaan apa ini yang dimilikinya? Dia telah menerima fakta bahwa dia kini adalah seorang manajer sepakbola, tapi secara emosional, dia tak bisa menerima tim ini dalam kurun waktu sehari. Dia tidak punya banyak pengetahuan tentang Nottingham Forest, selain fakta bahwa mereka memiliki masa lalu yang penuh kejayaan. Dia juga bukan seorang fans tim Nottingham Forest.
Meski demikian, tepukan di pundaknya yang dilakukan oleh sang ketua, membuatnya merasa hangat di dalam hati. Sebagai seorang "asing", jenis sambutan semacam ini sangatlah berharga baginya. Dia telah memutuskan untuk menjalankan pekerjaannya dengan baik, dengan kemampuan tertinggi yang dimilikinya. Dia akan melakukan itu tak hanya karena kesal terhadap sekumpulan orang-orang mabuk kemarin, tapi juga agar dia tidak mengecewakan kepercayaan Tuan Doughty padanya – bahkan jika sang ketua tak tahu bahwa yang dipercayainya bukanlah Tony Twain yang selama ini dikenalnya.
"Selamat Tahun Baru, pak tua..."
Setelah meninggalkan lapangan latihan Wilford, Tang En berjalan tanpa arah di jalanan. Hujan sudah berhenti, jadi dia bisa menggunakan payung sebagai tongkat berjalan.
Terdapat lebih banyak pejalan kaki di jalan dibandingkan dengan ketika dia baru meninggalkan rumah. Hal ini bisa diduga, mengingat hari ini adalah hari libur nasional. Semua orang turun ke jalan dan bermain dengan teman-teman mereka. Saat ini memang masih Tahun Baru. Tapi, jenis mood penuh perayaan semacam ini tidaklah cocok bagi Tang En, karena dirinya yang sekarang tidak sedang mood untuk menikmati festival.
Dia merasa aneh bahwa dia bisa membaca dan memahami setiap kata bahasa Inggris seolah dia dilahirkan dengan kemampuan ini. Dia juga familiar dengan bahasa negara ini sama seperti dia familiar dengan bahasa Mandarin, serta beberapa skill bertahan hidup lainnya. Tapi, dia juga telah melupakan beberapa hal lain yang penting.
Seolah terdapat semacam interval atau jarak yang hilang di dalam memorinya, dia tidak bisa mengingat bagaimana Tony Twain melatih timnya, atau bagaimana dia mendapatkan taktik untuk pertandingan. Dia juga merasa tidak yakin dengan hubungan sosialnya terhadap orang lain di klub, dan pengaruhnya ataupun reputasinya di dalam klub. Oleh karenanya, dia tak mengerti kenapa Ketua Doughty sangat ramah padanya. Ingatan yang hilang itu hanya akan muncul dalam semburan-semburan acak dan menghentikan benak pikirannya selama sesaat, sebelum kemudian kembali menghilang.
Meski demikian, Tang En tahu jenis orang seperti apa Tony Twain di masa lalu. Dia adalah seorang pria dengan perilaku baik, pendiam, serius dalam pekerjaan dan seorang pekerja keras. Dalam hal kehidupan pribadi, dia seperti seorang biksu petapa. Dia tidak merokok dan tidak minum minuman keras, dan tidak memiliki banyak pengalaman dalam hal percintaan. Dia tidak pernah mengunjungi tempat-tempat yang berkonotasi buruk, dan hanya beristirahat di rumah selain di tempat kerja. Dia seperti jam raksasa yang membosankan di Jembatan London, dengan teliti dan kaku mencoba menyerupai jam itu. Dia menyukai keheningan, dan satu-satunya hal yang bisa dianggap sebagai masa lalunya adalah memasang headphone dan mendengarkan musik klasik di dalam kamarnya.
Setelah menggali sejumlah informasi yang relevan tentang Tony Twain di dalam benak pikirannya, Tang En tak bisa menahan diri untuk berseru, "Sial! Dia seperti orang yang hidup di jaman pertengahan. Dia sangat membosankan. Bagaimana mungkin orang seperti ini masih bisa eksis di dunia ini?!"
Twain menggunakan kesimpulannya sendiri. Tubuh yang saat ini dihuninya bukanlah miliknya. Tubuh ini milik orang yang hidup di abad pertengahan, dan dipanggil "Tony Twain". Oleh karenanya, dia memiliki insting alami yang membuatnya familiar dengan gaya hidup orang Inggris. Pada waktu yang bersamaan, jantungnya sebagai Tang En berdetak di dalam tubuh ini, sehingga dia memiliki karakter yang sepenuhnya berbeda dari insting yang dimiliki oleh tubuh ini.
Sekarang setelah dia memikirkannya, dia masih harus berterima kasih atas pengalaman memalukan yang terjadi kemarin. Sekarang setelah semua orang tahu tentang cedera kepalanya, dia tak perlu takut tentang orang lain mulai merasa curiga tentang perubahan karakter Tony Twain yang drastis.
Merasa lelah setelah berjalan-jalan, Twain duduk di sebuah bangku panjang untuk beristirahat. Setelahnya, dia mulai bertanya-tanya, apa yang harus dilakukan olehnya untuk menjadi seorang manajer yang sukses, agar tak mengecewakan kepercayaan yang diberikan sang ketua pada dirinya.
Dia bertanya-tanya sendiri selama setengah hari tanpa mendapatkan hasil. Dia tidak tahu bagaimana caranya melatih sebuah tim sepakbola, juga bagaimana memimpin mereka mencapai kemenangan. Game Football Manager yang dimainkannya dulu jelas tak berguna dalam situasi ini. Sementara terkait para pemain Nottingham Forest, dia juga benar-benar tidak familiar dengan mereka. Setidaknya, dirinya yang sekarang ini yang tidak familiar dengan mereka. Dia tidak bisa menggerak-gerakkan tangannya seperti yang biasa ia lakukan saat menonton siaran ulang pertandingan sepakbola di televisi dan membuat komentar seperti misalnya, "Manajer seharusnya mengeluarkan orang itu,""pindahkan pemain itu ke kiri,""biarkan orang itu memberikan assist dengan aktif..." Berhadapan dengan sebuah tim sepakbola yang benar-benar asing, Twain tidak bisa memberikan komentar apapun, tak peduli berapa banyak pertandingan sepakbola yang telah ditontonnya selama ini.
Hal yang paling buruk adalah, tak ada banyak waktu baginya untuk membuat persiapan. Tim hanya libur selama satu hari, dan mereka akan kembali berkumpul di hari berikutnya untuk persiapan pertandingan babak ketiga FA Cup di tanggal 4. Lawan mereka adalah West Ham, yang berasal dari Liga Utama.
Sekarang setelah tim Nottingham Forest mengalami kekalahan tiga kali berturut-turut di FA Cup Inggris, dan manajer yang baru diangkat telah menjadi bahan tertawaan di siaran televisi, semangat mereka sedang turun. Meski West Ham tidak memiliki catatan yang mengesankan di Liga Utama, mereka masih jauh lebih kuat daripada tim Nottingham Forest.
Twain tertawa getir. "Saat turun hujan, hujannya deras... Kalau ini adalah takdir yang tersimpan untukku, maka aku hanya bisa berkata: kau benar-benar sialan!"
Twain yang merasa kesal mengangkat kepalanya dan melihat ada bar yang cukup besar di pojok jalan tepat di seberangnya. Melihat kata bahasa Inggris 'Pub' tertulis disana, dia memutuskan untuk masuk dan minum sesuatu, mencoba menyisihkan semua masalah yang dihadapinya untuk sementara.
"Melakukan perjalanan ke Inggris bukan tanpa keuntungan, setidaknya ada banyak bar di semua tempat." gumam Tang En pada dirinya sendiri sambil menyeberang jalan, mendorong pintunya yang berwarna merah kecoklatan.
Mendengar suara pintu terbuka, seorang pria paruh baya di balik konter bar yang sedang mengelap gelas mengangkat kepalanya dan berkata, "Sorry, kami masih belum buka. Aku lupa menggantung tandanya di depan pintu..." Tapi, saat dia melihat siapa yang datang, dia tercengang.
Tang En juga tercengang, karena dia mengenali siapa orang itu. Itu adalah orang yang mentraktirnya minum kemarin – Kenny Burns. Kemarin, dia telah kehilangan kesabarannya, dan mengacaukan bar. Sungguh kebetulan dia datang kemari lagi!
Reaksi Tang En yang pertama adalah melangkah keluar dari bar. Dia mendongakkan kepalanya, melihat ke arah papan tanda dekat pintu masuk, dan melihat ke sekeliling bar itu. Dia tidak bisa tidak menyumpah, "Buset, bagaimana mungkin aku bisa berjalan sampai kemari?"
Burns melihat ke arahnya dengan sedikit tertarik dan berkata, "Sepertinya kecelakaan itu membuat Tony Twain kita mengalami perubahan karakter."
Itu adalah peluang yang bagus bagi Tang En untuk membuang kecanggungannya. Melanjutkan apa yang barusan dikatakan Burns, dia menjawab, "Aku tahu, dirinya yang lama... erm, maksudku aku tidak memaki dan punya perilaku selembut seorang wanita. Masih belum buka? Kurasa aku akan pergi ke tempat lain..." saat dia hendak melangkah pergi, suara tawa Burns terdengar.
"Jangan buang-buang energi. Takkan ada bar yang buka sebelum 11:30 di siang hari."
Twain membalikkan badan dengan sedikit malu dan berkata, "Aku... aku jarang datang, jadi aku tidak tahu."
"Bukan jarang, hari ini adalah kali keduamu di dalam bar. Aku sudah mengatakannya sebelum ini, kau dulu hidup seperti puritan yang paling murni. Kau tak keberatan aku bicara padamu seperti ini, kan?"
Tang En menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang ateis dan tak terlalu religius. Jadi, dia tak terlalu peduli tentang aliran religius mana yang dilekatkan padanya oleh orang-orang di sekitarnya.
Burns berjalan keluar dari konter bar dan melambaikan tangan kepada Twain yang berdiri di dekat pintu. "Karena kau sudah disini, jangan pergi. Sebenarnya, aku sendiri agak bosan. Bagaimana kalau menemaniku mengobrol? Tentu saja, aku yang membayar."
Kebetulan sekali Tang En juga mencari seseorang untuk diajak berbicara. Mengedipkan matanya beberapa kali, Twain bertanya, "Scotch whisky paling murni?"
Burns tertawa keras dan menjawab, "Benar, dari kota asalku, scotch whisky yang paling otentik! Tapi tolong jangan menekan wajahku dengan gelas anggur."
"Ah! Insiden itu... aku benar-benar minta maaf."
"Tak apa. Sudah umum jika terjadi perkelahian di bar. Mudah sekali menjadi kelewat senang setelah minum beberapa gelas, khususnya kalau membahas tentang pertandingan sepakbola..." Burns menganggukkan kepala untuk menunjukkan bahwa dia memahami situasinya.