Pria itu adalah orang yang melukai dirinya dan mendorongnya ke jurang yang dalam. Jika bukan karena pohon-pohon yang tumbuh di dinding tebing merintangi jatuhnya, ia tak akan mendapatkan kesempatan kedua ini untuk hidup.
Bukan bunuh diri, tetapi pembunuhan.
Benak Jun Wu Xie langsung merenungkan situasi ini. Apakah pria berpakaian hitam itu adalah pangeran kedua atau bukan tidak menjadi soal. Ini jelas berhubungan dengannya bagaimana pun caranya.
Jun Xian memiliki andil yang sangat besar terhadap ekspansi batas kerajaan dengan pasukan khususnya - Prajurit Rui Lin. Tidak ada orang lain yang berani berurusan dengan mereka kecuali mengharapkan kematian! Bahkan Kaisar sendiri selalu bersikap sopan terhadap Jun Xian.
Yang Mulia masih bersikap sangat berhati-hati ketika berhubungan dengan Istana Lin namun kemunduran pengaruh keluarga Lin mulai terlihat. Jun Xian memiliki dua orang putra namun, satu putranya meninggal dan yang seorang lagi lumpuh, hanya tersisa Jun Wu Xie yang tidak berguna yang hanya bisa memikirkan bagaimana caranya untuk tetap meletakkan hidungnya di atas awan. Masa depan keluarga Jun tampak suram.
Dapat dikatakan bahwa Istana Lin saat ini hanyalah sebuah harimau kertas, tokoh utama Jun Xian sudah berusia lebih dari 70 tahun.
Lagi pula ia telah melalui begitu banyak kesulitan setelah perang besar yang menyebabkannya kehilangan putra sulungnya dan membuat lumpuh putra bungsunya, semua masalah ini telah mengakibatkan kesehatan Jun Xian menurun seiring dengan serangan penyakit yang sesekali datang di usianya, ia takut ia tidak memiliki banyak waktu lagi. Sedangkan akhir-akhir ini, keluarga kerajaan mulai bersikap sewenang-wenang terhadap Istana Lin.
Pertemuan Jun Wu Xie kemungkinan besar adalah rencana keluarga kerajaan terhadap Istana Lin.
[Ini jelas bahwa pangeran kedua tidak lagi menghormati Istana Lin dan bahkan berani bertindak begitu kurang ajar.]
Kucing hitam itu bergumam. Awalnya ia berpikir bahwa Nonanya dilahirkan kembali di dalam dunia yang lebih baik, namun tak disangka gadis itu masih harus terjebak dalam situasi di mana ia harus berjuang untuk mempertahankan diri.
Jun Wu Xie menaikkan alisnya.
Kucing hitam kecil itu segera bergulung menjadi sebuah bola, mengubur kepalanya di antara tapak kakinya yang berbulu.
Melihat cucu perempuannya terdiam, mungkin masih merasa takut, Jun Xian tidak berbicara lebih jauh. Ia memandang Wu Xie dengan penuh cinta dan berkata, "Tidak apa-apa, selama kau kembali, beristirahatlah dengan baik, jika kau membutuhkan sesuatu, panggil kakakmu."
Kakak?
Jun Wu Xie mencari-cari di antara memorinya namun ia tak dapat menemukan "kakak". Jun Xian hanya memiliki dua orang putra, putra sulungnya adalah ayahnya, sedangkan ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan dirinya. Di perang fatal itu, ia telah kehilangan ayahnya di medan pertempuran berdarah dan pamannya terluka parah hingga lumpuh.
"Wu Yao, masuk dan rawat adikmu, aku akan keluar sebentar." Jun Xian pun keluar.
Pintu itu didorong hingga terbuka dan seorang pria bertubuh tinggi terlihat.
Ia menatap "kakaknya" dalam kekaguman.
Wajah yang tampan luar biasa seperti pekerjaan sempurna Tuhan, sepasang mata magnetik yang kelam seperti malam.
"Ya." Pria itu tersenyum.
Jun Xian mengangguk puas, ia berulang kali berkata pada Wu Xie untuk beristirahat sebelum meninggalkan kakak beradik ini sendirian.
Di sebuah sudut di dalam kamar berdiri Jun Wu Xie dan di sudut lainnya berdiri Wu Yao yang begitu menarik perhatian.
Kemudian, sebuah bayangan hitam melintas di tubuh Wu Xie dan di depan Wu Xie berdiri seekor kucing hitam kecil yang menjaganya dengan garang di pinggir ranjang dengan mulut kecilnya yang sedikit melengkung ke atas menampakkan gigi tajamnya seraya mendesis.
Jun Wu Yao melihat sosok kecil yang mendesis itu dengan tenang ketika ia berjalan melenggang menghampirinya dan perlahan menarik kursi dan duduk menyilangkan kakinya, pandangannya akhirnya mendarat pada Jun Wu Xie.