Harapan Linley meledak-ledak bagai gunung berapi yang hendak meletus karena penuh dengan kegembiraan.
"Kakek Doehring, Kakek benar-benar bisa mengajarkanku untuk menjadi seorang Mage kan?" Linley melihat ke kakek Doehring dengan gembira.
Doehring Cowart sambil mengelus janggutnya. "Linley, kakekmu adalah seorang Grand Magus Saint-level. Bahkan jika kamu tak memiliki bakat alami, aku masih dapat mengajarimu menggunakan Magic. Tentu saja… jika bakatmu rendah, maka pencapaianmu juga rendah."
Jika Mage lain mendengar hal ini tentu mereka semua akan terkejut.
Hal terpenting bagi seorang Mage adalah bakat. Tanpa bakat berarti tak memiliki kemungkinan untuk menjadi seorang Mage. Banyak orang percaya akan hal ini!
Namun Doehring Cowart berani mengatakan bahwa jika muridnya tak berbakat, dia masih bisa melatihnya untuk menjadi seorang Mage. Jika orang lain yang mengatakannya, tentu perkataannya hanya disebut sebagai omong kosong… namun yang mengatakan hal itu adalah seorang Grand Magus Saint-level yang berumur 5000 tahun.
"Bakat yang rendah, hasil yang rendah?" Jantung Linley berdebar,
Alasan mengapa ia ingin menjadi seorang Mage adalah karena ia ingin memulihkan kejayaan klannya kembali. Meski ia tak bisa mencapainya, ia berharap paling tidak ia dapat mencapai salah satu harapan yang telah diimpikan oleh buyutnya – mengambil kembali pusaka klannya. Sudah cukup puas baginya bila dia mampu mencapai tujuannya itu.
Namun untuk melakukan itu semua, kekuatan adalah hal terpenting.
"Jangan khawatir Linley. Kemampuan Magicmu belum diuji sama sekali. Kita belum tahu kemampuanmu tinggi atau rendah? Mungkin saja kamu memiliki bakat yang lebih di Magic." Kata Doehring Cowart sambil tersenyum dan mengelus janggut putihnya.
Perkataan kakek Doehring menenangkan pikiran Linley.
"Kakek, bagaimana untuk menguji kemampuan menggunakan Magic?" Linley merasa bersemangat.
"Sebenarnya cukup mudah untuk menguji kemampuan Magic seseorang." Saat kakek Doehring berbicara, tiba-tiba –
Suara langkah kaki dapat terdengar dari luar pintu. Mendengar langkah kaki itu, Linley menjadi sangat gugup. Ia kemudian berkata pada Doehring Cowart. "Kakek, cepat sembunyi. Seseorang menuju kemari." Jika Grand Magus Saint-level yang berasal dari kekaisaran Pouant ini ketahuan tentu akan menjadi heboh.
Doehring Cowart hanya tersenyum tak bergerak sama sekali.
"Kakek!" Linley mulai merasa panik.
"Krieeeeeek." Pintu kamarnya terbuka, dan Hiri memasukkan kepalanya ke dalam kamar. Melihat bahwa Linley telah sadar, dia tak bisa menahan senyumannya. "Tuan muda Linley, saya tak mengira bahwa tuan sudah bangun. Bagaimana keadaan anda tuan?"
Linley langsung memaksakan senyuman. Sambil mengangguk ia berkata, "Terima kasih paman Hiri. Aku merasa baikan sekarang."
Linley merasa sangat gelisah. Ia selalu menoleh ke arah Doehring Cowart, namun dia hanya berdiam diri saja disana dengan meringis. "Ada apa dengan kakek Doehring? Uh. Kita akan ketauhan. Sangat merepotkan untuk menjelaskan segalanya."
"Tuan muda Linley, saatnya makan malam. Karena anda telah bangun, mari makan malam bersama kami." Kata paman Hiri sambil tersenyum.
"Oh, baik." Linley menengok kembali ke Doehring Cowart, hatinya dipenuhi oleh pertanyaan. "Apa yang terjadi. Dari ekspresi wajah paman Hiri, sepertinya dia tak bisa melihat kakek Doehring sama sekali."
Melihat Linley berkali-kali melihat ke arah sudut dari kasurnya, paman Hiri bertanya, "Tuan muda Linley, mengapa anda melihat ke arah samping kasur anda? Anda menjatuhkan sesuatu? Saya bisa membantu anda untuk mencarinya."
"Ti – tidak apa-apa." Linley langsung beranjak dari kasurnya. "Paman Hiri, mari makan malam."
Meskipun dia tahu kelakuan Linley sedikit aneh, Paman Hiri tak begitu menghiraukannya dan hanya mengangguk dan tersenyum. Linley kemudian berpakaian, namun masih tak dapat menahan dirinya menengok ke Doehring Cowart. Namun saat ia melirik ke Doehring Cowart yang masih meringis, tiba-tiba menghilang dari pandangan Linley.
"Dia masuk ke cincin ini." Linley dapat merasakan sebuah arwah masuk ke dalam cincin itu.
Tak seperti sebelumnya, Linley sekarang mempunyai hak penuh atas kepemilikan cincin itu dengan menggunakan darahnya yang membuatnya mendapat pemahaman lebih jelas mengenai Coiling Dragon Ring.
"Linley, tak perlu kamu bicara terlalu keras. Cukup bicara melalui batin. Sebagai pemilik cincin ini, tentu saja kamu bisa berkomunikasi denganku melalui batin, karena aku hanya sebuah jiwa dalam cincin ini." Terdengar suara Doehring Cowart dalam pikiran Linley.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan Linley.
"Kakek Doehring?" Linley mencoba komunikasi batin.
"Aku mendengarmu." Suara Doehring terdengar kembali dalam pikiran Linley.
Hati Linley terisi dengan perasaan penuh kegembiraan. Namun saat ia berbicara dengan Doehring, ia tak melihat kemana langkahnya pergi lalu ia tersandung pintu. Paman Hiri yang berjalan di depannya, berbalik dan tertawa. "Tuan muda Linley, berhati-hatilah."
"Iya paman Hiri." Balas Linley dengan tawa.
Sambil berbicara dengan Doehring Cowart melalui batin, Linley masuk ke ruang makan kemudian duduk. Makan malam hari ini terlihat cukup mewah, termasuk aroma dari domba panggang. Hogg melirik ke Linley. Dia berkata sambil tersenyum. "Linley, makanlah." Kata Hogg sambil memotong daging dari kaki domba itu untuk Linley.
"Terima kasih ayah."
Linley merasa sedikit terkejut. Keadaan ekonomi keluarganya cukup buruk, sehingga biasanya makan malamnya tak mewah sama sekali. Namun sekarang, bahkan terdapat domba panggang?
Yang tak dipahami oleh Linley adalah… Saat bebatuan itu jatuh di kota Wushan selain pria dan wanita banyak juga hewan yang terbunuh karenanya. Selain klan Baruch, bahkan keluarga yang miskinpun yang jarang makan daging hari ini menikmati makan malam yang mewah.
"Kakek Doehring, mengapa tadi paman Hiri tak melihat kakek?" Linley bertanya pada Doehring dengan pikirannya.
"Linley, aku harus memberi tahu padamu bahwa tak ada yang bisa melihatku kecuali dirimu. Karena saat ini aku hanyalah sebuah arwah yang tak memiliki bentuk fisik. Aku tembus pandang. Hanya pemilik Coiling Dragon Ring yaitu kamu yang bisa melihatku." Doehring Cowart menjelaskan semuanya dengan rinci.
Linley kemudian memahami hal tersebut.
Sebelumnya Kakek Doehring hanya mengatakan bahwa dia telah lama meninggal dan hanya arwahnya saja yang tersisa.
"Kakek, nanti di masa depan, apa itu artinya kakek bisa selalu muncul disisiku?" Linley merasa sangat bahagia.
Saat Linley berbicara demikian, ia melihat seorang kakek tua berambut putih muncul tiba-tiba di sebelahnya. Orang itu adalah Doehring Cowart. Tetapi Hogg, Paman Hiri, dan si kecil Wharton masih menikmati hidangan mereka tak menyadari keberadaan Doehring sedikitpun.
"Wow…"
Mendengar dan melihat adalah dua hal yang berbeda. Saat ia menyaksikan seluruh orang di meja makan tak dapat melihat kakek Doehring, Linley merasa takjub.
"Ada beberapa orang yang dapat merasakan hawa keberadaanku. Mereka yang memiliki hawa spiritual yang setara denganku yang dapat melihatku. Namun… jika aku bersembunyi di cincin itu, mereka tentu tak dapat melihatku sama sekali." Terdengar suara Doehring dalam kepala Linley.
"Memiliki tingkat tingkat spiritual yang setara?" Linley makan sambil bertanya pada Doehring.
"Mereka yang memiliki kekuatan spiritual yang setara dengnku adalah petarung Saint-level. Hanya mereka yang dapat merasakan hawa keberadaanku meskipun tak sepenuhnya. Tentu saja, aku harus keluar dari cincin itu agar mereka bisa melihatku. Namun jika aku masuk ke dalam cincin itu, tak seorangpun dari mereka dapat menemukanku." Kata Doehring sambil tersenyum.
Linley mengangguk selagi mengambil daging panggang itu dan melahapnya.
"Linley, makan dengan perlahan." Hogg melihat betapa cepatnya Linley makan dan tak dapat menahan tawanya.
Linley meringis ke ayahnya namun masih menikmati hidanganya dengat tergesa-gesa. Dalam sekejap saja, ia telah menghabiskan seluruh daging yang terdapat pada domba panggang itu. Linley mengeluarkan sendawa kemudian menggunakan lap untuk mengusap mulutnya. Sambil berdiri ia berkata, "Ayah, paman Hiri, aku sudah selesai. Aku merasa kepalaku masih sedikit pusing, jadi aku akan kembali ke kamar dan istirahat. Wharton, dadah." Linley yang pertama menghabiskan hidangannya.
"Masih merasa pusing? Kalau begitu segera istirahat." Kata Hogg.
Kejadian sebelumnya telah meninggalkan kesan yang dalam pada Hogg. Hogg tadinya mengira bahwa Linley akan mati oleh reruntuhan batu itu. Setelah menyaksikan hal itu, perlakuan Hogg terhadap Linley berubah semakin ramah.
"Dah kakak." Si kecil Wharton yang imut-imut melambaikan tangannya yang masih berlumuran minyak.