Fajar. Ketika cahaya matahari pertama menembus dedaunan lebat di hutan, perlahan-lahan memberi kehangatannya, alam hijau yang awalnya diam mulai terbangun sekali lagi. Berbagai makhluk mulai merayap keluar dari sarang mereka, memulai siklus baru rutinitas harian mereka -- -- berburu dan diburu.
Di tanah, seekor makhluk kecil tanpa nama dengan kulit keriput diam-diam berjalan menuju tujuannya. Makhluk itu sangat kecil, hanya seukuran dua kepalan tangan manusia, tapi ia menarik ekor yang lebar dan datar yang ukurannya dua kali panjang tubuhnya.
Makhluk itu tak punya pilihan selain berhati-hati. Di hutan ini, 80% binatangnya dapat membunuhnya dengan mudah -- dan sayangnya, dagingnya empuk, jadi meskipun ia bertubuh kecil dan memiliki sedikit daging, banyak makhluk besar yang tetap tidak keberatan memburunya sebagai santapan pembuka.
Tujuan yang dimaksudkan makhluk ini adalah sebuah area penuh dengan lekukan air dangkal di depan. Area itu adalah wilayah rawa, sangat cocok untuk kelangsungan hidupnya, karena tubuhnya yang ringan dan bentuk tubuhnya memungkinkannya bebas bergerak di rawa tanpa tenggelam ke dalamnya. Selain makhluk yang habitat alaminya adalah rawa ini, makhluk lain tak dapat masuk ke wilayah ini, sehingga jauh lebih aman untuk makhluk tersebut.
Tentu saja, yang terpenting adalah bahwa ada makanan pula di sini, membuat kedatangannya ke situ layak. Makhluk itu mulai berliur memikirkan makanan -- ikan di lekukan dangkal memang sangat lezat.
Akhirnya makhluk itu tiba di sana, perjalanannya lancar sepanjang jalan.
Pada saat ini, dalam air dangkal di lekukan yang berjumlah banyak itu, ikan seukuran jari berenang dengan gembira, melesat dari satu lekukan ke lekukan lain. Semua lekukan dihubungkan oleh banyak aliran air yang sempit -- walau aliran-aliran ini terlalu kecil untuk dilalui ikan yang lebih besar, aliran itu memungkinkan ikan-ikan kecil ini berenang antar lekukan tanpa halangan. Pada satu lekukan tertentu, ikan-ikan dengan rakus menggerogoti beberapa rumput air, tidak menyadari fakta bahwa musuh alami mereka telah tiba dan bersiap-siap untuk menyantap mereka untuk memuaskan rasa laparnya.
Hewan yang keriput itu masuk ke rawa dan melesat dengan cepat ke salah satu lekukan. Ikan-ikan itu menyebar ketakutan, tetapi berenang membabi buta dalam kepanikan mereka, dan berakhir dengan jalan buntu … Akhirnya, satu-satunya jalan keluar adalah disantap oleh makhluk keriput yang tangkas itu.
Setelah menyantap ikan-ikan di lekukan ini, makhluk itu memanjat keluar dan mengibaskan dirinya sendiri, menyebabkan tetesan air di tubuhnya beterbangan, hingga kulitnya sekali lagi kering dan bersih seperti sebelumnya.
Ia kemudian beristirahat sebentar. Berburu tidak mudah -- tindakan yang tampak mudah itu sebetulnya membutuhkan banyak kekuatan tubuhnya. Namun, bahkan sementara ia beristirahat, ia tetap berjaga dengan sekelilingnya, takut ada musuh yang kuat muncul untuk memakannya.
Tak lama kemudian, ia telah mengumpulkan kekuatannya, dan mulai berjalan diam-diam ke lekukan berikutnya …
Namun, ia tidak memperhatikan -- di rawa tidak jauh darinya, sepasang mata yang dingin telah mengunci sosoknya, bersiap untuk menyerangnya pada saat waktu makan berikutnya.
Saat makhluk keriput ini sekali lagi melompat ke sebuah lekukan untuk menangkap lebih banyak ikan, pemilik mata dingin itu menyerang. Sebuah kabel hitam tebal menyerang, melewati tepian lekukan, dan hewan keriput ini lenyap. Suara yang jernih dari daging mengenai air dapat terdengar, kemudian seekor ular air sebesar lengan pria terlihat duduk di tengah lekukan, tubuh bagian bawahnya menggulung rapi di bawahnya. Sekilas, panjang ular itu kira-kira tiga meter, mungkin lebih.
Di mulutnya, makhluk keriput itu berjuang dengan sekuat tenaganya, mengibaskan ekornya yang lebar ke sana kemari, tetapi tanpa hasil. Ia ditelan oleh ular air, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya sama sekali menghilang ke dalam tenggorokan ular itu.
Ular air itu mengangkat kepalanya, menunggu makanannya berjalan ke bawah dari tenggorokannya ke perutnya. Dan kemudian, tepat pada saat ini, sebuah mulut yang besar muncul tiba-tiba di sisinya, gigi-gigi yang tajam berkilau penuh ancaman di bawah sinar matahari. Sebelum ular air itu dapat bereaksi, ia telah digigit, tepat di tempat yang paling rentan.
Tentu saja, ular air itu tidak rela untuk berbaring dan mati -- sebelum ia mati, ia menggunakan panjang tubuhnya yang tiga meter itu untuk melilit musuhnya dengan rapat, berharap untuk membuatnya mati bersamanya. Sayangnya, lawannya masih menggigitnya di titik vitalnya, jadi dia tak bisa bertahan lama. Ular itu segera mati, dan lilitan tubuhnya di sekeliling lawannya mengendur.
Kemudian, hewan besar itu memanjat keluar dari kedalaman rawa. Penampilannya secara keseluruhan sangat menyerupai buaya di Bumi, tapi dibandingkan dengan buaya, tubuhnya lebih besar, dan keempat kakinya lebih tebal.
Ia adalah raja di rawa ini, dan makanan favoritnya adalah ular air yang tercepat dan tersembunyi. Namun, ular air sangat sulit ditangkap -- saat mereka melihat bayangannya, mereka akan segera kabur, merayap cepat ke dalam air rawa dan menghilang sama sekali. Karena itu, buaya ini hanya bisa menyamarkan dirinya dan menunggu dengan sabar -- kadang hingga sehari semalam penuh -- untuk mendapat hadiahnya. Hari ini, ia akan makan enak.
Ia mengangkat kepalanya dan membuka lebar rahangnya, meletakkan ular besar ini ke dalam mulutnya, perlahan-lahan mengoyaknya menjadi potongan-potongan sambil mengunyah dan menelannya. Di tengah makan, sementara sebagian tubuh ular itu masih menggantung dari mulutnya, dari sudut matanya ia melihat sebuah bayangan gelap jatuh dengan cepat dari atasnya.
Sial, makhluk apa yang berani mengganggu Raja Rawa-Rawa di saat makannya? Ia bahkan tidak mempertimbangkan kemungkinan diserang -- ia adalah raja yang tak terbantahkan dari rantai makanan di sini, tidak ada makhluk yang berani berpikir untuk memburunya …
Sebelum ia dapat melihat dari dekat, ia merasakan rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang dari mulutnya ke seluruh tubuhnya. Ia melepaskan raungan murka, tanda kemarahannya dan tidak percaya bahwa ada makhluk yang berani melukainya. Ia ingin merobek makhluk itu dengan giginya yang tajam, tetapi ia mendapati ia tak dapat menutup mulutnya lagi.
Tidak, bukannya ia tidak dapat menutupnya -- entah bagaimana, entah kapan, sebuah tongkat kayu telah masuk ke mulutnya. Ia mencoba melepaskan tongkat itu, tapi kemudian ia sadar bahwa ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya pula.
Sungguh, rasanya ia telah disematkan ke tanah. Selain menggoyangkan tubuhnya dengan sia-sia, ia sama sekali tidak bisa bergerak. Ia tidak tahu apa yang terjadi, dan kemarahan terus bertambah di dalam dirinya, ia mencoba meraung lagi, tapi sekarang ia tidak bisa melakukannya lagi. Kemudian rasa sakit itu menyerang, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya, begitu kuat sehingga ia tidak bisa mengatasinya. Apa yang terjadi?
"Sangat merepotkan." Bersama dengan suara ini, sesosok yang tampak sangat rapuh menampakkan kepalanya. Kemudian, ingatan terakhir makhluk itu adalah tentang makhluk aneh itu mengangkat kaki kurusnya ke atas kepalanya dan mengentakkannya dengan kejam.
Tanpa perubahan pada ekspresinya, Ling Lan menarik kakinya dari tengkorak raja rawa ini. Dia tidak tertarik melihat perjuangan kematian seekor makhluk, dan dengan begitu ia melepasnya dari kesengsaraannya dengan menginjak kepalanya.
Melihat materi otak putih di seluruh sepatunya, Ling Lan tidak lagi merasa muak seperti yang ia rasakan awalnya. Ling Lan yang sekarang telah terbungkus oleh aura agresi yang terasah, seperti raja rimba; dia bukan lagi orang yang lemah dan penakut seperti sebelumnya.
Tentu saja, dengan kekuatan Ling Lan sekarang, melawan makhluk di rawa bukanlah hal yang mustahil. Namun, kulit makhluk ini sekeras baja dan Ling Lan tidak memiliki senjata yang dapat menembusnya. Kulitnya inilah yang membuat ia dapat menahan serangan balik ular air yang putus asa itu. Namun, semua makhluk mempunyai kelemahannya dan raja rawa ini tidak terkecuali.
Bagian dalam tubuh raja rawa ini sangat lembut, itulah sebabnya kenapa raja rawa biasanya tidak membiarkan mulutnya terbuka. Karena satu-satunya cara untuk menyerang bagian dalamnya adalah melalui mulutnya. Karena itu, Ling Lan memutuskan untuk menyembunyikan dirinya dalam rawa dan menunggu hingga raja rawa itu mulai berburu. Dan ketika raja rawa itu mulai makan, ia mengambil kesempatan untuk menjejalkan pohon kecil ke dalam tenggorokannya, sampai ke ekornya, menyegel nasibnya dengan satu pukulan.
Mencapai titik ini tidaklah mudah bagi Ling Lan. Sering kali, karena masalah dengan pengendalian emosi, raja rawa berhasil merasakan niat membunuhnya dan menghindari serangannya, membuatnya kehilangan kesempatan. Karena itu, Ling Lan telah membayar harganya dengan kematian selama beberapa kali sebelum akhirnya ia bisa memahami kemampuan berburu dengan sempurna. Cobaan dan kesulitan yang ia lalui di seluruh proses ini sungguh terlalu banyak untuk dikutip.