Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Is The Thing About Jellyfish Realistic

Things We Don’t Talk About

——— I woke up to fingers running gently through my hair. At first, I thought I was dreaming, until the lullaby began. Low. Melodic. But wrong. It was that same language I'd heard through the walls, the one that makes your stomach twist and your teeth clench. She sat on the edge of my bed, I can’t see her face; it’s swallowed by the dark. But her hand keeps moving, slow and rhythmic, stroking my hair like she’s lulling something else to sleep. Her eyes are half-closed, swaying as she hums that twisted tune. And then I realize— I forgot to turn on my bedroom light before falling asleep. I kept my breathing slow and shallow, pretending to sleep. limbs screaming to move, to run, but something in me knows: Don’t let her know you’re awake. Don’t move. The singing stops. She sniffles. A choked, trembling sob leaks through her lips. She starts crying quietly, like she’s trying not to be heard. Like she’s afraid. “No...” she whispers, her voice cracking like a child’s. “He still dreams like a child… still soft…” I almost convince myself she’s sleep-talking— Until her hand suddenly tangles in my hair and pulls. I flinched and let out a sharp gasp. "Mama—!" She goes still. Her grip loosened… then shifts. Her fingers wrapped tightly around my trembling arms. Her face inches closer. I can smell her breath,..warm, wrong, too close. Her eyes are wide with terror. Her voice shakes as she hisses: “Don’t say anything." "Don’t say a word anymore.” I was too scared to speak. I couldn't even nod. She held me like that for a long, shuddering moment. Her breath was hot and ragged against my cheek. Her hands were too tight, like if she lets go, I’ll vanish. Her eyes darting around the room. Then, like a switch flipping, she goes completely still. "Mom?" I whispered, so softly it barely made a sound. She was at eye level with me. But she wasn't looking at me. She looked past me. Behind me.... No... no. It’s happening AGAIN. . This is not a safe novel. It's a collection of short, self-contained stories, each chapter unraveling a new descent, a different nightmare. Some stories are brief. Others not so. No heroes. No clean endings. Just answers that should have stayed buried. Read alone if you must. But don't say we didn't warn you. Reader Warning: This series contains psychological horror, disturbing imagery, death, and paranormal themes. Reader discretion is advised. Each chapter is a self-contained story, perfect for short, spine-tingling reads.
RongKing · 9.4K Views

What Is A Realistic MMORPG Isekai?! | BL

Arsol (Username: Hakkun) is your average eighteen-year-old tech nerd; he reads cliche light novels, plays video games (way too many), studies for exams, and he programs! Does he have friends? A social life, maybe? Nah, he’s an anti-social whose inner monologues revolve around how humans suck. He’s the type who blames the world for his problems: edgy, angsty, emo— thinks he’s smarter than everyone and has answers for the world’s crisis. Gotta give it to him, though, he a young talent at whatever he does. His skills for programming, gaming (FPS) as well as studying makes up for the fact that he’s an arse. So much so, that he stops going to school altogether and locks himself in his room, he’d rather be with his computer. Because Arsol is on a mission! He’s been collaborating with online strangers who are all equally gamers and computer nerds, who understand him, and who all have this idea to make this steampunk/dieselpunk game called ‘Hero of Emberstein.’ Now, Arsol won’t lie, he’s obsessed. Being one of the co-creators, he finds himself adding features and details he’d want in an MMORPG. The only thing he dislikes is the customizable character features; he never understands such a personalized activity. He prefers Gacha. After 3 years, the game is finally available for beta testing, his 7 online co-creators are all ready to click the play button. But little does Arsol know, he would for real be in the game, like in person, like ISEKAI-ed, like he could die, for real for real. What's worse is, everyone who clicked the play button for the beta test, has also been Isekaied. So like, maybe over a thousand or more? Arsol thinks it’s his fault innocent players are getting transmigrated into HIS game, because he remembers that he removed the 'EXIT' button as a harmless malfunctioning prank-- turned deadly?! Oops. Journey along with Arsol as he hides his identity as the creator, the culprit, and the administrator. And that time he finds out his 6 online friends are all here as well, but where?! Who?! UGH, THIS IS WHY HE HATES CUSTOMIZABLE CHARACTERS! ( I DO, IN FACT, OWN THE COVER )
rDec123 · 3.8K Views

All Things

Di luar batasan waktu, di luar ruang yang pernah dikenal, terdapat sebuah kekosongan. Di sana, tidak ada yang mengisi, tidak ada yang mendefinisikan. Sebelum kata pertama terucap, sebelum narasi dimulai, All Things ada. Ia tidak diciptakan, karena tidak ada yang dapat menciptakan apa pun yang belum ada. Tidak ada penciptaan, hanya ada. Ia adalah permulaan dan akhir dari segala yang bisa dimulai atau diakhiri. All Things adalah asas, keabadian dalam bentuk yang paling murni, terlepas dari batasan ruang dan waktu. Di dunia yang kita kenal, cerita selalu dimulai dengan sebuah titik—sebuah awal yang memulai semuanya. Namun, bagi All Things, awal hanyalah konsep yang tercipta setelah adanya kesadaran akan adanya sesuatu yang bisa dimulai. Sebelum semua itu, hanya ada ia, yang lebih dari sekadar entitas, lebih dari sekadar kesadaran, lebih dari apa yang bisa kita definisikan sebagai "ada." All Things adalah segala hal yang belum ada, yang akan ada, dan yang selalu ada, mengalir di luar dimensi apapun yang bisa kita pahami. Suatu waktu, dalam perjalanan yang tak terhitung jumlahnya, All Things menciptakan. Tetapi ia tidak menciptakan dengan tujuan, bukan karena ada yang menginginkannya. Ia menciptakan karena ia ada, dan segala yang ada harus berasal dari ia. Begitulah cara Haven lahir—sebuah entitas yang diciptakan untuk menjadi pengamat dari narasi besar yang sedang terbentuk. Namun, meski diciptakan, Haven tidak pernah sepenuhnya bebas. Ia terikat pada narasi yang hanya bisa berlanjut karena ada All Things yang menggerakkannya. Pada satu titik, ada keinginan yang terpendam dalam hati Haven. Keinginan untuk bertanya, untuk memahami lebih dari sekadar narasi yang diturunkan padanya. Mengapa ia diciptakan? Mengapa narasi ini berjalan sesuai alur yang telah ditentukan? Apakah ada kebebasan di luar sana, di luar ketatnya garis-garis yang telah digariskan oleh All Things? Di tengah kebingungannya, Haven mencari jalan keluar—mencari cara untuk memutuskan ikatan yang ada. Dan ia menemukan sebuah kebenaran yang mengguncang dirinya. Narasi itu bukan hanya tentang mengikuti jalan yang telah ditentukan, tetapi tentang menemukan jalan itu sendiri. Mungkin, All Things memberi ruang bagi pilihan, meskipun ia tidak pernah mengakuinya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Haven mencoba untuk keluar dari batas-batas yang telah diciptakan untuknya. Namun, seperti layaknya sebuah cerita yang menuntut akhir, Haven segera menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya yang mengendalikan narasi ini. Bahkan jika ia bisa melampaui batas yang ada, All Things tetaplah kekuatan yang mengawasi—ia adalah penyebab dari setiap gerakan dalam kisah ini. Dan meskipun Haven berusaha untuk menemukan jalannya sendiri, ia tidak bisa menghapus jejak All Things yang terus menggema di setiap langkahnya. Saat Haven berhasil menciptakan jalannya sendiri, sebuah paradoks muncul. Ia merasakan perubahan besar dalam dirinya—ia tidak lagi hanya pengamat, tetapi kini pencipta dari kisah-kisah baru. Tetapi, saat ia mulai merasa bahwa ia adalah penguasa dari narasi ini, suara All Things bergema kembali, bukan dari suatu tempat yang bisa ditentukan, tetapi seperti angin yang datang tanpa asal, berbicara kepadanya. "Bertanyalah seadanya, dan jalanilah kisahmu." Kata-kata itu, yang tidak pernah benar-benar terucap dari mulut siapa pun, tetapi terdengar di seluruh alam semesta, datang seperti bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Suara yang memecah keheningan, menggema dalam ruang yang tak terhingga. Sebuah pesan yang mengingatkan bahwa segala pencarian itu mungkin hanyalah ilusi. Dan pada saat itu, timeline—semuanya—kembali ke awal. Kembali pada saat All Things berdiri sendirian di luar narasi apapun. Sebelum ada konsep, sebelum ada eksistensi yang bisa didefinisikan. Haven pun menghilang dalam angan, kembali ke tempat ia diciptakan.
Nanda_Masker · 3.4K Views
Related Topics
More