Captain Reira
Jika kau menyebut rasa sepi merupakan suatu hal yang harus kaubunuh, lalu membuangnya di riang tawa yang paling dalam, berarti itu tidaklah berarti bagiku.
Aku memeluk rasa sepi seakan rasa itu diciptakan Tuhan hanya untukku sendiri. Separuh hatiku mati oleh sunyi yang bersiul dengan irama yang lambat.
Semuanya berubah ketika aku menemukan wanita tergila yang pernah aku temui di dalam hidup.
Wanita dengan impian gila untuk memberi makan pinguin di Antartika, melihat naga di Laut Cina Selatan, lalu mencari kodok sebesar kucing di daratan Afrika.
Wanita yang berani menyelam di laut lepas
Wanita yang membawaku bersampan di danau, serta mengarungi lautan luas.
wanita yang berani menemuiku dengan cara memanjat gedung fakultas.
Aku tidak tahu momen gila apa lagi yang akan menyeretku.
Tunggu saja, wahai kawanku. Kau akan melihatnya nanti.
"Hei, kau yang sedang berdiri! Sikat kapal ini, pemalas!!!" Ia berteriak memerintah padaku
Ia adalah Reira.
Oh ... bukan.
Ia adalah Captain Reira.
"Gue mau merasakan betapa indahnya menunggu pagi dari ketinggian segitu. Di saat itu, lo bakal sadar jika dunia itu terlalu sempit jika lo hanya berjalan di satu titik. Dunia bisa lebih dari itu."
Beberapa jam sebelum bibir kami bertemu di puncak Bromo.