Spoiled Girl and Cold Prince
Chaby, gadis dengan mata bulat dan rambut panjang yang selalu terurai, berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang sekolah. Ia baru saja menginjak bangku SMA, namun rasa gugup dan takut mencengkeram hatinya. Bukan takut akan pelajaran atau teman baru, melainkan takut akan dunia luar yang terasa begitu asing dan menakutkan. Masa lalu yang kelam telah menorehkan luka dalam di hatinya, membuatnya tumbuh menjadi gadis yang manja dan bergantung pada kakaknya, satu-satunya keluarga yang peduli padanya.
Di hari pertamanya, Chaby bertemu dengan Pika, gadis tomboi dengan rambut pendek dan selalu bersemangat. Pika mengajak Chaby untuk menerobos pagar sekolah, sebuah aksi yang terkesan menantang bagi Chaby yang terbiasa hidup dalam batasan. Tergiur oleh semangat Pika, Chaby pun menyetujui, tanpa menyadari bahaya yang mengintai.
Saat berada di puncak pagar, Chaby panik. Ia tak tahu bagaimana cara turun. Ketinggian membuat kepalanya berputar, dan kakinya gemetar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap untuk tumpah.
"Eh, lo kenapa? Takut?" tanya Pika, melihat Chaby yang terdiam dengan wajah pucat.
Chaby hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.
"Sabar, gue bantu," kata Pika, lalu dengan sigap memanjat pagar dan menjulurkan tangannya ke arah Chaby.
Chaby meraih tangan Pika, namun tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya dari atas pagar. Chaby terhuyung dan hampir jatuh, namun tangan itu dengan sigap menahannya. Ia mendongak dan melihat wajah pria tampan dengan tatapan tajam.
"Kenapa lo ngajak dia manjat pagar? Lo gak liat dia takut?" tanya pria itu dengan suara dingin, membuat Chaby semakin ciut.
"Deklan, ini Chaby, temen sekelas gue," jawab Pika, sedikit tersinggung dengan nada bicara kakaknya.
Decklan, begitulah nama pria itu, hanya berdehem dan menatap Chaby dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia terlihat dingin dan tak ramah, seperti patung es yang tak memiliki perasaan. Tatapannya yang mengintimidasi membuat Chaby menunduk takut, tak berani menatap mata pria itu.
"Lo gak apa-apa?" tanya Decklan, suaranya masih terdengar dingin, namun ada sedikit nada kekhawatiran yang tersembunyi di baliknya.
Chaby hanya mengangguk, lalu buru-buru berlari menjauh dari Decklan dan Pika. Ia merasa terintimidasi oleh pria itu, dan tak ingin berlama-lama berada di dekatnya.
"Chaby, tunggu" teriak Pika, namun Chaby tak menoleh. Ia berlari menuju kelas, hatinya masih berdebar kencang.
Di kelas, Chaby duduk di bangku paling belakang, berusaha menghindar dari tatapan orang lain. Ia merasa seperti burung kecil yang terkurung dalam sangkar, tak berani keluar dan menghadapi dunia luar. Namun, ia tahu, ia harus belajar untuk melepaskan rasa takutnya dan menghadapi masa depan.
"Chaby, lo gak apa-apa?" tanya Pika, duduk di samping Chaby.
Chaby hanya mengangguk, matanya masih berkaca-kaca.
"Deklan itu emang gitu orangnya, cuek dan suka marah-marah. Tapi sebenernya dia baik kok," kata Pika, berusaha menenangkan Chaby.
Chaby masih merasa takut, namun ia mencoba untuk bersikap tenang. Ia harus belajar untuk percaya pada orang lain, meskipun masa lalu telah membuatnya begitu terluka.
"Lo harus berani, Chaby. Masa depan lo masih panjang. Jangan biarkan masa lalu menghancurkan hidup lo," kata Pika, menatap Chaby dengan mata penuh semangat.
Chaby terdiam, merenungkan kata-kata Pika. Ia tahu Pika benar, namun rasa takut masih menguasai dirinya. Ia hanya berharap, Pika dan kakaknya, Decklan, bisa membantunya untuk melepaskan rasa takutnya dan menemukan kembali kekuatan di dalam dirinya.