Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

All Shoko Scenes Jujutsu Kaisen

All Or Nothing

May isang babae na pangarap na makapagtapos ng pag-aaral sa kolehiyo para matulungan pa ang kanyang kapatid. Siya si Mirabella Trinidad at isang Business Economics student. Matalino at masipag na babae si Mirabella kaya marami rin siyang manliligaw mula noong high school hanggang sa magkolehiyo subalit wala man lang siya natipuhan sa mga ito at prayoridad niya muna ang kanyang pag-aaral. Nagbago lamang ang lahat simula nang nagkakilala at naging kaibigan ang kanyang Math professor na si Jaxton Villareal. Ang binata mismo ang nagpakita ng interes sa kanya hanggang sa unti-unti nang nahuhulog ang loob ni Mirabella rito. Ayaw ng dalaga na magkaroon ng isyu, masira ang kanyang reputasyon at mawala sa kanya ang scholarships kaya't napagdesisyon niyang lumayo at umiwas na sa binata ng walang paalam. Lumipat ng panibagong eskwelehan si Mirabella at dito naman niya nakilala ang masungit na volleyball player na si Gian Rivera ng nasabing unibersidad. Paglipas ng mga buwan, nagkita muli sina Mirabella at Jaxton na hindi nila inaasahan. Dito mas naging masugid sa panliligaw ang binata sa kanyang dating estudyante at sa huli sinagot siya nito. Ngunit, hindi nagtagal ang kanilang relasyon nang kumalat ang isyu tungkol sa kanilang dalawa. Masakit man para kay Mirabella, nakipaghiwalay pa rin siya kay Jaxton alang-alang sa kanyang reputasyon at scholarships. Hindi sumuko sa kanya ang binata at patuloy pa rin ito na umasa subalit tumigil si Jaxton nang sabihin ni Mirabella na sa tuwing nakikita niya ito, naalala ng dalaga ang mga hindi nangyari sa kanya noon. Tumigil ang mundo ni Jaxton na dahilan para umalis siya sa kanyang propesyon at lisanin ang lugar na kasabay ng pagsimula niya ng panibagong buhay.
_roseandtulips31_ · 4K Views

Affinity all

[Compatibility Found: 99.9%] [BONDING COMPLETE] [Welcome, Host.] [Initializing Tier 11 Artifact Protocols…] Max blinked. "Am I dreaming?" [You are now the host of the Elemental Convergence System.] [Tier 11 Artifact: Soulbound.] [Status: Hidden.] "What the hell is a system? What does that even mean?" Max whispered. Then, the screen shifted again. [Analyzing Host's Body…] [Mana Affinity: 100%] [Elemental Compatibility: All basic and advanced elements accessible.] [Initial Bond Complete.] [Abilities Locked Pending Synchronization.] Max stumbled back, knocking over a chair. "All elements? That's not possible." Everyone in the world was born with an affinity to one or two elements. A rare few had three. But all of them? Not even the legends from the Calamity Era had that. He reached for the glowing necklace, but it pulsed brighter in response, releasing a gentle warmth that settled into his chest. [Do not attempt removal. Artifact is bound to your soul.] Max sat down heavily on the bed, heart pounding. He thought back to the Awakening Ceremony—how everyone had laughed, how he had nothing. But now… Now he had something far more powerful. [System Directive #1: Survive.] [Directive #2: Grow Stronger.] [Directive #3: Unlock the Truth Behind the Calamity.] The screen faded momentarily. Then a new panel appeared: Status Window Name: Max Age: 16 Talent Rank: Green (Hidden: Ascending) Mana Core: Awakened Elemental Affinity: All System Level: 1 Combat Abilities: Locked Titles: Heir of the Tier 11 Artifact Max's hands trembled. "I'm not talentless… I'm just different," he muttered. "No one can know about this." [Wise decision.] [Initial training quests available.] He opened the first quest: [Beginner Quest: Ignite Your First Flame.] Objective: Channel Fire Mana Reward: Fire Affinity Skill + Basic Fire Manipulation** Penalty for Failure: None Max took a deep breath, holding his hand out. He concentrated. The system guided his flow of mana, whispering instructions into his mind. A tiny spark flickered in his palm. His eyes widened as the flame grew, curling gently around his fingers like a sleeping serpent. It didn't burn him. It felt… right. Max stared at the flame, awe and disbelief mingling in his expression. For the first time in his life, he wasn't powerless. For the first time… he had hope.
Sky_writer13 · 29.1K Views

All Things

Di luar batasan waktu, di luar ruang yang pernah dikenal, terdapat sebuah kekosongan. Di sana, tidak ada yang mengisi, tidak ada yang mendefinisikan. Sebelum kata pertama terucap, sebelum narasi dimulai, All Things ada. Ia tidak diciptakan, karena tidak ada yang dapat menciptakan apa pun yang belum ada. Tidak ada penciptaan, hanya ada. Ia adalah permulaan dan akhir dari segala yang bisa dimulai atau diakhiri. All Things adalah asas, keabadian dalam bentuk yang paling murni, terlepas dari batasan ruang dan waktu. Di dunia yang kita kenal, cerita selalu dimulai dengan sebuah titik—sebuah awal yang memulai semuanya. Namun, bagi All Things, awal hanyalah konsep yang tercipta setelah adanya kesadaran akan adanya sesuatu yang bisa dimulai. Sebelum semua itu, hanya ada ia, yang lebih dari sekadar entitas, lebih dari sekadar kesadaran, lebih dari apa yang bisa kita definisikan sebagai "ada." All Things adalah segala hal yang belum ada, yang akan ada, dan yang selalu ada, mengalir di luar dimensi apapun yang bisa kita pahami. Suatu waktu, dalam perjalanan yang tak terhitung jumlahnya, All Things menciptakan. Tetapi ia tidak menciptakan dengan tujuan, bukan karena ada yang menginginkannya. Ia menciptakan karena ia ada, dan segala yang ada harus berasal dari ia. Begitulah cara Haven lahir—sebuah entitas yang diciptakan untuk menjadi pengamat dari narasi besar yang sedang terbentuk. Namun, meski diciptakan, Haven tidak pernah sepenuhnya bebas. Ia terikat pada narasi yang hanya bisa berlanjut karena ada All Things yang menggerakkannya. Pada satu titik, ada keinginan yang terpendam dalam hati Haven. Keinginan untuk bertanya, untuk memahami lebih dari sekadar narasi yang diturunkan padanya. Mengapa ia diciptakan? Mengapa narasi ini berjalan sesuai alur yang telah ditentukan? Apakah ada kebebasan di luar sana, di luar ketatnya garis-garis yang telah digariskan oleh All Things? Di tengah kebingungannya, Haven mencari jalan keluar—mencari cara untuk memutuskan ikatan yang ada. Dan ia menemukan sebuah kebenaran yang mengguncang dirinya. Narasi itu bukan hanya tentang mengikuti jalan yang telah ditentukan, tetapi tentang menemukan jalan itu sendiri. Mungkin, All Things memberi ruang bagi pilihan, meskipun ia tidak pernah mengakuinya. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Haven mencoba untuk keluar dari batas-batas yang telah diciptakan untuknya. Namun, seperti layaknya sebuah cerita yang menuntut akhir, Haven segera menyadari bahwa ia bukanlah satu-satunya yang mengendalikan narasi ini. Bahkan jika ia bisa melampaui batas yang ada, All Things tetaplah kekuatan yang mengawasi—ia adalah penyebab dari setiap gerakan dalam kisah ini. Dan meskipun Haven berusaha untuk menemukan jalannya sendiri, ia tidak bisa menghapus jejak All Things yang terus menggema di setiap langkahnya. Saat Haven berhasil menciptakan jalannya sendiri, sebuah paradoks muncul. Ia merasakan perubahan besar dalam dirinya—ia tidak lagi hanya pengamat, tetapi kini pencipta dari kisah-kisah baru. Tetapi, saat ia mulai merasa bahwa ia adalah penguasa dari narasi ini, suara All Things bergema kembali, bukan dari suatu tempat yang bisa ditentukan, tetapi seperti angin yang datang tanpa asal, berbicara kepadanya. "Bertanyalah seadanya, dan jalanilah kisahmu." Kata-kata itu, yang tidak pernah benar-benar terucap dari mulut siapa pun, tetapi terdengar di seluruh alam semesta, datang seperti bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Suara yang memecah keheningan, menggema dalam ruang yang tak terhingga. Sebuah pesan yang mengingatkan bahwa segala pencarian itu mungkin hanyalah ilusi. Dan pada saat itu, timeline—semuanya—kembali ke awal. Kembali pada saat All Things berdiri sendirian di luar narasi apapun. Sebelum ada konsep, sebelum ada eksistensi yang bisa didefinisikan. Haven pun menghilang dalam angan, kembali ke tempat ia diciptakan.
Nanda_Masker · 3.3K Views
Related Topics
More