Darling; Don't Open That Door
Bibirku terkatup rapat. Ekspresiku bersih. Seolah tak tahu arti sorot matanya yang kini lebih tajam dari sebelumnya.
Jari-jarinya mengusap pelan sepanjang rahangku. Gerakannya tenang. Terukur. Terlalu hati-hati untuk disebut sayang.
“Lugu sekali,” bisiknya nyaris tanpa suara.
“Nafasmu... tidak berubah. Detak jantungmu pun stabil.”
Ia menunduk. Bibirnya menyentuh kulit di bawah telingaku. Hangat. Tapi tidak menggoda. Hanya pengalihan.
“Mata ini... tak berbohong. Tapi mereka juga... tidak sepenuhnya jujur, kan?”
Tangan kirinya bergerak ke punggungku. Menelusuri tulang belikat, lalu turun pelan ke pinggang—dan berhenti. Ia diam di sana. Seperti sedang memastikan sesuatu.
“Apakah kamu tahu...” lanjutnya, suaranya melembut namun menggigit, “...dari semua orang yang pernah melihat sisi gelapku... hanya kamu yang tidak lari.”
Aku masih diam. Hanya berkedip sekali lagi. Lalu tersenyum tipis. “Memangnya kenapa aku harus lari?”
Suaraku ringan. Seperti bercanda. Dan aku menambahkan tawa kecil yang nyaris seperti embusan napas.
Ia tidak tertawa balik. Tatapannya masih dalam. Tangannya tetap menyentuh pipiku—dingin, beraroma logam dan kulit.
Lalu aku...
...tersenyum. Tulus.
Aku bangkit sedikit dari duduk, mengangkat wajahnya pelan dengan kedua tangan, lalu mencium pipinya.
Ciuman itu tak meninggalkan bekas, hanya suara kecil: chu — terdengar manis, polos. Hampir seperti anak kecil yang ingin menunjukkan kasih sayang.
“Oh! Kamu pasti lelah?” ucapku ringan. “Malam ini aku cuma buat sup ikan, yang potongannya... agak kacau.”
Tanganku menarik ujung bajunya. Pelan. Manja. Membawanya agar berada tepat di atasku.
Aku merebahkan tubuhku perlahan ke kasur, tapi kaki masih menapak lantai. Pandanganku tak lepas darinya—melihat dari bawah, dari posisi paling rapuh.
“Tapi jangan tanya kenapa potongannya jelek banget…” lanjutku sambil terkikik kecil. “Soalnya tadi pisaunya—”
“Pisaunya?”
Ia memotong. Suaranya datar.
Aku mengangguk pelan. Mataku masih cerah.
“Iya, pisaunya berat banget! Kamu beli dari mana, sih? Tajam, serem, tapi keren. Kayak... pisau yang dipakai pembunuh berantai! Hihi~”
Beberapa detik, ekspresinya berubah.
Bukan marah. Bukan terganggu. Tapi... ada sesuatu di sana. Seolah pikirannya baru saja menabrak kenangan yang seharusnya terkunci rapat.
Lalu dengan nada tetap tenang, ia berkata:
“Jangan pakai pisau itu lagi. Kau bisa saja terluka.”
Jarinya menyusup ke rambutku, lembut tapi dingin. “Besok aku akan memberimu yang lain. Yang lebih... cocok untuk tanganmu.”
Lalu bibirnya kembali turun. Ke leherku.
Awalnya terasa geli. Tapi cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sentuhan canggung. Nafas kami mulai tak beraturan. Tubuhnya berat di atas tubuhku, membuat ranjang berderit setiap kali ia bergerak.
—Novel ini juga tersedia dalam terjemahan bahasa Inggris dengan judul yang sama.