Diantara Kebohongan
{MATURE CONTENT: R18!}
When lie covered by a liars, even human eyes could never tell the truth.
“kamu ngga suka keramaian?”
Ia mengangguk dengan senyum simpul, alihkan pandangan dari buku untuk menoleh hanya menemukan pandangan pria itu kembali terbuang ke hadapan.
“kamu bisa menjelajahi tempat ini secara privat kalo mau” ucapnya dengan dua lengan bertengger ke sandaran kursi.
Terkekeh geli Malena mendengar itu, “menyewa tempat sebesar ini?” sebab kedengarannya tidak mungkin.
“ngga ada yang ngga mungkin di sini” geleng si pria dengan bibir mengerucut, “tinggal bilang aja ke penjaga di depan, mereka akan mengusir pengunjung lain dan menutupnya untuk bisa kamu jelajahi sendiri” kesannya pongah menjawab, “aturannya memang begitu, karena masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya apapun kan” tolehnya kilas ke Malena yang kelihatan heran.
“itu egois namanya” geleng Malena, masih kecut.
Pandangan si pria mengedar ke lenggangan sejenak, “demi kenyamanan sendiri, tidak ada salahnya. Semua orang bisa menggunakan tempat ini sesuka mereka jika bilang, kecuali mereka ngga tahu”
Malena kembali menggeleng kecil, “ini bukan tempat pribadi”
“kecuali punya pemiliknya” sanggah si pria balik menatap, lalu memperbaiki duduknya sedikit menghadap Malena dengan satu tangan tersodor.
“perkenalkan.. saya Ghani, yang punya Semesta ini”
Malena menatap si pria dengan keterhenyakan dalam diamnya, lalu melirik sodoran tangan yang masih tertahan. Akhirnya, ia bertemu Ghani secara langsung. Dan ia merasa debaran jantungnya kian berdentam, diantara perasaan lega dan khawatir. Pengakuan tersebut bukan hanya mengejutkannya, tetapi gaya Ghani kala mengenalkan diri terkesan sedikit begitu pongah.
“oh wow” serunya pelan, berdengus senyum menerima kilas jabat tangan yang ia lepas sepihak. “senang bertemu dengan pemilik tempat ini, secara tidak terduga” sudut bibirnya berkedut dipaksa tersenyum, tapi ia bisa menutupi itu.
Pandangan Ghani masih menatapnya, tapi kembali duduk seperti semula dengan lengan menyender. “kamu familiar, seperti kita pernah ketemu sebelumnya” kata Ghani memperhatikan Malena yang pasang senyum simpul.
Tidak sulit menjaga sebuah kerahasiaan, yang sulit itu adalah menjaga kepura-puraan. “saya rasa tidak” gelengnya pelan, “manusia punya banyak kembaran di bumi kan”
“but feels like i’ve seen you before” bersitatap mereka lagi. Ghani dengan tatapan lekat, sedangkan Malena hanya tersenyum tipis.
Malena tidak terkesan mengundang, tidak pula menunjukkan ketertarikan apapun. Ia paham dengan maksud tatapan Ghani padanya. Justru ia menunjukkan kekakuan, kecanggungan, dan sedikit ketidak nyamanan. Bukan seperti kebanyakan orang yang akan berseru semringah dan semangat ketika bertemu seorang pemilik tempat apapun, atau meminta berfoto dan sebagainya.
“saya boleh tau nama kamu?”
Nama adalah identitas diri yang paling krusial, Malena berpikir memberitahukan namanya adalah hal pertama yang membuat hidupnya kemungkinan berada dalam bahaya.