Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Letto Ruang Rindu

Beyond Time and Space Detective

Pada tahun 1982, terjadi kasus besar di Kota Jin yang mengakibatkan banyak korban tewas. Para pelaku melarikan diri, dan pelaku utama, Yin Jiaming, tertembak dan jatuh ke laut. Tiga puluh sembilan tahun kemudian, sebuah film yang diadaptasi dari kasus tersebut, “The Great Heist of Jin City,” menjadi hit box office, menarik perhatian ahli patologi forensik Ye Huairui. Sebulan kemudian, Ye Huairui pindah ke sebuah vila tua, hanya untuk mengetahui bahwa itu dulunya adalah kediaman Yin Jiaming. ==== Pada tengah malam, setelah badai petir, Ye Huairui menemukan sebaris tulisan di mejanya: “Siapa kau!!?” Ye Huairui berpikir, apakah tempat ini berhantu? Dia menulis balasan: “Entah kau hantu, atau kau pembunuhnya.” Pesan di meja berubah menjadi: "Aku bukan hantu, dan aku juga bukan pembunuh! Aku tidak membunuh siapa pun!!" Ye Huairui: … Hubungan luar biasa lintas waktu dan ruang mempertemukan dua orang yang terpisah tiga puluh sembilan tahun di rumah tua misterius itu. Maka dimulailah perjalanan investigasi lintas waktu. “Yin Jiaming telah dizalimi; pelaku sebenarnya masih bebas.” Dengan bantuan seorang ahli patologi forensik jenius dari tiga puluh sembilan tahun di masa depan, dapatkah Yin Jiaming membuktikan ketidakbersalahannya dan menulis ulang nasib buruknya? ==== Kebenaran tidak akan diubah, hanya dikubur. Kisah cinta melampaui ruang dan waktu tentang kematian dan penebusan, dan pada akhirnya, aku akan menggenggam tanganmu erat. ==== Kata-kata pertama yang diucapkan Yin Jiaming kepada Ye Huairui adalah: “Ruirui, kemarilah peluk aku.” Ye Huairui merentangkan tangannya: “Kemarilah. Jika kau tidak bisa memelukku, berarti kau pengecut.”
Elhafasya · 45.3K Views

Pengkhianatan IPO, Cinta, Saham, dan Penikaman Korporat

Setelah mendedikasikan bertahun-tahun untuk membantu perusahaan mempersiapkan penawaran umum perdananya, pacarku akhirnya siap untuk mengungkap hubungan kami secara publik. Dia berada di ambang membuat pengumuman. Namun, sebelum dia sempat melakukannya, asistennya yang sombong, yang selalu tidak menyukaiku, mendahuluinya. Dia dengan percaya diri melangkah ke panggung, merangkul pinggangnya, dan menyeringai kemenangan. "Kupikir kita sepakat untuk menunggu beberapa tahun lagi? Tidak bisa menahan lebih lama lagi, bukan?" dia mengejek, suaranya dipenuhi dengan sarkasme. Pacarku tidak repot-repot menjelaskan. Sebaliknya, dia menyerahkan dokumen padanya—kesepakatan pengalihan saham—dan mengumumkan kepada audiens bahwa dia sekarang adalah pemegang saham terbaru perusahaan. Ruangan tersebut meledak dengan kekaguman, bisikan dan gumaman menyebar dengan cepat. Asisten tersebut, jelas menikmati perhatian, mengarahkan keangkuhannya padaku, melontarkan hinaan-hinaan halus kepadaku. Dan pacarku? Dia tidak berusaha menghentikannya. Bahkan, suaranya begitu dingin saat menambahkan, "Kamu telah berkontribusi besar bagi perusahaan, tetapi kemampuannya adalah yang kami butuhkan untuk masa depan yang lebih makmur." Aku tetap tenang, tidak memberikan bantahan. Sebaliknya, aku tersenyum, mengangguk, dan dengan anggun menyerahkan sisa sahamku kepada asisten tersebut juga. "Kita lihat saja," gumamku dalam hati, "bagaimana mereka akan mengelola perusahaan ini tanpa investornya yang utama." Dengan pemikiran itu, aku pergi.
ManyWriters · 351 Views

ARUNIKA: Kanvas di Balik Samudra

Di atas kanvas langit yang tak pernah sepenuhnya biru, terbentang kisah seorang taruna—Noaniel Aquino Navis Naviarta—yang melangkah dalam diam, menyimpan badai di dada dan samudra di tatapannya. Ia bukan pahlawan yang menghunus pedang di tengah sorak, melainkan penjaga sunyi yang menundukkan waktu dengan keteguhan langkah dan kesetiaan tanpa suara. “ARUNIKA: Kanvas di Balik Samudra” adalah elegi tentang perjalanan batin seorang pelaut muda yang meniti lorong-lorong kedisiplinan dan kehormatan, sembari memikul beban masa lalu yang tak pernah ia biarkan karam. Ketika satu undangan reuni melayang masuk—dengan nama lama yang terukir lembut: Aneira Aluna Primadisa Vireska—Noaniel dihadapkan pada dermaga kenangan, tempat di mana luka pernah singgah, dan rindu menggantung tanpa alamat. Dengan latar dunia keras taruna, tawa getir di barak, dan malam-malam yang dihiasi doa sunyi, kisah ini mengalun bagaikan simfoni laut: tenang di permukaan, namun dalamnya menenggelamkan. Ia bukan sekadar cerita tentang cinta yang tertunda, melainkan tentang keberanian menyentuh kembali warna pertama yang pernah dilukiskan di kanvas hati—warna yang tidak pernah pudar meski badai kehidupan datang bergulung-gulung. Dalam arus waktu yang tak pernah menunggu, Noaniel menuliskan kisahnya bukan dengan tinta, melainkan dengan langkah. Bukan dengan kata, melainkan dengan keberanian menoleh ke belakang—untuk memahami bahwa kadang, yang kita cari di cakrawala jauh… justru telah lama berdiam di dalam dada.
navierta · 644 Views
Related Topics
More