Mozaik Tanya
Bagaimana jika cinta bukan sekadar rasa, melainkan sebuah perjalanan yang penuh luka? Bagaimana jika cinta adalah mozaik-tersebar dalam kepingan kenangan yang tak selalu utuh, yang sering kali tajam dan memberi luka?
Gavrielle, gadis muda yang haus akan makna, pernah percaya bahwa cinta adalah genggaman tangan yang erat, suara yang menghangatkan, dan keberanian untuk tetap tinggal. Ia menemukannya dalam diri Althias, kakak kelas yang menjadi pelita di tengah ragu. Namun, dunia tak selalu memberi ruang bagi dua hati yang ingin bersatu. Orang tuanya melihat cinta itu sebagai duri, sebagai pemberontakan yang harus dicabut hingga ke akar. Maka, dengan paksa, ia diasingkan ke kota yang tak menawarkan apa pun selain sepi.
Di Surabaya, Gavrielle adalah burung tanpa sarang, melayang tanpa arah, mencari sesuatu yang bisa mengisi kehampaan. Lalu, ia bertemu Gallen Adhaniell Wijaya-sebuah nama yang muncul dari layar ponsel, dari percakapan tanpa wajah, dari pesan-pesan yang menjelma candu. Gallen, dengan caranya yang dingin dan tak terbaca, menarik Gavrielle ke dalam pusaran yang lebih dalam dari sekadar cinta. Bersamanya, Gavrielle belajar bahwa rindu bisa berubah menjadi luka, bahwa pengorbanan tak selalu berbalas pelukan.
Ketika cinta berubah menjadi jerat, Gavrielle berjalan terlalu jauh, menyeberangi batas yang seharusnya dijaga. Yogyakarta menjadi saksi atas keberaniannya yang membabi buta, atas keputusasaan yang menuntunnya pada sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Dan ketika semuanya terkuak, Gavrielle harus menghadapi konsekuensi yang lebih besar dari sekadar kehilangan.
Cinta, ternyata, tak selalu datang sebagai jawaban. Kadang, ia adalah pertanyaan yang menggantung di langit hati, tak terjawab, tak terurai-hanya menjadi mozaik tanya yang berserak dalam ingatan.