Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Adolfo Fito Strauch

Mertua rasa Pelakor move to new link

"Terima kasih banyak, Zam. Sebenarnya aku malu. Aku—" Azam menghapus rembasan air pada pipiku. "Hatiku perih kalau melihatmu menangis ...," gumamnya nyaris tak terdengar. "Kamu ngomong apa?" tanyaku. Mata kami saling mengunci hingga sekian detik. Jika saja Fito tidak bersuara, mungkin kami masih saling menatap. Aku sadar, tidak seharusnya kami seperti ini. "Tidak. Lupakan." "Azam ...," panggilku. "Ya," jawabnya. "Emm, kenapa kamu bersikap baik dengan kami?" "Jangan salah paham, ya. Aku hanya ingin menepati janjiku yang belum pernah terwujud saat kita masih bersama." "Apa?" "Membahagiakan kamu. Maaf, kalau kamu tidak menyukai caraku ini. Aku tau, tidak seharusnya aku bersikap seperti ini. Aku sudah mengikhlaskan kamu pada kakakku." "Tapi, Zam. Apa kamu gak mikirin perasaan Lisa kalau dia sampai tau?" "Maaf. Sekali lagi, jangan salah paham, ya. Ayo, sudah sampai. Apa kamu tidak mau turun?" godanya. Azam membukakan Seatbelt, wangi rambutnya pun masih sama seperti dulu. "Terima kasih, Zam." Ia tersenyum manis. Perhatian Azam membuatku salah tingkah. Azam mengantarkan kami sampai rumah, awalnya aku menolak semua pemberian dari Azam, tetapi ia memaksa terus. Aku takut jika mertuaku tahu. "Ini untuk Lisa aja, aku takut Mami marah." "Lisa sudah banyak baju-baju, aku lihat bajumu itu-itu aja. Dan sudah waktunya dibuang, udah kusam gitu, loh, warnanya. Dan ini, untuk Fito." Sambil menenteng tetek bengek itu, ia berjalan sesekali menoleh ke arahku. Ya, aku mengekornya. "Mami, kan, lagi di konter tadi?" sambungnya. ‘Azam, jangan membuatku salah menilai arti kebaikanmu ...,’ gumamku dalam hati. Kata-kata Azam di dalam mobil tadi, selalu terngiang. Setiap mengingatnya, senyumku selalu mengembang dengan sendirinya. Seperti orang yang jatuh cinta saja. "Ingat. Jangan menangis lagi. Kalau butuh apa pun, telepon aku aja," ucapnya. Tangannya mengacak-acak anak poniku. Kenangan bersamanya melintas begitu saja. "Maaf. Habisnya, tingkahmu masih sama seperti dulu, sih." Salah tingkah, ia pun memegangi rambut belakangnya sambil menahan senyum, lalu berjalan kembali ke parkiran mobil. Aku hanya tersenyum simpul, sudah lama sekali aku tidak merasakan bahagia seperti ini. Sejak aku menikah dengan Mas Bo'eng, hanya air mata yang setia menghiasi hariku.
AmoyShanghai · 11.1K Views

La muerte es solo el comienzo

Adolfo, un joven de 19 años, llevaba una vida humilde pero llena de bondad. Hijo único, siempre se esforzaba por apoyar a su madre, quien sufría de una enfermedad que le causaba un dolor constante. A pesar de las dificultades, Adolfo nunca perdió la esperanza ni su deseo de protegerla. Sin embargo, un fatídico día, todo cambió para siempre. Cuando Adolfo llegó a casa con algo importante que contarle a su madre, lo que encontró al abrir la puerta lo dejó devastado. Su madre yacía en el suelo, inmóvil, con una nota en la mano dirigida a él. El shock y la tristeza lo invadieron de inmediato, arrancándole un grito desgarrador mientras caía de rodillas junto a ella. Incapaz de procesar lo que veía, Adolfo salió corriendo de la casa, su mente nublada por el dolor y la desesperación. Corría sin rumbo fijo, buscando escapar de la cruel realidad que lo perseguía. En su apresurada carrera, pasó frente a un edificio en construcción. De repente, un trágico accidente ocurrió: una barra de metal cayó desde lo alto con una velocidad abrumadora, atravesando su cuerpo por completo. Todo se oscureció para Adolfo, y en ese último instante, pensó que su vida había llegado a un final abrupto y doloroso. Pero, en un giro inesperado del destino, Adolfo despertó en un nuevo mundo, renacido como un bebé. Aunque conservaba sus recuerdos y conocimientos de su vida anterior, ahora se encontraba en un lugar completamente desconocido, enfrentando el comienzo de una nueva aventura.
Adolfth · 3.5K Views
Related Topics
More