Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Pedang Inkuisisi

Bayi Serendipity: Seluruh Dunia Jatuh Cinta Padaku

Keluarga Su, yang terkaya di kota, tiba-tiba memiliki seorang bidadari berusia tiga tahun! Semua orang mengira balita ini adalah putri tidak sah dari Su Qi, playboy terkenal di dunia hiburan, hanya untuk menemukan ketujuh saudara Su berlutut dan memanggilnya bibi! Seluruh Kota Utara tertawa sampai mati: Apa gunanya bibi kalian selain minum susu? Bibi saya setidaknya bisa melakukan sulaman untuk saya. Su Qi: Sulaman? Bibi saya bisa menangkap hantu, setan, dan zombie, bakat yang menarik perhatian semua orang. Apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su Liu: Bibi saya bisa mengejar pesawat dengan pedang terbang, apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su Wu: Bibi saya bisa menyembuhkan penyakit dengan Akupunktur Pintu Hantu Tiga Belas, apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su Si: Bibi saya bisa melakukan lompatan quintuple dalam seluncur indah, apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su San: Bibi saya bisa dengan mudah mendapatkan pentakill di permainan, apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su Er: Bibi saya memenangkan penghargaan dalam lukisan tradisional Tionghoa, lukisan minyak, dan lukisan tinta. Apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Su Da: Bibi saya membantu perusahaan saya mendapatkan miliaran sehari, apakah bibi kamu bisa melakukan itu? Kemudian, bibi kecil dari Keluarga Su tumbuh dewasa dan diam-diam memulai romansa dengan kekasih masa kecilnya yang adil dan terampil. Serentak, ketujuh anak laki-laki dari Keluarga Su berteriak: Jauhi bibi kami!
Fox's Charm · 47.8K Views

The Unspoken Spell

Di jantung kerajaan Eldoria yang megah, di mana menara-menara batu menjulang anggun seolah menggapai surga dan sihir mengalir dalam setiap napas kehidupan, lahirlah seorang pemuda bernama Kael. Ia bukan seorang pangeran berdarah biru, bukan pula ksatria gagah perkasa dengan warisan pedang legendaris. Kael hanyalah seorang rakyat jelata, dibesarkan di antara gemerisik daun-daun hutan Whisperwood dan aroma tanah basah setelah hujan. Tangannya lebih akrab dengan bilah sabit untuk memanen gandum daripada gagang pedang, dan impiannya tidak melampaui cukup remah roti untuk hari esok. Namun, di balik mata birunya yang jernih tersimpan percikan takdir yang belum terungkap, sebuah kekuatan yang bersembunyi di bawah permukaan, menunggu momen untuk meledak. Ia sering kali merasa tertarik pada reruntuhan kuno di pinggiran desanya, tempat di mana rumor sihir terlarang berbisik di antara bebatuan yang ditumbuhi lumut. Tanpa ia sadari, benang-benang takdir mulai terjalin, bukan hanya untuk menghubungkannya dengan rahasia Eldoria yang terkubur, tetapi juga dengan seseorang yang ditakdirkan untuk berdiri di puncak kekuasaan, seseorang yang hatinya akan terpaut pada pemuda biasa ini. Ketika bayangan kegelapan mulai menyelimuti Eldoria, mengancam untuk menelan cahaya sihir dan cinta, Kael akan menemukan bahwa kekuatannya bukanlah pada pedang atau gelar, melainkan pada keberanian hatinya dan sihir yang mengalir dalam darahnya, yang akan membawanya ke dalam pusaran intrik kerajaan, bahaya, dan sebuah romansa yang melampaui batasan kelas dan takdir. Akankah seorang rakyat jelata sepertinya mampu mengubah jalannya sejarah dan mengklaim cintanya di dunia yang diperintah oleh sihir dan darah bangsawan?
agrozma · 334 Views

Asralux Pahlawan Dari Kegelapan

Asralux: Pahlawan dari Kegelapan Episode 1 – "Yang Dibuang" By Bagas D --- Langit mendung menggantung muram di atas Akademi Pahlawan Arkhaya, tempat para calon penyelamat bangsa digembleng dan dilahirkan. Hari ini adalah hari kelulusan. Hari penuh sorak-sorai. Tapi tidak baginya. Di tengah lapangan besar yang dikelilingi pilar-pilar emas, Ardan berdiri dengan kepala menunduk, tubuhnya penuh luka, pakaiannya compang-camping, dan kedua tangannya gemetar memegang selembar kertas lusuh. Sementara teman-teman seangkatannya berdiri dengan penuh kebanggaan, mengenakan jubah pahlawan dan menerima simbol kehormatan, Ardan hanya berdiri sendiri—dalam diam dan kehinaan. > “ARDAN.” Suara keras sang Kepala Dewan menggema dari podium. Semua perhatian langsung tertuju padanya. > “Nilaimu... adalah yang TERENDAH dalam sejarah akademi kami.” “Tidak hanya gagal. Kau memalukan.” Riuh rendah tawa dan bisikan menyakitkan menyeruak. > “Dia tuh? Yang dulu katanya latihan tiap malam? Hah!” “Mana sekarang tekadmu itu, Ardan?” Ardan hanya diam. Tapi dalam dadanya, ada yang terbakar. Luka demi luka yang tak terlihat di tubuhnya, tapi mengoyak jauh lebih dalam: harga diri. Lonceng besar berbunyi. Sebuah kristal kehormatan dilemparkan ke arah kakinya. Retak. Pecah seperti mimpi-mimpinya. > “Mulai hari ini, namamu dihapus dari catatan kami. Kau bukan lagi calon pahlawan. Kau… dibuang.” --- Senyap. Bahkan angin pun seolah menolak menyentuhnya. Ardan memungut kristal yang retak itu. Darah menetes dari telapak tangannya yang terluka. Tak ada tepuk tangan. Tak ada air mata. Tak ada siapa pun yang berdiri untuknya. > “Apa artinya jadi kuat… jika tak ada yang melihat?” “Apa gunanya semua latihan malam, semua luka, semua keyakinan… kalau ujungnya aku tetap dianggap gagal?” Ia melangkah pergi melewati gerbang Akademi. Setiap langkahnya seperti membelah dunia. Orang-orang menatapnya dengan jijik. Seorang anak kecil melempar batu kecil ke arah kakinya. Ibunya langsung menarik si anak menjauh. > “Jangan dekat-dekat! Dia buangan!” “Katanya dia gagal jadi pahlawan, bahkan tak bisa angkat pedang dengan benar!” Ardan berjalan terus. Tak ada tempat untuknya di balik dinding emas Akademi. Tak ada tempat untuk orang seperti dia—orang dengan tekad tapi tanpa nama. --- Di kejauhan, seorang perempuan berkerudung hitam berdiri di atas menara. Matanya bersinar redup. Ia memperhatikan langkah Ardan dengan seksama. > “Akhirnya… matahari telah jatuh ke bayang-bayang.” “Dan dari kegelapan… lahirlah cahaya baru.” --- Senja tiba. Ardan duduk di atas tebing, melihat ke arah kota Arkhaya yang indah dari kejauhan. Langit berubah merah, seperti simbol perang batin dalam dirinya. Tangannya masih berdarah memegang pecahan kristal. Tapi dia tak melepaskannya. Karena itulah satu-satunya bukti bahwa ia pernah mencoba. Bahwa ia belum selesai. > “Jika dunia tak menginginkanku… aku tak akan memohon diterima.” “Aku tak perlu jadi cahaya mereka… Aku akan jadi cahaya dalam kegelapan.” “Dan saat mereka memohon pertolongan… biarlah bayangan yang menjawab.” --- [TO BE CONTINUED]
Bagas_Dwi_0738 · 316 Views

ARUNIKA: Kanvas di Balik Samudra

Di atas kanvas langit yang tak pernah sepenuhnya biru, terbentang kisah seorang taruna—Noaniel Aquino Navis Naviarta—yang melangkah dalam diam, menyimpan badai di dada dan samudra di tatapannya. Ia bukan pahlawan yang menghunus pedang di tengah sorak, melainkan penjaga sunyi yang menundukkan waktu dengan keteguhan langkah dan kesetiaan tanpa suara. “ARUNIKA: Kanvas di Balik Samudra” adalah elegi tentang perjalanan batin seorang pelaut muda yang meniti lorong-lorong kedisiplinan dan kehormatan, sembari memikul beban masa lalu yang tak pernah ia biarkan karam. Ketika satu undangan reuni melayang masuk—dengan nama lama yang terukir lembut: Aneira Aluna Primadisa Vireska—Noaniel dihadapkan pada dermaga kenangan, tempat di mana luka pernah singgah, dan rindu menggantung tanpa alamat. Dengan latar dunia keras taruna, tawa getir di barak, dan malam-malam yang dihiasi doa sunyi, kisah ini mengalun bagaikan simfoni laut: tenang di permukaan, namun dalamnya menenggelamkan. Ia bukan sekadar cerita tentang cinta yang tertunda, melainkan tentang keberanian menyentuh kembali warna pertama yang pernah dilukiskan di kanvas hati—warna yang tidak pernah pudar meski badai kehidupan datang bergulung-gulung. Dalam arus waktu yang tak pernah menunggu, Noaniel menuliskan kisahnya bukan dengan tinta, melainkan dengan langkah. Bukan dengan kata, melainkan dengan keberanian menoleh ke belakang—untuk memahami bahwa kadang, yang kita cari di cakrawala jauh… justru telah lama berdiam di dalam dada.
navierta · 726 Views
Related Topics
More