Dua Langkah dari Jurang
Gedung ICONPLAY yang megah, yang dulu dipenuhi sorak sorai karyawan dan dering telepon investor, kini sunyi. Lorong-lorong kosong, layar monitor yang gelap, dan udara pengap yang terasa seperti napas terakhir. Di ruang direksi, Jonathan Hartono—putra tunggal Leonard Hartono, pendiri ICONPLAY—menatap laporan keuangan dengan mata berkaca-kaca.
"Valuasi turun 80%. Investor menarik dana. Tim inti mengundurkan diri. Kita bangkrut, Nak."
Itu adalah kalimat terakhir ayahnya sebelum stroke kedua merenggut nyawanya setahun lalu.
Jonathan menggenggam mouse pad perusahaan—hadiah ulang tahun ke-10 dari ayahnya—sambil memandangi logo ICONPLAY yang sudah pudar.
"Aku harus menyelamatkan ini. Tapi... bagaimana?"
Dia bukan ahli bisnis. Latar belakangnya adalah desain game, bukan finansial. Tapi darah Hartono mengalir deras di nadinya.
"Ayah membangun ini dari nol. Aku tidak akan membiarkannya runtuh."
Chapter 1: Warisan yang Terlambat
Jonathan kembali ke ICONPLAY setelah lima tahun menjauh—tepat saat perusahaan itu diumumkan "one step from bankruptcy" oleh media.
Masalah utama ICONPLAY:
Produk usang – Game dan platform mereka ketinggalan zaman.
Korupsi internal – Beberapa petinggi menggelapkan dana R&D.
Brand yang terluka – Publik sudah tidak percaya.
Ketika Jonathan masuk ke ruang rapat untuk pertama kalinya sebagai CEO, semua mata memandangnya dengan skeptis.
"Kau pikir bisa memperbaiki ini hanya karena kau anak Hartono?" sergap Victor Lim, direktur keuangan yang selama ini dicurigai bermain curang.
Jonathan tidak langsung marah. Dia hanya meletakkan satu dokumen di atas meja.
*"Ini analisis aku selama tiga bulan terakhir. ICONPLAY masih punya tiga aset berharga: *IP (kekayaan intelektual) klasik yang fanbase-nya loyal, engine game yang masih bisa dimodernisasi, dan... kalian.*"*
Dia menatap satu per satu.
"Tapi hanya jika kita berani berubah."
Chapter 2: Langkah Pertama – Membakar Jembatan
Reformasi Jonathan dimulai dengan langkah kontroversial:
Mem-PHK 30% karyawan – Termasuk manajer senior yang korup.
Menjual divisi non-profit – Fokus kembali ke core business: game dan interactive media.
Menggandeng indie developer – Membuka platform untuk kreator luar.
Respon pasar?
"ICONPLAY PUTUS ASA!"
"HARTONO MUDA TIDAK TAHU DIRI!"
Tapi Jonathan diam.
Dia tahu satu hal: krisis adalah momentum terbaik untuk perubahan radikal.
Chapter 3: Api dalam Diam
Di balik layar, Jonathan menjalankan tiga strategi rahasia:
Projek Phoenix – Membangun game baru berbasis nostalgia dengan teknologi terkini.
Skandal yang sengaja dibocorkan – Menyeret koruptor internal ke pengadilan untuk membersihkan nama ICONPLAY.
Aliansi dengan kompetitor lama – Kolaborasi tak terduga dengan perusahaan yang dulu bermusuhan.
Tapi satu orang terus menghalangi: Victor Lim.
"Kau pikir bisa menyingkirkan kami begitu mudah?" Victor menyeringai saat menyabotase server utama di malam peluncuran.
Jonathan hanya tersenyum.
"Aku sudah menunggumu."
Plot Twist yang Bikin Pembaca Penasaran:
Ayah Jonathan sebenarnya masih hidup. Tapi sengaja "menghilang" untuk memaksa anaknya mengambil alih.
Projek Phoenix bukan sekadar game. Tapi platform revolusioner yang akan mengubah industri.
Jonathan punya sekutu tak terduga: mantan rival ayahnya.
Gaya Narasi Menarik:
Drama korporat + persaingan sengit.
Adegan hacking/cyber sabotage ala Mr. Robot.
Kilas balik hubungan Jonathan dan ayahnya yang penuh ketegangan.
Kalimat Penutup Menggantung:
"Di dunia bisnis, tidak ada pahlawan atau pengkhianat. Hanya yang bertahan... dan yang terlupakan."
Bisakah Jonathan membersihkan nama ICONPLAY? Apa rahasia di balik "kematian" ayahnya? Dan... siapakah sebenarnya Victor Lim?
Catatan:
Cocok untuk pembaca yang suka kisah comeback, intrik bisnis, dan konflik keluarga.
Bisa dikembangkan ke arah teknologi futuristik atau tetap di drama korporat realistik.
Karakter Jonathan bisa dibuat lebih grey morality (tidak sepenuhnya baik).
Jika mau, bisa tambahkan romance (misal: Jonathan vs wanita yang dikirim kompetitor untuk memata-matainya). Atau fokus ke strategi bisnisnya? Tertarik arah mana?