•Backstory
Ml (male lead) kael
Sejak kecil, ia tidak pernah mengenal kelembutan. Terlahir sebagai pewaris dari keluarga bisnis ternama, setiap langkahnya telah ditentukan sebelum ia mampu memilih jalannya sendiri. Ayahnya adalah pria dingin yang hanya peduli pada kesuksesan, sementara ibunya lebih peduli pada citra keluarga daripada kasih sayang seorang anak.
Di usianya yang masih belia, ia dipaksa duduk berjam-jam di depan buku, les privat yang tiada habisnya, dan aturan rumah yang lebih menyerupai penjara. Setiap kali ia gagal memenuhi ekspektasi, hukuman datang dalam berbagai bentuk—kata-kata tajam yang merobek harga dirinya, sanksi yang membuatnya merasa tak berharga, atau bahkan pukulan yang mengajarkannya bahwa kelemahan adalah dosa terbesar.
Lambat laun, ia belajar untuk tidak merasa. Jika ia tidak merasakan apa-apa, maka tidak ada yang bisa menyakitinya. Jika ia menutup hatinya, maka ia tidak perlu menghadapi kekecewaan. Ia tumbuh menjadi pria yang sempurna di mata dunia—tampan, cerdas, kaya, dan sukses. Seorang CEO muda yang disegani. Tapi di balik semua itu, ia hanyalah pria yang tidak tahu bagaimana mencintai atau berekspresi.
Maka dari itu, ketika malam tiba dan lampu kota mulai menyala, Dia selalu melarikan diri ke depan pianonya, membiarkan jemarinya menari di atas tuts dalam ruangan sunyi di tengah malam. Di sanalah semua emosinya terlampiaskan, setiap not yang ia tekan menggema dengan perasaan yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.
Tapi pada akhirnya, tidak peduli berapa banyak senyuman yang ia beli, atau berapa banyak malam yang ia habiskan dengan piano, hatinya tetap kosong. Karena tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghindari masa lalunya, bayang-bayang dari didikan dingin keluarganya tetap membelenggu dirinya.
•Backstory
FL (female lead) Camille
Sejak kecil, hidupnya tidak pernah mudah. Terlahir di desa kecil yang jauh dari gemerlap kota, ia tumbuh dengan kesederhanaan yang keras. Kedua orang tuanya bukan orang kaya, tapi mereka adalah segalanya baginya. Namun, takdir berkata lain. Di usianya yang baru 15 tahun, ia kehilangan mereka—menyisakan dirinya dan adik laki-lakinya yang masih kecil dalam dunia yang kejam.
Ia tidak punya kemewahan untuk bermimpi tinggi. Saat teman-teman sebayanya melanjutkan sekolah, ia harus menerima kenyataan bahwa pendidikan hanyalah kemewahan yang tidak bisa ia miliki. SMP adalah batas akhirnya. Tapi meskipun dunia menghalangi langkahnya, ia tidak membiarkan dirinya jatuh.
Setiap hari, ia bekerja—membanting tulang sebagai petani atau mengambil pekerjaan apapun yang bisa memberinya uang, sekecil apapun itu. Panas terik, hujan deras, atau tubuh yang lelah tidak menghalanginya. Semua itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk adiknya. Ia tidak ingin adiknya merasakan penderitaan yang sama, tidak ingin ia terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang mengikatnya.
Namun, meskipun dunia memaksanya menjadi dewasa lebih cepat, ia tetap berpegang pada satu hal—pendidikan. Ia mungkin tidak bisa kuliah, tapi itu tidak berarti ia berhenti belajar. Setiap malam setelah bekerja, ia menyisihkan waktu untuk membaca buku, memahami dunia di luar jangkauannya, dan mengasah pikirannya. Jika ia tidak bisa menempuh pendidikan formal, setidaknya ia masih bisa menjadi wanita yang cerdas.
Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ada impian yang tak pernah ia ucapkan pada siapa pun. Ia ingin keluar dari desa ini. Ia ingin melanjutkan pendidikan ke luar kota, atau setidaknya bekerja di sana, melihat dunia yang lebih luas daripada ladang dan jalanan tanah yang sudah ia pijak sejak kecil. Setiap kali ia membaca kisah orang-orang yang berhasil meraih mimpinya, ia membayangkan dirinya ada di posisi mereka—berjalan di jalanan kota besar, berbicara dalam bahasa asing, menjadi seseorang yang lebih dari sekadar wanita desa.
Namun, impian itu hanyalah bayangan. Sebuah angan-angan yang indah tapi tak tergapai. Karena kenyataan lebih kejam daripada dongeng. Uang yang ia miliki hanya cukup untuk bertahan hidup dan membiayai adiknya sekolah. Tidak ada ruang untuk kemewahan bernama "impian."
Baginya, hidup bukan tentang mengejar sesuatu yang mustahil, tapi tentang bertahan. Selama adiknya masih membutuhkannya, ia akan tetap di sini, menjalani hidup yang telah digariskan untuknya. Meski begitu, di dalam hatinya, impian itu tetap hidup—menjadi cahaya kecil yang sesekali menghangatkan jiwanya di tengah kelelahan.
°story
-> Hujan deras mengguyur atap rumahnya yang sudah reyot. Malam itu terasa begitu dingin, lebih dingin dari biasanya. Di dalam rumah kecil itu, seorang gadis berusia lima belas tahun berlutut di samping dua tubuh yang terbaring diam.
Mereka tidak bangun lagi. Tidak akan pernah.
Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena kedinginan. Air matanya sudah kering. Isakan lirih adik laki-lakinya yang masih kecil menjadi satu-satunya suara di ruangan itu.
Ia ingin menangis. Ia ingin berteriak. Tapi untuk apa? Dunia sudah mengambil segalanya darinya.
Skip setelah kejadian masa lampu itu, akhirnya Camille dan adiknya Remi sudah kembali ke kehidupan semula dan menjalin hari-hari nya dengan biasa
Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi gadis itu sudah bangun. Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan tangan cekatan, ia menyiapkan sarapan sederhana untuk adiknya sebelum berangkat bekerja. Ladang menunggunya, begitu juga tumpukan pekerjaan lain yang harus ia selesaikan sebelum matahari terbenam.
Ia menatap buku lusuh yang ada di meja. Sudah berapa kali ia membacanya? Ia tidak tahu. Tapi itu satu-satunya cara agar pikirannya tetap tajam. Ia ingin kuliah. Ia ingin bekerja di luar negeri. Tapi itu semua hanya angan-angan kosong.
"Kak, nanti aku bakal sekolah tinggi biar kita gak miskin lagi," kata adiknya sambil memakan sarapannya.
Gadis itu tersenyum kecil, mengusap kepala adiknya. "Iya, kamu harus sekolah yang pintar."
Karena kalau bukan adiknya, siapa lagi?
Seperti biasa setelah itu Camille bersiap-siap melakukan pekerjaan nya sebagai petani lalu menjual beberapa hasil panen nya ke pasar agar setidaknya ia memiliki tambahan, ia selalu pulang larut malam dan di sambut oleh adik laki-laki nya yang sedang belajar di meja yang rapuh, ia merasa Kasihan tapi melihat adik nya yang tangguh ia jadi percaya bahwa pasti suatu saat ia akan bisa menjadi kakak yang lebih baik dari sebelumnya untuk adik laki-laki nya itu
"Wah…adik Kaka lagi belajar apa?"
Ujar Camille sambil tersenyum lembut menatap adiknya nya yang mengerjakan tugas dengan baik
"Aku sedang belajar matematika kak…kakak aku sangat lapar kaka akan masak apa malam ini??"
Kata Remi dengan semanga dan juga penasaran, Camille yg tanding tersenyum lembut Pada Adik laki-lakinya kini berubah menjadi sedikit merasa tidak enak lalu berbicara
"Maaf kan kakak dik…Kaka cuman bisa memasaknkan mu telur dan nasi saja"
Ujar Camille dengan tidak enak dan merasa bersalah juga, tapi Remi tidak masalah dia terus tersenyum karena dia tau kakak nya sudah bekerja keras untuk nya
"Gak papa kak, Remi selalu makan apa yang kakak masak!"
Camille merasa tersentuh oleh kata-kata adiknya lalu tersenyum lembut kepada adik laki-laki nya itu lalu mengelus rambut nya dengan lembut
"Baiklah, sementara kakak masak kamu belajar dulu ya?"
Ujar Camille dengan lembut dan senyuman yang tidak pernah pudar pada adik laki-laki nya
"Mhm! Baik kak!"
Kata Remi dengan senang dan semangat lalu mengalihkan perhatian nya ke buku nya lagi lalu lanjut belajar. Sementara Camille pergi ke dalam dapur dan langsung memasak kan nya telur untuk makan malam keduanya
Setelah itu, ia memanggil adiknya untuk makan malam bersama di dapur sederhana mereka. Adiknya, Remi, dengan semangat langsung turun dari tempat duduknya, meninggalkan buku-buku, lalu berlari ke dapur.
"Ayo dimakan. Kakak membuatnya dengan cinta seorang kakak pada adiknya," ujar Camille sambil tersenyum.
Remi tertawa senang, lalu duduk di samping Camille dan mulai makan. Walaupun sederhana, momen itu terasa sangat berharga bagi keduanya.
Setelah makan bersama adiknya, Remi dia kembali ke kamar nya untuk belajar lagi, Camille yang melihat itu merasa terpukul di karenakan adiknya tidak bisa merasakan liburan seperti yang lain, Camille lalu mengelus rambut Remi dan berkata
"Remi yang sabar yah? Kakak janji setelah kakak berhasil bekerja ke luar kota atau kuliah di sana kakak bakal beliin kamu hadiah saat pulang ya?"
Remi yang mendengar itu merasa bahagia dan bersemangat dan langsung memeluk Camille dengan erat
"Remi senang kakak bakal beliin Remi hadiah tetapi…Remi sedih kalo Remi akan di tinggal oleh kakak Camille "
Camille mendengar itu merasa iba lagi, dia tau jika dia berhasil ke luar kota itu artinya ia harus meninggalkan adiknya
Camille dengan lembut berjongkok agar sejajar tinggi nya sama seperti Remi lalu dengan belaian lembut Camille berkata
"Kakak janji akan balik secepatnya untuk Remi"
Remi melihat wajah Camille antara senang dan sedih juga, Remi langsung memeluk Camille dengan cara melingkari leher nya dengan kedua lengan nya yang mungil
"Remi bakal selalu menunggu kakak"
Mendengar itu Camille ingin menangis tapi dia menahan agar tetep terlihat kuat di depan adiknya
Saat Remi kembali ke kamar dan mulai tertidur, Camille hanya bisa melihat adik nya, Remi, tidur dengan pulas Camille berjanji pada dirinya sendiri di suatu saat nanti dia harus membahagiakan adik satu-satunya yang ia sayang.
Pada pagi hari, seperti biasa, Camille bersiap-siap untuk berangkat ke ladang mencari uang. Namun, masalah muncul ketika ia tiba di ladang dan terkejut mendapati tanaman di sana layu. Camille panik, karena jika ladang itu benar-benar mati, ia tidak tahu bagaimana nasibnya—ia akan kehilangan pekerjaannya.
Camille berjongkok, menyentuh daun gandum, dan menyadari bahwa semuanya telah layu. Lebih parahnya lagi, seluruh ladang gandum mengalami hal yang sama.
Tiba-tiba, pemilik ladang datang. Matanya terbelalak, terkejut, lalu berubah menjadi kecewa. Namanya Pak Ron, pemilik ladang gandum dan kopi di daerah itu. Dengan tatapan tajam penuh penindasan, ia melirik Camille. Camille hanya bisa terdiam saat Pak Ron melangkah mendekatinya.
"Camille?! Ada apa ini? Kenapa ladang gandum mati semua?!"
Pak Ron memarahi Camille, kesal karena merasa Camille tidak becus dalam pekerjaannya. Camille menelan ludah, menjawab dengan nada gemetar dan gugup.
"A-anu, Pak Ron… Camille juga tidak tahu kenapa tanaman gandum di sini mati semua… Tapi saya bersumpah, kemarin saya sudah merawat gandum ini sebelum pulang…"
Camille tidak gugup karena berbohong, tetapi karena takut dipecat. Jika itu terjadi, ia akan kehilangan sumber penghasilannya. Tangannya mulai dingin, jari-jarinya saling meremas, dan ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menahan rasa cemas.
"Kalau sudah begini, bagaimana cara mengembalikannya, Camille?! Saya sudah lelah
Camille tidak berani menatap Pak Ron. Dengan tubuh gemetar, ia berlutut di hadapannya, lalu mendongak untuk melihat wajah majikannya. Pipinya yang halus dibasahi air mata, matanya berkaca-kaca, penuh ketakutan dan penyesalan.
"Pak Ron… Camille mohon maaf sebesar-besarnya… Camille janji tidak akan mengulangi kesalahan ini, Tuan…"
Suara Camille bergetar, tersedu-sedu saat ia menatap mata Pak Ron, berharap ada sedikit belas kasihan di sana.
"Aku tidak bisa memberimu belas kasihan lagi, Camille. Kau telah membuat kerugian yang sangat besar di ladangku."
Pak Ron berkata dengan tegas, lalu menendang Camille hingga ia terjatuh ke tanah yang kotor, membuat bajunya yang sudah lusuh semakin berdebu.
Tanpa memberi kesempatan bagi Camille untuk berbicara, Pak Ron menariknya berdiri hanya untuk mendorongnya keluar dari kebun miliknya.
"Dasar gadis miskin! Kau bahkan tidak bisa merawat ladangku dengan baik! Mulai sekarang, kau tidak akan bekerja di sini lagi!"
Suara Pak Ron dipenuhi amarah dan kebencian yang meluap-luap. Camille berusaha menahan tangisnya, menolak terlihat lemah. Alih-alih meratap, ia bangkit, menghapus sisa air matanya, lalu berjalan ke pasar dengan pakaian yang kotor, berharap menemukan pekerjaan lain demi bertahan hidup.
Hingga malam tiba, Camille masih belum menemukan pekerjaan. Ia rela hujan-hujanan, menyusuri setiap sudut desa, tetapi tak ada satu pun warga yang mau menerimanya.
Akhirnya, dengan tubuh menggigil dan pakaian kotor, ia memutuskan untuk pulang. Rumahnya memang kumuh, tetapi setidaknya masih layak dihuni. Saat membuka pintu kayu yang sudah lapuk, pandangannya langsung tertuju pada adik laki-lakinya, Remi, yang tertidur di atas karpet sambil memeluk bukunya.
Camille duduk di samping adiknya yang tertidur lelap. Ia meneteskan air mata, lalu memeluk tubuh kecil yang begitu ia sayangi—Remi.
"Maafkan Kakak… Kakak nggak tahu harus bagaimana lagi. Tapi Kakak janji, Kakak akan terus menghidupkan Remi sampai sukses, seperti yang Remi impikan…"
Setelah dipecat, Camille terus mengalami kesulitan. Ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Sampai Malam harinya ini ke-2, Camille pulang dengan raut wajah sedih karena belum juga berhasil menemukan pekerjaan untuk menghidupi adik laki-lakinya.
Sesampainya di rumah, ia melihat ke arah kamar dan mendapati Remi—adik laki-lakinya—terbaring lemas. Camille langsung merasa khawatir dan segera menghampiri Remi untuk memeriksa keadaannya.
Air matanya hampir jatuh saat menyadari bahwa adiknya mengalami demam tinggi. Tanpa membuang waktu, Camille buru-buru mengambil air hangat dan kain bersih. Ia kembali ke kamar dan mulai merawat Remi dengan penuh perhatian.
Sepanjang malam, Camille tak tidur sedikit pun. Ia tetap terjaga, menjaga Remi dengan kasih sayang dan harapan agar adiknya segera membaik.
**Pagi ketiga**.
Seperti biasa, sebelum pergi mencari kerja, Camille menyiapkan sarapan untuk Remi. Setelah memastikan adiknya makan dengan baik, dia pun berpamitan.
"Aku pergi ke pasar, Remi. Doakan kakak dapat kerja, ya."
Remi hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, dia merasa sedih melihat sang kakak terus berjuang sendirian. Setelah Camille pergi, Remi masuk ke kamarnya, menatap boneka beruang kesayangannya—pemberian ayah sebelum hidup mereka berubah karena kemiskinan.
"Semoga kalau Remi jual boneka ini, Remi bisa bantu kakak Camille..."
Boneka itu sangat berarti baginya. Jika takut atau merasa tidak percaya diri, Remi selalu memeluknya erat. Meski berat, dia tahu tidak ada pilihan lain. Maka, tanpa mengenakan alas kaki, Remi turun dan berjalan sendirian ke pasar sambil membawa boneka itu.
Di pasar, ia mulai menawarkan boneka kepada setiap orang yang lewat. Namun, tak ada satu pun yang peduli. Remi tetap sabar dan terus mencoba, hingga akhirnya seseorang menghampirinya.
"Kakak mau beli boneka ini? Ini harganya seribu dolar saja!"
Remi berseri-seri.
Pembeli itu hanya tersenyum dan langsung memberikan uangnya. Remi sangat senang. Namun, saat hendak pulang, tiba-tiba seorang pedagang mainan menghentikannya. Sejak tadi dia memperhatikan Remi dari kejauhan.
"Oh... jadi anak kecil ini mau saingan jualan, ya? Kamu nggak lihat saya juga jual boneka di sini? Harusnya kamu tahu tempat!"
Dengan kasar, pedagang itu menarik baju Remi dan merebut uang satu dolarnya. Remi terkejut dan ketakutan, tapi dia mencoba melawan.
"Tuan, kembalikan! Itu uang buat kakakku!"
Air mata mulai menetes di pipinya, tapi dia tetap mencoba merebut kembali uang itu.
"Dasar lemah! Badan kecil begitu, berani-beraninya melawan orang dewasa?! Nggak ada sopan santun!"
Karena kesal, pedagang itu mengangkat Remi dan membantingnya ke tanah seperti benda tak berharga. Remi mengerang kesakitan—dan perlahan, semuanya menjadi gelap.
"Kakak..."
Suara lirih Remi terdengar sebelum akhirnya tubuh kecil itu ambruk, jatuh pingsan di tanah pasar yang keras. Pedagang itu hanya melirik sekilas, lalu pergi tanpa sedikit pun rasa kasihan. Orang-orang di sekitarnya pun tak ada yang peduli—semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Sampai sore hari, Remi akhirnya membuka mata. Tapi ini bukan rumahnya. Ia terbaring di atas kasur empuk, di ruangan asing. Ia langsung panik, bangkit dengan tubuh gemetar dan mencari jalan keluar. Saat tangannya hendak menyentuh gagang pintu, pintu itu terbuka pelan.
Seorang pria muda muncul, rambutnya pirang dan matanya cokelat hangat. Di tangannya ada secangkir teh.
"Kau sudah bangun?" tanyanya pelan.
Remi terkejut, kakinya lemas dan ia terjatuh lagi. Tapi pria itu hanya tersenyum tipis, lalu menghampirinya dan membantu Remi duduk kembali di ujung kasur.
"Tenang saja. Namaku Ren. Aku petani—tempat kakakmu bekerja sekarang. Kita sudah saling kenal cukup lama… Kakakmu itu, manis juga ya."
Remi masih kebingungan, tatapannya kosong mencoba memahami ucapan pria itu.
"Namaku Remi, Kak Ren..." ucapnya lirih.
Ren tersenyum hangat, lalu menepuk pundak Remi lembut sambil menyodorkan teh hangat dan sepotong roti.
"Minumlah dulu, kamu butuh istirahat. Kalau sudah membaik, nanti kamu bisa pulang ke rumah, ya?"
Remi mengangguk pelan. Setelah itu, Ren meninggalkan kamar dengan pelan, membiarkan Remi beristirahat dalam kehangatan yang baru ia rasakan hari itu.
Judul: matahari yang tidak pernah tengelam
Saat itu, Ren memutuskan untuk pergi ke pasar, meninggalkan Remi sebentar di rumahnya. Namun, ketika sedang berjalan melewati deretan toko, matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal—Camille, sedang duduk sendiri dengan wajah yang tampak frustrasi.
Tanpa pikir panjang, Ren membeli sebungkus roti dari pedagang terdekat dan segera menghampirinya.
"Camille? Sudah lama ya… kita nggak ketemu. Gimana kabarmu sekarang?"
Ren menyapa dengan senyum hangat, penuh semangat dan kasih sayang yang selama ini hanya bisa ia simpan dalam diam.
Camille mendongak, menatap wajah itu—wajah yang pernah menemaninya di hari-hari sulit.
"Ren? Oh… aku nggak baik-baik saja. Aku lagi kesusahan nyari kerja…"
Nada suaranya lemas, matanya letih.
Ren menatap Camille dengan iba. Dengan gerakan lembut, ia menyibakkan beberapa helai rambut Camille ke belakang telinganya.
"Aku tahu rasanya… Tapi semangat, ya? Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada di sini. Datang aja kapan pun kamu mau."
Suara Ren lembut dan gentle. Pandangan mereka bertemu—sejenak dunia terasa tenang.
"Kamu… sangat cantik—"
Ren bergumam tanpa sadar. Begitu ia menyadari, wajahnya langsung memerah dan buru-buru menjauh sedikit. Camille juga mendengarnya—pipi gadis itu pun ikut memanas.
"A–anu… aku pergi dulu ya, Camille!"
Ren cepat-cepat berbalik, menunduk menahan rasa salting parahnya.
Camille hanya tersenyum tipis, memandangi punggung Ren yang semakin menjauh—hangat di hatinya, walau hanya sebentar.
—Flashback, dua tahun lalu—
"Kamu baru ya?"
Camille menoleh, melihat seorang pemuda dengan rambut berantakan dan senyum ramah menyodorkan secangkir air.
"Iya… aku Camille."
"Aku Ren. Kamu bisa duduk di sini," katanya sambil menepuk tanah kosong di sampingnya.
Hari itu panas, ladang luas terbentang di depan mereka, tapi Ren dan Camille duduk di bawah pohon rindang, naungan yang jadi saksi perkenalan mereka.
"Kamu capek?" tanya Ren.
"Lumayan."
"Kalau kamu kuat kerja di sini, aku akan traktir kamu roti isi stroberi minggu depan," ucap Ren sambil menatap Camille dengan pandangan bercanda tapi tulus.
Camille tertawa kecil. "Baiklah. Tapi kalau kamu yang tumbang duluan, kamu yang traktir dua kali."
Dari hari itu, mereka selalu duduk di bawah pohon yang sama setiap istirahat siang. Camille mulai terbiasa dengan tawa ringan Ren, dengan cara dia selalu tahu kapan Camille butuh ditemani… tanpa harus diminta.
**Kembali ke Masa Sekarang**
Remi akhirnya kembali ke rumah setelah kondisinya mulai membaik. Sementara itu, malam itu Camille kembali pulang dengan langkah berat. Lagi-lagi, ia tak kunjung mendapat pekerjaan.
Langit malam sedang tak bersahabat. Hujan turun deras disertai badai yang mengamuk. Meski begitu, Camille tetap berjalan menerobos hujan, berlari tanpa arah—lelah, basah, dan dingin.
Tanpa ia sadari, Ren sedang berada di area yang sama. Ia melihat sosok Camille dari kejauhan dan segera berlari dengan membawa payung, ingin melindunginya.
Namun sebelum ia sempat memanggil Camille, matanya melebar—panik.
"Camille!!"
Teriaknya lantang. Ia melihat Camille diseret oleh seseorang ke gang sempit.
Ren langsung berlari, jantungnya berpacu cepat. Ketakutan menyergap hatinya. Saat sampai di gang, matanya terbelalak. Beberapa orang bertopeng kasar memasukkan Camille ke dalam sebuah mobil van.
"Lepaskan dia!!!"
Ren menerjang ke arah mereka tanpa pikir panjang, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Sepuluh lawan satu. Tubuh Ren dihajar habis-habisan. Ia tergeletak di tanah, wajahnya penuh luka, darah mengalir dari hidung, bajunya basah oleh hujan dan darah.
Dalam pandangan kaburnya, Ren hanya bisa melihat mobil van itu menjauh, membawa Camille entah ke mana.
Air mata Ren menetes—bukan karena rasa sakit di tubuhnya, tapi karena hatinya yang terasa jauh lebih hancur.
"Camille… maafkan aku… aku… mencintaimu… lebih dari apa pun di dunia ini… sayang…"
Suara Ren lirih, nyaris tenggelam oleh deru hujan dan petir. Lalu perlahan, tubuhnya jatuh pingsan di tengah dinginnya malam dan badai yang tak kenal ampun.
------------berlanjut-----------
Nama tiktok
: @nvl_zeaa
Wattpad
: @zeaanyou
Ig
: @nvl_zeaa
Jangan lupa support aku manis💗