Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Sync Effect

Bulkam_NP_1780
--
chs / week
--
NOT RATINGS
515
Views
Synopsis
Ketika realita mulai retak, hanya satu hal yang bisa menyatukannya kembali: resonansi pertama. Di dunia yang tampak normal tapi menyimpan ketidakseimbangan kosmik, muncul fenomena misterius yang disebut Efek Sinkron—sebuah gelombang dimensi yang menyebabkan batas antara dunia runtuh. Finn Aether, seorang pemuda jalanan dengan logika aneh, humor absurd, dan insting yang entah kenapa selalu benar, mendapati dirinya menjadi kunci dalam menyelamatkan eksistensi. Bersama tim yang rapuh dan penuh konflik, ia harus melintasi celah realita, menghadapi entitas asing yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh fisika (atau bahasa manusia), dan menantang pilihan yang bisa menghapus siapa dirinya—sambil tetap menyisipkan lelucon tak pada tempatnya. Tapi tak semua retakan bisa diperbaiki. Dan tak semua orang ingin dunia kembali seperti semula. “The Sync Effect” adalah thriller sci-fi yang memadukan kekacauan dimensi, dilema moral, dan absurditas manusia dalam dunia yang semakin tidak sinkron.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - The Sync Effect

Dunia itu luas dan dunia itu juga bulat dan…Eummm…

dan dunia juga…..

Ahh sudah lah aku tidak pandai membuat opening.yang ku tahu hari ini sangat panas,

Ya mungkin karena aku berada di atap sebuah bangunan tua yang berada tepat di depan rumahku.

Di rumah itu aku tinggal bersama satu orang bodoh tapi walaupun dia bodoh dia itu tidak pintar…eumm..ya mungkin memang bodoh.Terkadang dia memarahi ku jika aku berlama-lama di atap bangunan ini.

Katanya, atap bangunan tua ini nggak aman.

Tapi aku bilang: "Kalau bangunannya mau runtuh, biar kita yang duluan dengar napas terakhirnya."

Dan tepat saat aku ngomong itu...

Bangunannya batuk.

Bukan secara harfiah, tentu. Tapi serius, kayak ada yang getar dari dalam ubin—Grokh—KKHH—lalu tiang antena di ujung atap goyang sendiri.

"Astaga... kamu ngerokok sejak kapan, bangunan?" gumamku sambil pegangan ke talang air yang udah karatan.

Tapi belum sempat mikir panjang—BLUGH!

Kakiku kepleset lumut. Aku jatuh... duduk di pinggiran atap.

"Aduh... pantatku kayak dilempar teori fisika."

Aku bengong sebentar. Langit mulai berubah.

Ada garis aneh membelah angkasa. Seperti retakan tipis melayang. Warna biru langit tercampur ungu keabu-abuan. Lalu muncul suara... dari atas, dari dalam... atau dari belakang otak?

Grrrrrrrrrhhkkk...kkkhhh...

"Maaf, Tuhan. Aku nggak ngerti itu... tapi sumpah aku gak ngutang apa-apa!"

Langsung lompat berdiri. Lari ke tangga darurat, deg-degan, tapi masih sempat ngomel ke diri sendiri:

"Catat, Finn: jangan naik ke atap bangunan yang suka batuk sendirian. Catat."

---

Baru turun beberapa anak tangga...

"FINN!!!"

Deg! Kaget bukan karena suara itu, tapi karena tiba-tiba ada plastik belanja dilempar ke wajahku.

Alaric muncul dari balik gang—napas ngos-ngosan kayak habis lomba tarik tambang, keringat ngucur, dan—anehnya—bawa satu karung mie instan.

"Muka lo kayak liat langit jatuh," kataku sambil ngelepas plastik dari kepala.

"Karena emang nyaris jatuh, Finn! Kamu liat gak barusan?!"

"Ya liat lah! Tapi langitnya lebih stylish dari biasanya."

Kami buru-buru masuk ke rumah semi-rusak tempat kami tinggal. Di dalam, TV menyala otomatis—kayaknya karena sensor getaran. Semua saluran muter berita yang sama:

> "...fenomena langit aneh disaksikan di berbagai belahan dunia. Para ilmuwan belum bisa memberi penjelasan pasti..."

> "...ada suara yang belum teridentifikasi, mirip getaran atau dengungan frekuensi rendah..."

> "...beberapa wilayah melaporkan celah cahaya aneh di udara..."

Aku dan Alaric saling tatap.

Lalu—tentu saja—dia langsung masuk mode sok tahu.

"Kayaknya ini efek resonansi atmosferik tersinkronisasi secara temporal. Aku pernah baca teori kayak gini di jurnal Dr.Kaelhardt."

"Ngaku aja, kamu baru bikin istilah itu barusan."

"Enggak!"

"Kamu juga yang bilang nasi goreng bisa disetrum biar hangat."

"Itu masih dalam pengembangan."

Kami duduk. TV masih nyala, tapi kepala aku bergetar... bukan karena takut. Tapi karena suara itu... masih ada.

Kayak bisik-bisik dari belakang telinga.

Beberapa detik kami diam.

Cuma suara dari TV dan dengung samar di luar yang terdengar.

Lalu tiba-tiba: KLAK!

Suara dari arah jendela. Bukan hembusan angin, lebih kayak... tekanan udara berubah mendadak.

Aku buka tirai—dan langsung terdiam.

Di kejauhan, langit retak lagi.

Kali ini lebih dekat. Retakannya berdenyut.

Seperti luka di udara.

Dan di baliknya... cuma gelap.

Bukan gelap biasa. Ini gelap yang diam. Dan itu yang paling ngeri.

"Alaric..."

"Hm?"

"Kalau aku bilang dunia lagi ngambek, kamu setuju?"

Dia berdiri di sampingku. Matanya melebar.

Dan untuk pertama kalinya... dia nggak jawab.

TV masih bersuara:

> "...dan hingga kini, belum ada yang bisa memastikan apakah fenomena ini bersifat sementara atau awal dari perubahan global besar-besaran."

Lalu... muncul iklan pemutih baju.

Kontrasnya absurd banget, sampai kami sama-sama ketawa pendek. Karena... ya, kenapa juga dunia retak tapi TV masih sempat iklan?

Aku balik ke sofa, nyalain kipas—yang bunyinya lebih berisik dari hati Alaric.

Aku nyengir, nyender ke sofa yang empuknya udah kayak kerupuk angin, dan nendang-nendang udara sambil bilang:

"Tenang, Ric. Selama belum ada naga keluar dari celah langit itu sambil ngedance pakai sandal jepit, kita masih aman."

Dia melotot, tapi mukanya pucat. Tangannya gemetaran sedikit waktu naruh mi instan ke lantai.

"Finn, ini serius! Ini... ini bisa jadi akhir dunia!"

Aku garuk-garuk kepala yang sebenarnya nggak gatal, lalu berdiri. Ambil sapu bulu ayam dari pojokan dan—tanpa penjelasan—langsung ngacungin ke arah jendela.

"Apa yang kamu—"

"Dengan kekuatan bulu ayam warisan nenek ku," kataku lantang, "aku usir kau, celah misterius! Kembali ke dimensi tempat kau berasal! ATAU KAU AKAN MERASAKAN... SABETAN JARI-JARI AYAM PERAK!"

Aku putar-putar sapu itu di udara, kayak lagi jadi Power Ranger versi ekonomis. Lalu berpose dramatis ke arah Alaric. "Nah, sekarang lo tenang, kan?"

Dia ngedip beberapa kali.

Lalu—ajaibnya—dia ketawa kecil. "Kamu itu... idiot banget sih."

"Idiot penyelamat dunia, dong. Hormat, Komandan!"

"Gak."

"Setidaknya senyum, dong."

Dia ngelirik aku, masih ketawa kecil, dan akhirnya nyengir. Kemenangan buatku.

Aku tahu Alaric sering baca jurnal jurnal Dr.Kaelhardt dan dia juga gampang panik kalau ada yang keluar dari 'logika ilmiah'. Dan sayangnya, langit retak itu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan pakai rumus atau artikel online. Tapi... kalau aku bisa bikin dia ketawa, setidaknya dunianya gak sepenuhnya hancur duluan.

Aku ambil dua botol soda dari kulkas mini—satu udah expired dua minggu, satunya tinggal setengah tapi masih bersoda.

"Lo mau yang mana?" tanyaku.

Dia ambil yang expired.

"Berani ambil resiko, ya?"

"Kalau langit bisa retak, aku bisa minum soda kadaluarsa."

Aku angkat botolku. "Untuk langit yang stylish dan mi instan darurat."

Kami cling botol, dan duduk lagi.

Dengung aneh masih ada, samar. Tapi kami pura-pura gak dengar.

Jam di dinding berdetak pelan, dan kipas terus berderak seperti biasa. Aku hampir bisa bohong ke diri sendiri kalau semuanya masih normal.

Sampai—

DRRRRT DRRRRT!

Ponsel Alaric getar keras di meja.

Dia ngelirik sebentar, lalu mukanya langsung kaku. "Oh no..."

Aku ngintip layarnya. Tulisan besar muncul:

> PAK RONY (JANGAN DIANGKAT)

Aku dorong botol soda menjauh kayak wasit yang tahu bakal ada ribut.

"Ini... ini pasti masalah," gumam Alaric sambil ngelus wajah kayak abis ditampar kenyataan.

Dia angkat juga akhirnya. "Halo, Pak—"

Dan langsung disambut suara kayak TOA pecah:

> "ALARIC! KAMU MAU SAYA GANTI SAMA MANEKIN?! SUDAH JAM 11! DIMANA KAMU?! TOKO BELUM DIBUKA!"

Aku bisa denger sampai ke sini. Nyaris ikut jawab, "Maaf Pak, dia lagi negosiasi sama retakan dimensi."

Alaric berdiri buru-buru, nyari jaketnya yang nyangkut di kursi. "Iya, iya, saya otw! Maaf, tadi—"

> "JANGAN BILANG KARENA LANGIT ANEH ITU! SAYA JUGA LIAT, TAPI GAK MANGKIR KERJA! CEPAT KE TOKO SEBELUM SAYA PECAT!"

Klik. Telepon ditutup sepihak.

Alaric masih berdiri di tempat, kayak mau loncat ke hari kemarin dan ngulang semuanya.

Aku berdiri sambil minum soda sambil bilang. "Isshh Isssh Issshh kebiasaan.kamu bilang Kamu calon karyawan terbaik bulan ini."

"Bulan ini isinya kayaknya cuma tiga hari sebelum dunia kebakar."

"Ya, berarti kamu punya peluang lebih besar."

Dia sempat nyengir. Lalu ngelangkah keluar.Dan dengan buru buru mengambil sepeda nya dari gudang…

GRUUKHHH BRUKKK 

Suara itu terdengar dari gudang 

"Dia ngambil sepeda apa lagi bongkar gudang sihh"

Sambil menghela napas aku keluar dan melihat kardus yang berantakan karena tersenggol sepeda alaric..