Judul: Sewu Nyawa Kang Tumbal
Jakarta, 2017
Empat mahasiswa dari Jakarta—Maya, Budi, Toni, dan Sari— Menuju Desa terpencil di Lembang Jberdiri di halte bus antarkota yang sepi menjelang subuh. Ransel mereka besar-besar, dan wajah mereka campur aduk antara semangat dan rasa was-was.
"Aku masih gak percaya kita nekat ke desa sepi buat skripsi," kata Toni sambil menguap.
"Kalau berhasil, dosen pembimbing bakal terkesima, bro," jawab Budi setengah tertawa.
Bus antarkota akhirnya datang, menembus kabut pagi. Mereka naik dan duduk berjejer, bersiap untuk perjalanan delapan jam menuju Segoro Bakti, desa terpencil yang nyaris tak ada di peta. Di sepanjang perjalanan, mereka ngobrol ngalor-ngidul—tentang skripsi, tentang betapa misteriusnya desa tujuan mereka, dan tentang rumor-rumor aneh yang mereka baca di forum internet. Maya tampak paling gelisah, seolah dia merasakan sesuatu yang tak beres sejak awal.
Setelah delapan jam, bus berhenti di tengah jalan yang hanya dikelilingi hutan pinus. Tak ada rumah, tak ada tanda kehidupan. Tapi di antara semak dan pepohonan, ada sebuah papan kayu tua bertuliskan:
"Selamat Datang di Segoro Bakti"
Namun jalan menuju desa masih harus ditempuh dengan berjalan kaki dua jam menembus hutan. Hari mulai gelap. Mereka memutuskan mendirikan tenda di tepi jalan setapak. Malam itu hening… terlalu hening. Daun-daun kering seperti digeser-geser oleh sesuatu. Ada suara bisikan dari arah pepohonan. Sari mengaku melihat bayangan hitam berjalan di kejauhan.
Pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di desa Segoro Bakti. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, tenang, tapi seperti menyimpan rahasia. Namun satu rumah mencolok—besar, tua, dan tampak jauh lebih mewah daripada bangunan lain. Rumah itu seolah mengawasi mereka.
Sesampainya di rumah kepala desa, mereka disambut Ki Jemblung—pria sepuh, ramah, tapi sorot matanya sulit ditebak. Mereka duduk, menyuguhkan maksud penelitian mereka, dan diterima dengan hangat.
Namun Maya tak bisa menahan diri, "Pak… rumah besar di tengah desa itu… siapa yang tinggal di sana?"
Ki Jemblung diam. Udara seketika dingin.
Seorang nenek tua tiba-tiba muncul dari dalam dapur rumah, membungkuk, dengan suara serak ia berkata, "Itu... Rumah Dedemit. Jangan sekali-kali kalian masuk ke sana… Kalau kalian masih sayang nyawa."
Bab: Jam Merah
Pagi itu cerah. Setelah semalam diteror suara-suara aneh di tenda, keempat mahasiswa itu tetap melanjutkan niat mereka menjelajahi desa. Maya, Budi, Toni, dan Sari berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pohon pinus menjulang. Udara segar pagi membaur dengan aroma tanah basah. Warga desa terlihat sibuk—namun tatapan mereka pada para pendatang masih terasa dingin dan menyimpan rahasia.
Siangnya, mereka menemukan sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik lebatnya pepohonan. Airnya jernih, gemuruhnya menenangkan. Mereka memutuskan untuk mandi dan bersantai sejenak. Di sinilah mereka bertemu dengan Ki Agung, seorang lelaki paruh baya dengan janggut putih dan tatapan tajam yang dalam.
"Aku pernah tinggal di desa ini… 17 tahun lalu," ucap Ki Agung tanpa basa-basi. "Tapi semuanya berubah. Dulu desa ini dipenuhi cahaya, sekarang hanya sisa bayangan iblis yang mendominasi."
"Kenapa, Pak?" tanya Maya dengan nada penasaran.
Ki Agung menatap lurus pada mereka. "Kalian sebaiknya pergi sebelum malam ketiga. Segoro Bakti bukan tempat untuk mereka yang tidak percaya pada kutukan."
Sore menjelang. Mereka kembali ke rumah Ki Jemblung, masih tertawa-tawa membahas pengalaman di air terjun.
Namun begitu tiba di pelataran rumah, suasana berubah tegang.
BRAK!
Pintu dibanting terbuka. Ki Jemblung berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam.
"Kalian tahu kan di desa ini punya aturan yang harus dipatuhi?" suaranya membentak. "Kalian habis dari mana?"
Belum sempat Maya menjawab, Mbah Laksmi muncul dari dapur, menghentikan Ki Jemblung dengan suara parau namun menggetarkan:
> "Apa sampeyan edan? Jam 12.00 nganti 15.30 kabeh warga dilarang metu saka omahe! Arep mati, wektu iku… Jam Merah."
Keheningan menelan ruangan. Wajah mereka pucat. Suasana menjadi begitu tegang. Bahkan suara jangkrik pun seolah berhenti.
Bab: Dosa Lama
Setelah keheningan yang mencekik itu, Maya dan teman-temannya saling pandang. Wajah mereka penuh penyesalan.
"Kami minta maaf, Pak," ucap Toni pelan.
Sari menunduk. "Kami tidak tahu aturan itu. Kami hanya ingin mengenal desa ini lebih dalam…"
Ki Jemblung mendekat, napasnya berat, bola matanya merah seperti bara api.
"Kalian juga bertemu dengan dia, bukan?" tanyanya penuh tekanan.
"Ustadz Ki Agung…" jawab Maya ragu.
BRAK!
Ki Jemblung menghentakkan kakinya, tubuhnya bergetar menahan amarah. "Jangan pernah menyebut nama itu di hadapanku! Orang sok suci itu… dia tidak layak hidup! Di mana pun dia berada, dia hanya memakai jubah agama untuk menutupi dosa dan darah yang sudah dia tumpahkan!"
Suara Ki Jemblung menggema di seluruh rumah. Tangannya mengepal, lalu ia berbalik dan masuk ke dalam, menutup pintu dengan keras hingga debu beterbangan dari dinding tua rumah itu.
Suasana hening lagi.
Namun dari arah dapur, Mbah Laksmi mendekat perlahan. Suaranya bergetar seperti berbisik dari dunia lain.
> "Mbesuk kowe ora mbaleni kesalahan kuwi… yen ora kowe bakal mati," ucapnya dengan tatapan tajam menusuk ke dalam dada mereka.
(Besok jangan kalian ulangi kesalahan itu… kalau tidak, kalian akan mati.)
Tak ada yang berani menjawab. Dengan langkah pelan, Maya, Budi, Toni, dan Sari meninggalkan rumah Ki Jemblung dan kembali ke penginapan sederhana di ujung desa. Di sana, hanya suara angin malam dan ranting yang bergesekan, seolah memperingatkan—mereka sudah masuk terlalu dalam.
Bab: Aturan Berdarah
Malam mulai turun. Angin berhembus pelan menyelusup lewat celah-celah papan penginapan tua yang mereka tempati. Jam dinding menunjukkan pukul 18.45.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan terdengar pelan namun tegas. Mereka saling pandang.
"Siapa malam-malam gini?" bisik Sari, takut.
Maya memberanikan diri membuka pintu perlahan. Ternyata Mbah Laksmi berdiri di depan, mengenakan selendang hitam dan membawa lentera minyak. Sorot matanya tajam, penuh peringatan. Ia masuk perlahan, duduk di kursi kayu, lalu menghela napas panjang.
> "Ing kene ana loro wektu sing ora kena dilanggar.
Sing kapisan, Jam Merah. Wiwit jam 12 awan nganti jam 15.30.
Sing nomer loro… sing paling mbebayani… yaiku Jam Merah Sakral.
Wiwit jam 19.30 nganti jam 05.00 esuk.
Aja nganti dilanggar…
Yen sampeyan nekat, nyawa sampeyan bakal dijupuk."
(Di sini ada dua waktu yang tak boleh dilanggar. Yang pertama, Jam Merah dari jam 12 siang sampai 15.30. Yang kedua, yang paling berbahaya, adalah Jam Merah Sakral dari jam 19.30 sampai 05.00 pagi. Jangan pernah dilanggar, atau nyawa kalian akan diambil.)
Keempat mahasiswa itu diam membeku. Suara jangkrik malam seperti berhenti, udara mendadak dingin. Lentera yang dibawa Mbah Laksmi berkedip-kedip seperti nyala nyawa yang terancam padam.
> "Inget, cah bagus… nek kowe rungokke aku, awakmu bisa selamet. Tapi nek ora…dhemit-dhemit sak desa iki ora bakal ngampuni."
(Ingat, anak-anak baik… kalau kalian mendengarkanku, kalian bisa selamat. Tapi kalau tidak… dedemit-dedemit di desa ini tidak akan mengampuni.)
Setelah itu, Mbah Laksmi pamit, berjalan perlahan kembali ke rumahnya, lenyap di balik kabut tipis yang menyelimuti malam desa Segoro Bakti.
Di dalam penginapan, tak ada satu pun dari mereka yang bisa tidur. Karena mereka tahu… waktu terus berjalan. Dan Jam Merah Sakral… tinggal beberapa menit lagi.
Bab: Pelanggar Jam Merah Sakral
Pukul 19.30.
Lonceng kecil yang tergantung di depan penginapan berdentang satu kali… sendiri…
Udara berubah drastis. Kabut semakin tebal, suara jangkrik lenyap digantikan oleh suara sayup seperti erangan jauh di dalam hutan.
Di dalam kamar, Maya, Budi, Sari, dan Toni sedang duduk diam. Lentera satu-satunya berkedip pelan.
Tiba-tiba, Toni berdiri sambil menahan perutnya.
Toni: "Aduh, gua beneran gak tahan. Kebelet pipis banget…"
Maya: "Toni, tahan. Sekarang udah masuk Jam Merah Sakral! Mbah Laksmi udah bilang—"
Toni (mengejek): "Ah masa sih? Cuma pengin pipis doang kok lebay. Mana ada setan ngambil nyawa orang cuma karena pipis!"
Tanpa mendengarkan yang lain, Toni membuka pintu penginapan.
Udara luar dingin menggigit. Hutan sunyi. Kabut tebal menutupi jalan setapak. Toni melangkah ke arah semak-semak, celananya sudah separuh diturunkan, masih mengomel sendiri.
---
Di kejauhan, di balik kabut…
Mbah Laksmi berdiri di pinggir jalan desa dengan tatapan tajam. Di sampingnya, Ki Jemblung dengan tongkat panjang berdiri membisu. Di balik mereka, rumah-rumah desa gelap gulita. Tak ada warga yang berani keluar.
Mbah Laksmi (lirih):
> "Delengen, bocah iku… terus wae nglanggar aturan.
Apa saiki wektune kanggo… mateni?"
(Lihat bocah itu… terus saja melanggar aturan. Apa sekarang waktunya… membunuh?)
Ki Jemblung tak menjawab. Tapi sorot matanya tajam, penuh amarah. Ia menatap Toni yang berdiri membelakangi hutan, tidak sadar apa yang mengintainya dari balik pepohonan.
Ki Jemblung (geram):
> "Sak wise iki, ora ana pangapura… ora ana pangapunten."
---
Di semak-semak…
Toni mulai pipis sambil bersiul. Tapi tiba-tiba… dia merasa ada yang berdiri di belakangnya.
Toni: "Maya? Lo nyusul gue?"
Tak ada jawaban.
Pelan-pelan dia menoleh ke belakang…
Tidak ada siapa-siapa.
Tapi saat dia balik lagi ke depan…
ADA WAJAH PUCAT DENGAN MATA MERAH MENYALA… BERDIRI PERSIS DI DEPANNYA.
Toni menjerit. Namun suaranya seperti ditelan kabut. Dari kejauhan, Mbah Laksmi dan Ki Jemblung hanya melihat kabut menggulung tubuh Toni… lalu hening.
SCENE BERPINDAH – SEBUAH AULA GELAP DI DALAM RUMAH BESAR (desa Segoro Bakti)
Suara tetesan air… lambat, berat…
Toni sadar dari pingsannya. Kepalanya terasa berdenyut.
Saat pandangannya mulai jelas—dia menyadari tubuhnya tergantung terbalik, tangan dan kakinya diikat dengan tali anyaman ijuk kasar.
Toni (merintih):
> "Tolong… tolong aku… Maya… Budi… Sari…"
Dia menoleh ke depan, tubuhnya berayun pelan.
Di depan altar batu yang dipenuhi sesajen darah kering dan tulang binatang, berdiri Ki Jemblung dan Mbah Laksmi.
Keduanya tenang, seperti tidak ada yang aneh. Di tangan Ki Jemblung ada pisau besar berkarat, sedang ia bersihkan dengan air dari kendi tanah liat.
Sementara Mbah Laksmi sibuk menggurat sesuatu di lantai pakai darah kambing.
Toni (menangis keras):
> "Tolong… aku gak tahu apa-apa… aku gak tahu soal aturan itu… aku minta ampun, mbah… tolong…!!"
Mbah Laksmi (tanpa ekspresi):
> "Kowe melanggar Jam Merah Sakral, bocah. Jiwamu… kudu dibayar. Dosa desa ini… butuh tumbal."
(Kau melanggar Jam Merah Sakral, nak. Jiwamu harus dibayar. Dosa desa ini… butuh tumbal.)
Ki Jemblung mengangguk. Ia menyerahkan pisau yang kini tajam berkilat.
Mbah Laksmi mengambil pisau.
Wajahnya berubah buas. Tiba-tiba, senyum lebar menjijikkan terukir di bibirnya.
Toni berteriak histeris. Tapi tak ada yang mendengar.
Dengan satu tebasan cepat…
LEHER TONI TERPOTONG BERSIH.
Kepalanya terjatuh ke lantai batu dengan suara 'gedebuk' keras.
Darah memancar deras. Mbah Laksmi tertawa… suara tawanya menggema ke seluruh sudut aula seperti ribuan suara perempuan.
---
SCENE KEMBALI KE PENGINAPAN – PUKUL 20.10
Maya, Budi, dan Sari duduk tegang.
Sari: "Gue gak tenang, Toninya kok belum balik-balik."
Maya: "Udah gue bilang… sekarang waktunya Jam Merah Sakral. Kita gak boleh keluar. Mbah Laksmi bilang nyawa taruhannya…"
Budi (gelisah): "Kalau dia kenapa-kenapa gimana? Masa kita nunggu aja di sini?"
Tiba-tiba…
bunyi ketukan keras di jendela.
DUK! DUK! DUK!
Mereka semua menoleh.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya kabut.
Sari (gemetar): "Tuh… tuh… apa itu…?"
Maya pelan-pelan mendekat jendela.
Saat ia mengintip ke luar—sekelebat bayangan hitam tinggi melintas cepat!
Maya mundur sambil menjerit. Mereka semua ketakutan.
Maya (panik):
> "Kita harus bertahan sampai pagi. Kalau enggak… kita gak tahu apa yang akan terjadi…"
PAGI HARI – DEPAN RUMAH KI JEMBLUNG
Maya, Budi, dan Sari berdiri di depan rumah kayu tua milik Ki Jemblung, terlihat lelah dan cemas. Mata mereka sembab karena tak tidur semalaman, terus menunggu Toni yang tak kunjung kembali.
Maya (mengetuk pintu pelan):
> "Permisi, Ki Jemblung… Mbah Laksmi… Toni… teman kami… belum kembali sejak tadi malam…"
Pintu kayu berderit terbuka perlahan.
Ki Jemblung berdiri tegak di ambang pintu. Mbah Laksmi berdiri di belakangnya, tangan terlipat, wajahnya datar.
Ki Jemblung (datar):
> "Kami akan suruh orang untuk mencarinya. Mungkin dia tersesat."
Mbah Laksmi menimpali, suaranya tenang:
> "Kadhang bocah anyar durung apal dalan… kadhang kesasar tekan kebon cengkeh."
(Kadang anak baru belum hafal jalan… bisa saja nyasar ke kebun cengkeh.)
Maya menatap mereka dengan tatapan curiga.
Budi ingin bertanya lebih jauh, tapi Ki Jemblung sudah menutup pintu perlahan namun tegas.
---
SIANG HARI – AIR TERJUN SEGORO BAKTI
Mereka bertiga kembali ke lokasi tempat terakhir Toni terlihat. Hutan masih berkabut, meski sinar matahari sudah menembus celah dedaunan.
Sari:
> "Toni… TONIII!!"
Budi (berteriak):
> "Kalau kamu denger suara kami, jawab Ton!!!"
Namun… tak ada jawaban.
Air terjun mengalir tenang. Tak ada bekas jejak, tak ada barang milik Toni, bahkan tidak ada tanda-tanda perlawanan.
Maya (menyeka air matanya):
> "Dia gak mungkin ke mana-mana… dia pasti masih di desa ini…"
Sari:
> "Atau… dia udah…"
Maya (memotong):
> "Jangan ngomong yang aneh-aneh!"
Budi memandangi air terjun dengan tatapan hampa.
Budi:
> "Desa ini gak beres. Semua orang terlalu tenang… seolah mereka tahu sesuatu…"
Kamera perlahan menyorot ke balik pepohonan…
Ada sepasang mata mengintai mereka dari balik kabut.
Mata tua… berwarna kelabu… dan penuh dendam.
Hari sudah mau memasuki Jam Merah tengah hari, terik matahari menggantung tepat di atas kepala, tapi hawa di Desa Segoro Bakti terasa dingin dan menekan. Maya, Budi, dan Sari yang lelah mencari Toni di sekitar air terjun, memutuskan beristirahat sejenak.
Tiba-tiba, dari arah hutan pinus, muncul sosok pria tua berjubah putih lusuh, dengan sorban yang terlihat kusam namun bersih. Dialah Ustadz Ki Agung, yang rumahnya terletak jauh dari pemukiman warga. Ia menatap mereka dengan tatapan iba.
"Ayo... istirahat dulu di rumahku, sebelum jam merah datang. Kalian harus selamat dulu siang ini," katanya tenang.
Mereka mengikuti Ki Agung dengan rasa waswas. Rumahnya kecil, dari kayu tua, tapi bersih dan penuh bau dupa yang menenangkan. Saat mereka duduk, Maya langsung bertanya,
"Ustadz... apakah Toni masih hidup? Kami benar-benar kehilangan dia sejak tadi malam..."
Ki Agung menunduk sejenak, lalu menatap Maya dalam-dalam.
"Teman kalian… tidak hilang. Ia sengaja dibunuh."
Sari terkejut. "Dibunuh? Oleh siapa?!"
Ki Agung menghela napas panjang, kemudian mulai menceritakan sesuatu yang terdengar seperti dongeng, namun terasa nyata di tengah kengerian desa itu.
"Sebenarnya, tujuh belas tahun yang lalu… kepala desa ini, Ki Jemblung, membuat perjanjian terlarang. Ia ingin membuat desa ini makmur, subur, dan tak kekurangan apapun. Tapi… semua itu harus dibayar dengan darah."
Budi menyela, "Apa maksudnya… darah?"
"Ia bekerja sama dengan seorang dukun wanita kejam bernama Mbah Laksmi. Perempuan itu membangkitkan seorang arwah penyihir dari abad pertengahan… yang haus nyawa. Sejak itu… tiap tahun, harus ada tumbal. Jika tidak, desa ini akan hancur. Mereka menyebut waktu pengorbanan itu sebagai… Jam Merah dan Jam Merah Sakral."
Maya gemetar. "Toni… jadi dia korban…?"
Ki Agung mengangguk. "Kalian harus pergi dari desa ini… sebelum Jam Merah Sakral malam ini kembali dimulai. Kalau tidak, kalian akan jadi tumbal selanjutnya."
Setelah mendengar kebenaran dari Ki Agung, mereka buru-buru kembali ke penginapan sebelum Jam Merah Sakral dimulai. Tapi saat mereka tiba di sana…
BRAAAKK!
Pintu penginapan terbuka keras. Ki Jemblung berdiri di depan, bersama beberapa pria warga desa yang wajahnya kosong, dingin, tapi penuh kebencian. Di tangan mereka, tergenggam golok, linggis, dan obor. Maya, Budi, dan Sari terdiam kaku.
"Suwe ora ndelok tamu sing ra ngerti aturan... Wektu kalian wes entek!" ucap Ki Jemblung dingin.
Maya berteriak, "LARI!!!"
Mereka bertiga sontak berlari keluar penginapan. Malam itu, desa Segoro Bakti benar-benar berubah jadi neraka. Obor-obor menyala, suara gong tua terdengar dari kejauhan, dan warga desa menyisir setiap sudut jalan.
Mereka berpencar.
Sari tersandung dan sempat bersembunyi di kolong rumah, tapi seorang warga menyiram bensin dan membakar kolong itu hidup-hidup.
Budi lari ke arah sawah, tapi terperosok dan diseret oleh dua pria bertopeng anyaman bambu, sebelum akhirnya digorok di tengah pematang.
Maya… satu-satunya yang tersisa.
Ia berlari ke belakang rumah warga, matanya menangkap rumpun pohon bambu lebat. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Ia bersembunyi di balik batang bambu, mencoba meredam tangis dan suara napasnya.
Dari kejauhan, suara-suara langkah mendekat. Ada tiga orang, salah satunya membawa lampu petromaks.
"Ojo nganti lepas. Wong wadon kuwi kudu disembelih bengi iki," kata salah satu warga.
Maya menutup mulutnya rapat-rapat. Peluh dingin membasahi wajahnya. Ia bisa lihat bayangan mereka, hanya beberapa meter dari tempatnya bersembunyi.
Tiba-tiba…
"KREK."
Batang bambu tempat Maya bersandar patah pelan.
Salah satu dari mereka menoleh cepat ke arah suara.
"Delengen kana!"
Saat salah satu warga hampir mendekat ke rumpun bambu, sebuah tangan tiba-tiba menarik Maya dari belakang—cepat dan tanpa suara.
"Ssst... ojo rame, ayo cepet!" bisik seorang perempuan muda.
Maya tak sempat berpikir, tubuhnya ditarik ke lorong sempit di balik gubuk tua, melewati jalan tikus yang tersembunyi di balik rerimbunan. Mereka berlari menunduk, napas Maya makin berat, matanya masih merah menahan tangis dan panik.
Setelah cukup jauh dari kejaran, mereka berhenti di gubuk kecil di pinggir sungai. Perempuan itu membuka kerudung tipisnya, wajahnya bersih, teduh, matanya tajam tapi lembut.
"Aku Dini," katanya pelan sambil menyalakan lampu kecil dari baterai.
"Kowe aman saiki."
Maya masih terengah-engah.
"Kamu... siapa? Kenapa nolong aku?"
Dini menatapnya sebentar, lalu duduk bersila.
"Aku salah satu dari sedikit orang yang gak terpengaruh kutukan desa ini. Sejak kecil, aku diajarin untuk terus ibadah dan mendekatkan diri sama Gusti Allah. Aku tinggal di sini… tapi jiwaku gak ikut mereka."
Maya masih gemetar.
"Mereka… mereka semua berubah. Mereka bunuh teman-temanku… kenapa?!"
Dini menunduk.
"Karena kepala desa dulu membuat perjanjian… dengan makhluk dari zaman kegelapan. Sejak saat itu, desa ini harus memberi tumbal. Dan Mbah Laksmi... dia dukun yang membangkitkan arwah penyihir itu. Sekarang, mereka sedang kumpulkan tumbal terakhir..."
"Tumbal terakhir?" Maya menatap Dini, bingung.
Dini mengangguk pelan.
"Ya... kamu."
Dini mengambil secarik kain lusuh dari balik rak kayu. Ia membuka lipatannya pelan-pelan, menampakkan secarik naskah tua bertulisan aksara Jawa kuno yang sudah mulai pudar.
"Ini… ramalan leluhur. Ramalan iki ditulis udakara sewu tahun kepungkur," ucap Dini perlahan.
Maya memperhatikan isi naskah itu. Beberapa bagian sudah tidak terbaca, tapi satu kalimat mencolok ditulis dengan darah kering:
"Nalika papat nom-noman mlebu ing Segoro Bakti, jiwo pungkasan bakal nguripi Sang Penyihir saka lukisan peteng. Nanging, kahanan bisa owah… yen ana darah suci saka anak Habib perempuan bungsu."
Maya mengerutkan dahi.
"Anak Habib? Perempuan bungsu?"
Dini mengangguk pelan.
"Iya, dan itu kamu, Maya. Kamu anak dari Habib Gusman. Aku tahu karena aku pernah lihat foto kalian waktu kamu kecil. Ayahmu penceramah dari kota… benar?"
Maya terdiam. Suaranya pelan gemetar.
"Iya… Ayahku almarhum Habib Gusman. Tapi… kok kamu bisa tahu?"
Dini tersenyum samar.
"Aku pernah lihat ceramah beliau lewat radio warga yang menangkap siaran luar. Suaramu mirip. Aura kamu beda. Kutukan desa ini nggak bisa nembus kamu."
"Tapi... kenapa aku?"
"Karena kamu darah suci terakhir. Kalau tumbal terakhir berhasil—yaitu kamu—mereka akan hidupkan arwah penyihir yang dikurung dalam lukisan tua di balai desa. Lukisan itu akan berdarah, dan sosoknya akan menyerupai penyihir itu... yang akan menguasai tubuh manusia dan membantai semua desa di sekitarnya."
Maya menutup mulutnya, ketakutan.
"Jadi... aku bukan korban... tapi kunci kehancuran mereka?"
Dini mengangguk pelan.
"Kamu bisa membatalkan semuanya. Tapi kita harus cepat. Jam Merah Sakral akan kembali malam ini. Dan kalau kamu masih di sini… mereka akan mencarimu dengan seluruh kekuatan gelap mereka."
Maya berjalan tertatih keluar dari gubuk, tubuhnya lelah tapi tekadnya menguat. Langkahnya membawanya ke rumah besar di tengah desa—rumah yang mereka kunjungi saat awal datang ke Segoro Bakti. Udara mendadak jadi lebih dingin, dan langit seperti berwarna merah kelam, pertanda Jam Merah Sakral mulai mendekat.
Tiba-tiba—BRUKK!
Sebuah kayu besar menghantam belakang kepalanya. Dunia Maya langsung gelap.
---
Saat Maya terbangun…
Kepalanya pusing, penglihatannya kabur. Tapi suara-suara aneh mulai terdengar. Ia melihat sekeliling. Lilin-lilin menyala membentuk lingkaran besar. Di tengahnya... lukisan mengerikan berwarna hitam pekat. Lukisan itu menggambarkan sosok perempuan berjubah sobek, matanya merah darah.
Puluhan warga desa bersimpuh, menyembah lukisan itu sambil membaca mantra aneh.
Dan di atasnya…
Tiga sosok tergantung terbalik.
Tubuh tak bernyawa.
Budi. Sari. Dan Toni.
"TIDAAAKKK!!!"
Maya menjerit histeris. Air matanya mengalir deras, tubuhnya gemetar. Tapi tangannya diikat. Ia berusaha melepaskan diri.
Ki Jemblung berdiri di hadapan lukisan, memegang mangkuk besar berisi darah segar. Mbah Laksmi tertawa, rambutnya acak-acakan, matanya liar.
"Cukup satu lagi… cukup satu tumbal lagi… dan Sang Penyihir bakal balik mulih!"
Maya menatap mereka dengan ngeri. Tapi dalam kekalutan, suara lembut terngiang di kepalanya. Suara dari masa lalu.
"Nak… apa pun yang terjadi, kalau kamu takut, bacalah dua kalimat syahadat. Allah akan melindungimu."
Suara itu... suara almarhum ayahnya, Habib Gusman.
Dengan nafas terengah, Maya menunduk, matanya memejam. Ia mulai membaca…
"Asyhadu an laa ilaaha illallah…
Wa asyhadu anna Muhammadur rasulullah..."
Lilin-lilin langsung padam. Suara angin kencang melolong. Lukisan tiba-tiba terbakar dari dalam. Para warga berteriak. Tubuh mereka berasap. Satu per satu roboh.
Mbah Laksmi menjerit:
"Ndakkkk!!! Iki ora sesuai ramalan! DIA DARAH SUCI!!!"
Lukisan itu kini berdarah, meleleh seperti cairan hitam pekat. Sosok di dalam lukisan tampak bergerak, tapi terperangkap. Teriakan makhluk itu terdengar dari dalam kanvas.
"AAAAAAAAAAAKHHH!!!"
Ki Jemblung terbakar hidup-hidup. Mbah Laksmi tubuhnya meledak menjadi abu.
Maya terjatuh. Tangisnya pecah. Tapi dia tahu... ini belum akhir.
Semua kutukan pun sirna.
Angin berhenti, langit kembali cerah, dan suasana desa Segoro Bakti menjadi hening. Warga yang sebelumnya kerasukan dan menyembah lukisan itu kini mulai sadar satu per satu. Mereka terdiam, bingung, menatap sekeliling dengan wajah penuh rasa bersalah dan ketakutan.
Tiba-tiba, dari arah belakang, tiga cahaya samar muncul…
Budi, Sari, dan Toni. Arwah mereka menghampiri Maya, wajah mereka kini tenang. Sari menatap Maya dan berkata pelan,
"Terima kasih, Maya… kamu menyelamatkan semuanya."
Toni tersenyum,
"Tolong… kuburkan kami di tempat yang layak. Kami ingin pulang… dengan tenang."
Maya mengangguk pelan, air mata jatuh dari sudut matanya.
"Aku janji… kalian akan kubawa pulang."
Ketiga arwah itu pun perlahan memudar, terangkat bersama angin yang lembut, seperti daun-daun kering yang dibawa cahaya pagi. Warga desa kini mulai membantu Maya, mereka sadar betapa jahat dan gelapnya kutukan yang selama ini menyelimuti mereka. Bersama-sama, mereka menguburkan jasad Budi, Toni, dan Sari di pemakaman desa, dengan doa dan permintaan maaf.
Maya berdiri di depan tiga nisan sederhana…
"Ayah, aku tahu… Tuhanlah pelindung yang sejati."
Setelah semua selesai, Maya meninggalkan desa. Ia berjalan menyusuri jalan setapak hingga tiba di titik awal mereka datang, tempat pertama mobil mereka berhenti. Kali ini, ia sendirian. Ia menangis keras—bukan karena takut, tapi karena kehilangan. Ia menatap langit dan berkata dalam hati,
"Maafkan aku... teman-teman."
---
Beberapa minggu kemudian…
Berita menggemparkan kota:
"3 Mahasiswa Ditemukan Meninggal di Desa Terpencil—Dosen Pembimbing Ditangkap"
Ternyata, dosen yang memberikan tugas skripsi kepada Maya dan teman-temannya adalah warga asli Segoro Bakti, bagian dari persekutuan gelap yang bertugas mengirim tumbal ke desa setiap setahun tahun sekali. Ia pun dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
---
SATU TAHUN KEMUDIAN – 2018
Di jalan sepi yang membelah hutan pinus…
Seorang pria tua keturunan Tionghoa berjalan tertatih, matanya menangkap sesuatu di bawah pohon besar. Ia mendekat dan mengangkat lukisan tua berdebu—lukisan itu menampilkan sosok wanita dengan wajah yang buram, nyaris tak terlihat. Namun senyumnya... aneh.
Ia tersenyum puas,
"Wah… antik sekali ini."
Ia membawa lukisan itu masuk ke mobil tuanya. Saat mobilnya berjalan menjauh,
Sebuah papan kayu tua terpasang di belakangnya:
"SEGORO BAKTI – Dilarang Masuk"
Gelap.
Tamat.