Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Quan Jie: Sang Pahlawan Dari Dunia Lain

L_Intang
--
chs / week
--
NOT RATINGS
1.8k
Views
Synopsis
Novel ini menceritakan kisah Quan Jie, pria tampan dan berotot dengan rambut unik setengah coklat dan setengah hitam, tiba-tiba terlempar ke dunia lain bernama Astralis—sebuah dunia kultivasi yang dipenuhi kekuatan supranatural. Selama 2,5 juta tahun, ia menjelajahi daratan luas, menghadapi para kultivator kuat, hingga akhirnya mengalahkan Heavenly Demon Lord dengan strategi gila dan kelicikannya yang luar biasa. Dalam perjalanannya, ia merebut kembali Pedang Primordial, senjata legendaris yang menjadi kunci keseimbangan dunia. Bahkan, karena bosan, ia menciptakan dungeon pribadi berdasarkan komik-komik favoritnya dan pengamatannya terhadap dunia sihir bernama Avarion, yang terhubung dengan Astralis lewat portal dimensi. Namun saat kembali ke bumi, ia mendapati dunia telah berubah drastis. Dalam hitungan 12 tahun 6 bulan waktu bumi, Quan Jie telah menghilang selama jutaan tahun di dunia lain. Kini, bumi dipenuhi dungeon, gate, tower, dan monster—persis seperti dunia fantasi.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 01?: MATI

Angin sepoi-sepoi menyusup lembut di antara dedaunan yang mulai menguning. Suara gesekan halus daun-daun terdengar samar, melintasi langit-langit kota yang perlahan diselimuti warna kelabu musim gugur. Daun-daun beterbangan, menari di udara, lalu perlahan jatuh berguguran menghiasi trotoar. Musim gugur telah tiba—seakan menandai perubahan, entah bagi dunia, atau bagi seseorang yang tengah tersesat dalam pikirannya sendiri.

Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur, seorang pemuda berjalan dengan langkah pelan dan tak bersemangat. Bahunya sedikit membungkuk, napasnya tidak teratur, dan tatapannya kosong menembus jalanan yang dipenuhi orang-orang sibuk yang tak mengenalnya. Dunia seperti berjalan tanpa memperhatikannya. Tak ada satu pun yang menyapa, apalagi peduli.

Tiba-tiba, dia berhenti.

"Membosankan~!"

Teriakannya pecah, menggema di tengah lalu lalang manusia. Beberapa orang menoleh sejenak, memasang ekspresi heran atau jijik, lalu kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak ada yang tertarik untuk memahami isi hatinya. Tak seperti di negeri Konoha—setidaknya begitu pikirnya. Di sana, bahkan orang kesepian punya teman dan tujuan.

Dengan desahan panjang dan hati yang semakin kosong, ia kembali melangkah. Sepatu tuanya menyentuh trotoar dengan suara berat, dan langkahnya membawa dia menjauh dari keramaian kota. Ia terus berjalan tanpa arah, menembus jalur-jalur sempit dan sudut-sudut kota yang sunyi, hingga akhirnya ia tiba di pinggiran jalan, tepat di dekat lampu lalu lintas.

Saat itu, angin tiba-tiba berubah. Tidak lagi sejuk, tapi mengandung sesuatu yang aneh—misterius. Siulannya terasa seperti bisikan halus yang menusuk telinga. Udara menjadi lebih berat. Pepohonan di sekitar bergetar ringan, seolah ikut memperhatikan.

Pemuda itu tetap berjalan. Pandangannya menerawang, pikirannya jauh. Dan itulah saat segalanya mulai terasa berbeda.

Sebuah suara...

Ban besar.

Berderu cepat.

Semakin dekat.

Disertai dengan bunyi klakson yang panjang dan berulang, menggema memecah kesunyian.

Orang-orang di sekitar mulai berteriak. Ada yang panik, ada yang kaget, ada yang buru-buru menyingkir. Tapi pemuda itu... tetap melangkah ke arah jalan, seperti tidak mendengar apa pun. Tubuhnya tidak merespon. Kepalanya baru menoleh ketika suara itu sudah terlalu dekat untuk diabaikan.

Dan saat ia melihatnya—

Sebuah truk besar melaju lurus ke arahnya.

Matanya membelalak.

Tubuhnya kaku.

Kakinya seolah tertancap di aspal.

Dunia seperti berhenti bergerak.

Tidak ada rasa takut. Tidak ada panik. Hanya...

Kelegaan?

Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya yang tadi begitu suram.

Cahaya aneh berkilat di matanya yang sebelumnya kosong.

"…Apakah… ini saatnya?"

Gumamnya lirih, hampir seperti sedang menyambut nasib.

"Apakah aku akan ke-isekai?"

Kata-katanya ringan, namun penuh harap, seolah itulah satu-satunya mimpi yang masih tersisa.

Namun kenyataan… ternyata tidak sebaik fiksi.

SCREEEEEEECH!!!

Truk itu berhenti.

Tepat di depan tubuhnya.

Hanya beberapa sentimeter lagi, dan cerita ini bisa saja menjadi pembuka anime isekai generik. Tapi tidak.

Tidak kali ini.

Pintu truk dibanting terbuka.

Seseorang melompat turun, suara langkahnya menghentak aspal dengan kasar.

"WOI, GOBLOK!!"

Suara keras membahana.

Seorang pria, paruh baya, mengenakan seragam lusuh sopir logistik, mendekat dengan wajah memerah. Matanya membelalak, urat lehernya tegang. "Kau MAU mati, ha?! Dasar bocah GILA!"

Pemuda itu tidak menjawab.

Hanya menatapnya—masih dengan senyum yang tak biasa. Tenang. Nyaris bahagia.

"Coba kau lihat deh," ucapnya dengan nada santai, sambil menunjuk ke arah lampu lalu lintas.

"Apakah lampunya... hijau?"

Sopir itu mengerutkan dahi, lalu secara reflek menoleh ke arah yang ditunjuk.

Ia terpaku.

Warna lampu menyala merah terang.

"Eh... S-sejak kapan jadi merah?" gumamnya, suaranya langsung turun beberapa oktaf. Wajahnya memucat, kini bukan karena marah—tapi karena malu. Ia menggaruk belakang kepalanya, canggung dan kikuk.

Pemuda itu tertawa kecil.

Tawa yang hambar, namun entah kenapa... terasa begitu hidup.

"Lucu, ya? Aku hampir mati... tapi sepertinya dunia belum mau kehilangan badut-nya," ucapnya sambil melangkah mundur, pelan-pelan, kembali ke trotoar.

Sopir itu mendengus, masih malu tapi lega. "Lain kali, lihat-lihat dulu sebelum nyeberang! Dasar bocah sinting..."

Pemuda itu tidak menjawab.

Hanya berjalan menjauh, senyum kecil masih tersisa di wajahnya.

Langit mulai berubah warna.

Mendung menggantung rendah, menyembunyikan cahaya matahari.

Dan di balik awan, seolah-olah sesuatu sedang memperhatikan...

 

Pemuda itu hanya tersenyum tipis, seolah kejadian barusan tak berarti apa-apa. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia kembali melangkah, menyebrang perlahan. Dunia kembali berjalan seperti biasa. Suara mesin kendaraan, klakson, dan bisik-bisik orang yang menonton kejadian itu dari kejauhan—semua kembali menyatu dalam riuhnya kota.

Namun—

Belum juga ia menuntaskan satu langkah pun di tengah jalan, tiba-tiba ada seorang bocah kecil berlari ke arah jalan raya. Usianya mungkin baru lima atau enam tahun, tubuhnya mungil, langkah kakinya cepat tak terarah. Ia tertawa, berlari mengejar bola kecil yang entah bagaimana bisa menggelinding sampai ke tengah jalan. Tanpa rasa takut. Tanpa sadar bahaya mengintainya.

Lampu lalu lintas kini sudah hijau.

Kendaraan mulai melaju.

Klakson dibunyikan.

Teriakan orang-orang memecah udara.

"WOY!! ANAK ITU!!"

"ADA ANAK-ANAK DI JALAN RAYA!!"

"TOLOOONG!!"

Di pinggir jalan, seorang ibu menangis histeris, tangannya terulur, suaranya parau. "Tolong! Tolong anak saya!! Tolong...!!" Suaranya memecah hati siapa pun yang mendengarnya. Tapi tak ada satu pun yang bergerak. Mereka hanya berdiri, terpaku, menahan napas—karena mereka tahu, resikonya terlalu besar. Terlalu berbahaya.

Tapi tidak bagi pemuda itu.

"Resiko?" pikirnya. "Pikirin aja nanti!"

Tanpa ragu sedetik pun, ia berbalik arah. Tubuhnya langsung memutar, kaki-kakinya melesat, meluncur seperti peluru ke tengah jalan. Dunia seakan melambat, namun detak jantungnya berdetak cepat—bukan karena takut, tapi karena tekadnya bulat.

Ia melihat bocah itu. Masih tertawa. Tak menyadari maut mendekat.

Dan dari kejauhan... suara menderu yang lain terdengar.

Bukan satu truk. Truk lain—lebih besar, lebih cepat, lebih liar—melaju tak terkendali.

Rem blong.

Pengemudinya panik.

Bunyi klakson panjang memekakkan telinga.

Pemuda itu tidak memperlambat langkahnya, ia sama sekali tidak menoleh, tidak berpikir, dan ia hanya terus berlari.

Dengan satu dorongan kuat, ia menubruk bocah itu dari samping—mendorong tubuh kecil itu keluar dari jalur maut, tepat beberapa detik sebelum truk itu melintas.

BRAAAKK!!!

Tubuhnya terpental. Udara seketika saja menjadi sunyi. Waktu seakan-akan seperti berhenti.

Truk itu tidak berhenti begitu saja.

Ia sudah menabrak dua motor di belakang.

Orang-orang menjerit.

Asap mulai mengepul.

Tapi pemuda itu...

Terbaring di tengah jalan, diam.

Tubuhnya ringsek.

Darah mulai mengalir dari sisi kepalanya.

Pandangan matanya perlahan memudar...

Tapi...

Ia tersenyum.

"Hah... setidaknya... aku keren di akhir..." bisiknya, setengah sadar.

Lalu pandangan-nya perlahan-lahan menjadi gelap. Pendengaran nya perlahan-lahan menghilang—sunyi,

Dan kemudian semuanya... menghilang total.

(Mati)

End.

Canda woakoaka

To Be Continued~~~~