Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Anala Bhanudara

Nona_Killer
--
chs / week
--
NOT RATINGS
516
Views
Synopsis
Masuk kedalam cerita novel yang pernah dibacanya. Nala menjadi tokoh sampingan yang seharusnya mati diawal cerita, namun dia hidup sebagai tokoh tersebut dan mencoba untuk menjalani kehidupan barunya. Disamping itu dia justru berurusan dengan tokoh antagonis yang tergila-gila padanya.

Table of contents

Latest Update3
33 months ago
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

"Haaah..." hela nafasnya pelan. Nala terpaku menatap layar laptopnya. Hening tak ada suara di sekitar kosnya. Tangannya mengangkat skripsinya yang penuh dengan coretan, membaca beberapa bagian dan kembali menatap laptopnya. Setelah beberapa saat dia jenuh juga, kemudian meletakan buku itu dengan pelan di sebelahnya. Tubuhnya bangkit dan segera mendaratkan tubuhnya di atas kasur yang sangat nyaman. "Nikmat apalagi yang engkau dustakan ya Tuhan, kasur adalah hal paling enak, sumpah gue bersyukur banget punya kasur. Semoga semua orang bisa ngerasain enaknya tidur di kasur," gumamnya pelan merasakan jiwanya menyatu dengan kasur. Matanya menatap langit-langit kamar, menyadari silaunya lampu ia menutup mata. Bentar... jangan dimatiin, kalo dimatiin nanti tidurnya sampe pagi, pikirnya kemudian dia menutup mata.

Kesadarannya hilang sebentar dan dia terbangun dengan kaget membuka mata. Gelap. Ruangan itu gelap namun ada seberkas cahaya oren yang menyinari dinding-dinding kayu. Dia menoleh. Menyadari ini bukan kamarnya. Sebuah api kecil duduk diam di singgasananya, tenang tak bergeming. Gue dimana anjir! Pikir Nala sambil melotot mulai bangkit dari tidurnya dengan susah payah. Bak dihantam batu tiba-tiba kepalanya sakit dan pandangannya gelap. Membuatnya kembali berbaring. Rentetan ingatan dan suara mengalir di kepalanya. Menghujani kepalanya dengan informasi baru yang belum pernah diketahuinya.

"Anala Bhanudara," tangan perempuan itu memegang dadanya ringkih. "Mati di malam bulan purnama seminggu sebelum pernikahan kakak laki-lakinya. Cerita sampingan di awal cerita..." hening, "novel yang akhir-akhir ini gue baca."

Tiba-tiba gue inget semua kejadian dari gue masih kecil sampe gue besar, tapi bukan cerita hidup gue, tapi punya tubuh ini, Anala Bhanudara. Anak kecil cantik yang sakit-sakitan dan ngabisin hampir seluruh hidupnya di dipan kayu ini. Dia adik salah satu tokoh utama di novelnya, tapi mati di awal cerita. Dia mati di umur 18 tahun. Kematian dia tu cuma even sampingan buat mundurin waktu pernikahan kakak laki-lakinya, yang ujung-ujungnya ga jadi nikah karena banyak banget cobaannya, kasian anjir, tapi ga tau juga si soalnya gua belum baca novelnya sampe habis. Bentar! Trus ini gue ceritanya masuk ke tubuh si Anala!? Gue harusnya mati dong!? Anala mati karena penyakitnya di malam saat bulan purnama. Baru masuk ke dalam novel udah mau mati aja gue!

Tangannya meraih jendela, membukanya pelan. Gelap gulita menyambutnya, samar dia melihat pepohonan yang terkena sinar rembulan. Lalu hembusan angin menyapa wajahnya, membuat seluruh badannya bergidik. Perasaan itu nyata, batinnya. Dengan susah payah dia seret tubuhnya memeluk balok kayu itu. Dia mengadahkan kepalanya menatap langit, mencari bulatnya bulan. Tapi sayang atap rumahnya menghalangi. Sisi samping rumahnya rimbun dengan pepohonan. Menyisakan wajah kesal. Ia menoleh menatap pintu.

Nala merangkak menyeret tubuhnya pelan tak bersuara, sambil berpegangan pada tembok kayu rumahnya, dia tertatih menuju pintu. Pintu kayu itu dia buka perlahan. Gelap gulita menyambutnya, ada dua obor yang menyala benderang di ujung jalan setapak, pintu masuk pekarangan rumahnya. Nala berjalan tertatih ke halaman rumah. Tubuhnya lemas, tangannya meraih udara dan dia tersungkur di tanah. Badannya bersusah payah untuk rebah. Matanya menatap langit malam yang tertutup rimbunnya pepohonan. Sialan, pikirnya. Ada satu hal yang harus dipastikan.

Dalam sepinya gelap malam. Cahaya api mendekat. Dari arah pintu masuk pekarangan, seorang pria masuk membawa obor di tangannya, dia langsung berjongkok di samping Nala. Obor itu dia tancapkan di tanah tak jauh dari mereka. Kedua tangan besarnya meraih pundak Nala dan mengangkatnya. "Kamu ga papa?!" Wajahnya yang sedikit terkena cahaya api menampakan wajah yang sangat khawatir.

Hembusan angin malam menyapa keduanya. Mereka saling bertatapan. "Bulan..." suaranya berbisik tak ada tenaga. "Malam ini bulan apa yang bersinar," tanyanya sangat pelan tak terdengar.

"Bulan purnama," jawabnya tegas sedikit khawatir, entah bagaimana dia bisa mendengar suara Nala. Nala sendiri nyaris tak dapat mendengar suaranya, dadanya masih naik turun akibat bersusah payah untuk keluar rumah. Tenaganya tidak ada sama sekali. Kaki dan tangannya terkulai lesu.

"PAAK! PAK BHANU!" Suara pria itu lantang menatap pintu rumah. Nala kembali mengadah dalam dekapan lengan pria itu, menatap langit malam yang terhalang pepohonan, sesekali bergoyang membiarkan seberkas cahaya bulan terlihat.

Bulan purnama... pikirannya dalam. Tubuhnya terasa sangat lemah.

Pintu rumah itu terbuka lebar, seorang wanita dengan wajah yang sangat panik keluar terlebih dahulu.

Anala mati saat bulan purnama

Pria besar itu mengangkat tubuh Nala.

Anala sudah mati

"Kenapa ini! Kenapa Nala di luar!" Wanita itu panik, dibelakangnya dua orang pria melotot menatapnya.

Atau... dia akan segera mati?

"Tadi saya lihat dia keluar rumah dan tersungkur di tanah," katanya panik, "tubuhnya dingin."

Raka, kakak laki-laki Nala segera menunjukkan jalan menuju kamar Nala.

Ambilkan air hangat bu," kata Bhanu, bapaknya Anala. Perempuan paruh baya itu segera berlari ke dapur.

Tubuh Anala dibaringkan perlahan di atas dipan kayu beralaskan kain. Matanya terpejam. Kesadarannya hilang. Bhanu segera memegang wajah anaknya, dingin, kemudian memegang tangannya, ia kembali menelan ludah.

"Panji, Kakek mu ada di mana? Bapak khawatir sekali, Anala tubuhnya dingin." Suaranya pelan terdengar takut.

"Datuk lagi masuk gunung pak, belum tau kapan keluarnya," jawab Panji. Memberikan pukulan berat di ulu hati Bhanu. Datuk Shidarta, salah satu tetua di desa, orang berilmu yang bisa disebut tabib, dulu dia sempat menjadi pamong desa, namun kini sibuk dengan memperdalam ilmunya, salah satu kegiatannya yaitu memasuki gunung dan bersemedi, entah kapan dia akan muncul tidak ada yang tau.

"Bapak akan panggil tabib di desa bawah," kata Bhanu pada putranya, Raka.

"Sebentar pak, ada Panji..." Raka mnghampiri Panji dan memegang lengannya.

"Mas Panji... aku tau kamu juga bisa kan, tolong cek keadaan adikku," ujar Raka menatap Panji dengan memohon, meski tidak terlalu jelas karena pencahayaan yang kurang tapi Panji dapat mendengar kesungguhan di suaranya.

Panji menelan ludahnya dan mendekati tubuh Nala, dia memegang telapak kakinya, terasa sangat dingin. Biasanya dia suka ikut saat kakeknya mengobati orang. Tapi dia belum pernah melakukannya sendiri, dia bahkan tidak tertarik untuk mengikuti jejak kakeknya itu, hanya karena kakeknya tetua di desa dan Panji menghormatinya, dia hanya menurut.

Dulu Panji pernah sekali ikut kakeknya mengobati Nala, anak kecil yang terbaring tak memiliki energi kehidupan. Kalau Panji tidak pernah melihat Nala sebelumnya mungkin saat melihat Nala keluar rumah malam-malam seperti itu Panji akan mengira baru saja melihat penampakan karena rambut hitam panjangnya dan kulit yang putih pucat, apalagi Nala tidak pernah keluar rumah, warga di desa bahkan tidak ada yang tau wujud Nala sekarang.

Panji duduk di pinggir dipan kayu tempat Nala berbaring, tangannya meraih tangan Nala yang terasa sangat dingin, meski terasa seperti mayat, Panji masih bisa mendengar nafas Nala, bahkan detak jangungnya yang lemah itu, Panji mendengarnya.

"Nggak papa, dia cuma kekurangan energi..." tangannya menggenggam tangan Nala erat, menyalurkan energi ditubuhnya ke Nala, tidak terlihat tapi perlahan tubuh Nala menghangat. Tubuh Panji penuh dengan energi kehidupan, selama ini dia selalu kelebihan energi dan mengeluarkannya dengan sia-sia. Dia menghabiskan energinya dengan bertarung, melatih tubuhnya hingga tak bertenaga, kemudian esok hari dia akan tetap terbangun dengan energi yang meluap-luap, setiap hari dihabiskan dengan mengamuk untuk menenangkan tubuhnya. Hingga akhirmya tercipta sosok tinggi besar berotot yang terlihat sangat kuat, lebih kuat dari pemuda kebanyakan. Dan untuk pertama kalinya dia memberikan energi di tubuhnya pada seseorang, dan itu menenangkan tubuhnya juga. 

Bhanu, Raka, dan ibunya Nala yang sedang memegang teh hangat sedang diam di ruangan memperhatikan Panji yang sedang senyum-senyum memegang tangan Nala, sedikit was-was. Kemudian Panji bangkit secara tiba-tiba, tangannya kembali memegang telapak kaki Nala, terasa hangat.

"Kayanya dia cuma kehabisan energi karena berjalan keluar rumah, dia cuma butuh istirahat."

Ibu Nala segera menaruh air teh itu di meja, menghampiri putrinya dan memegang wajahnya. Bhanu mendekat memegang tangan Nala, dia dapat merasakan kehangatan, rasa sesak di dadanya hilang, menyisakan kelegaan.

"Terimakasih Mas Panji..." entah kenapa matanya mulai berair, "saya kira Nala hampir aja lewat." Tangannya mencium tangan Panji. "Terimakasih.."

"Eh pak," kaget, tangannya menarik genggaman tangan Bhanu sungkan. "Saya cuma bantu ngasih sedikit energi ke Nala, dia baik-baik aja kok, besok pagi kasih dia matahari, terus makan daging biar ada tenaganya," ujar Panji sambil berpikir.

Raka memeluk Panji tiba-tiba sedikit tersedu, "terimakasih Panji, kalo kamu ga liat adikku jatuh di depan rumah itu sampai pagi dia mungkin ada di luar rumah... Kamu juga bantu ngobatin dia... keluargaku lagi-lagi hutang budi sama keluargamu."

Dua orang yang saling bermusuhan itu tiba-tiba saja sedang berpelukan canggung.

Panji berusaha melepaskan pelukan Raka,"iya sama-sama ya, kebetulan aja aku lagi patroli malam ini, karena kondisinya sudah aman sepertinya aku harus kembali lagi." Panji melepas pelukan Raka dengan canggung sambil menepuk pundaknya. "Kalo gitu Panji pamit ya, pak, bu."

"Terimakasih ya Mas Panji," ujar ibunya Nala.

"Terimakasih loh Mas," ujar bapaknya Nala mengikuti Panji keluar rumah.

"Makasih Mas Panji," ujar Raka sambil melambai.

Panji pergi membawa obor kayunya dengan sedikit canggung. Meninggalkan rumah Nala dengan perasaan aneh, entah kenapa wajahnya ingin sekali tersenyum. Dia melewati pepohonan, menapaki jalan bebatuan dengan hati riang.

Baru kemarin sore rasanya saat ia mendengar berita pernikahan Dhiyan dengan Raka, perempuan tercantik yang jadi incaran seluruh pemuda di desa, selain parasnya yang cantik dia juga berbakat, dia bisa menari, membatik, membuat kerajinan tangan, semua orang mengelu-elukan dia, bahkan di perkumpulan ibu-ibu dia pasti jadi perbincangan dan perebutan untuk menjadi calon menantu, bagaiman Panji bisa tau? Karena ibunya juga salah satu ibu-ibu itu. Setiap hari ibunya pasti menyuruhnya untuk mendekati Dhiyan sampai-sampai kupingnya muak. Kemudian teman bertarungnya sekaligus rivalnya dari kecil, Raka, tiba-tiba akan menikahi Dhiyan. Panji tidak menyukai Dhiyan, tapi melihat Raka akan memiliki istri sempurna tentu saja perasaan dongkol menyelimuti hari-harinya semenjak hari itu.

Hingga malam itu, waktunya giliran Panji untuk patroli keliling desa. Dia terbiasa patroli sendiri ditemani sebuah obor, dia akan berkeliling dari pos gerbang masuk gunung, turun ke bawah melewati rumah-rumah daerah hutan, melewati pemandian air terjun dan menuju desa bawah. Baru sampai rumah Pak Bhanu, salah satu warga yang terkenal karena anak perempuannya yang pesakitan. Anala, anak kecil itu terakhir terlihat warga saat masih sangat-sangat kecil hingga akhirnya dia tidak bisa pergi keluar rumah dan hanya terbaring di kamarnya, semenjak itu dia tak pernah lagi terlihat. Hanya namanya yang berkumandang dari mulut ke mulut, setiap tahun.

"Anala Bhanudara." Panji tersenyum riang, mengingat kembali beberapa saat ketika Anala keluar dari pintu rumahnya, disambut terpaan angin dan cahaya bulan, rambutnya terurai tertiup angin, matanya sayu, kulitnya putih pucat, parasnya cantik meski terlihat sangat kurus. Panji sudah lama tidak merasakan debaran di dadanya seperti ini. Perasaannya sangat bahagia entah kenapa. Kepalanya mengadah menatap langit, bulan bersinar terang.

"Bulan purnama kali ini sangat indah," ujarnya sambil tersenyum sumringah.