Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Ryudairy

Hanin_Shiawase
--
chs / week
--
NOT RATINGS
297
Views
Synopsis
Yozora Ryuda, seorang lelaki cupu yang menemukan harapan di mata Shinozaki Airi, seorang putri dari keluarga yakuza. Ketertarikan yang tak terduga menuntun mereka pada sebuah hubungan, namun kebahagiaan itu terenggut oleh sebuah tragedi yang mengubah hidup keduanya. Bertahun-tahun berlalu, Airi telah tumbuh menjadi pemimpin yakuza yang kejam. Di sisi lain, takdir mempertemukan kembali Airi dengan seorang pria asing yang kini menjadi pelindungnya. Airi tak mengenali sosok di baliknya, namun Ryuda menyimpan rahasia masa lalu dan cinta yang tak pernah padam. Terjebak dalam pusaran intrik, pertarungan kekuasaan, dan musuh yang mengintai, Ryuda mempertaruhkan segalanya untuk melindungi wanita yang dicintainya, bahkan ketika Airi sendiri tidak menyadari pengorbanannya. Di tengah dunia yang penuh bahaya dan pengkhianatan, benih-benih perasaan lama mulai terusik, namun kenyataan pahit dan identitas yang tersembunyi menjadi penghalang yang rumit. Mampukah cinta yang pernah hilang bersemi kembali di tengah kejamnya dunia yakuza? Akankah Ryuda berhasil melindungi Airi tanpa mengungkapkan masa lalu mereka? Dan bisakah Airi mengenali kembali hati yang pernah mengisi harinya, sebelum semuanya terlambat? Sebuah kisah tentang cinta yang diuji oleh waktu, tragedi, dan kerasnya pilihan di dunia bawah.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Awal Pertemuan

"Hey! Coba tangkap bolanya! Dasar cupu!" Sambil tertawa dengan teman-temannya, lelaki itu menendang bola di depannya dengan keras. Menimbulkan suara renyah saat bola itu menghantam pagar besi, hampir mengenai Ryuda yang meringkuk disana.

"Hahahaha!!"

Terdengar mereka sangat menikmati penderitaan teman sekelasnya yang kini tak berdaya di depannya. Sepulang sekolah, mereka membawa si cupu Ryuda ini ke belakang sekolah dan memulai aksi mereka untuk bersenang-senang.

Ryuda yang tak berdaya di hadapan kelompok pembully itu pun hanya bisa pasrah menjadi sasaran permainan mereka. Kedua tangannya terangkat melindungi kepala dan wajahnya dari tendangan bola yang mereka tujukan padanya.

Yozora Ryuda, nama dari lelaki yang meringkuk di sana. Rambutnya yang berantakan menutupi wajah dan kacamata yang di kenakannya. Meski terlihat lemah dan menyedihkan, si cupu ini cukup terkenal dengan kecerdasaan dan prestasi akademik nya. Jika bukan karna kepribadiannya yang sangat tertutup dan penampilannya yang selalu suram, mungkin kehidupan sekolahnya tidak akan sesulit ini.

Ketika bola menggelinding kembali ke arah mereka, mereka akan melanjutkan aksinya. Tak jarang mereka berhasil menghantamkan bola itu pada Ryuda. Meski begitu, Ryuda hanya diam di tengah tawa mereka. Bagaimanapun perlakuan yang di dapatnya, dia memang tak berani melawan. Karna dia pikir, itu lebih baik dari pada harus berakhir dengan perkelahian yang sudah jelas dia akan kalah. Ia hanya bisa berharap semua ini segera berakhir, seperti biasanya. Dan perlahan mereka mulai kehilangan minatnya karna tak ada reaksi dari Ryuda.

"Tch, membosankan."

Ryuda yang mendengarnya sedikit bernafas lega. Dia harus segera pulang agar tidak terlambat bekerja. Namun bertentangan dengan harapannya, kini seorang dari mereka mengangkatnya dengan mencengkram kerahnya. Ia menyeringai jahat, membuat Ryuda merinding melihatnya.

"Heeh? Apa kau baru saja tersenyum?"

Sebuah pukulan keras dia arahkan tepat di perut Ryuda. Sangat menyakitkan hingga Ryuda tak dapat bergerak. Lelaki itu melepaskan tangannya dan membiarkan Ryuda jatuh di tanah. Mereka pun lanjut menendang dan menginjaknya bersama-sama sambil tertawa.

Menyedihkan, pembawa sial, mengganggu pemandangan, lemah, sok pintar, Ryuda sudah biasa mendengar semua itu. Namun entah kenapa hari ini terasa sangat melelahkan dan menyakitkan. Kenyataan hidupnya yang menyakitkan, perlahan membawanya kembali tenggelam dalam keputusasaan. Haruskah dia menyerah sekarang? Mengakhiri hidupnya?

Sementara itu, di tengah tawa mereka yang penuh kesenangan, seorang gadis yang kebetulan lewat menyaksikan kejadian itu. Tak ada yang menyadari kehadirannya karna mereka terlalu fokus pada Ryuda. Gadis itu memandang bola sepak yang terabaikan di depannya, lalu tersenyum.

"Ya ampun, kalian ini sedang apa?"

Suara tiba-tiba itu mendadak menghentikan keganasan mereka. Setiap mata kini terpaku ke arah asal suara, seorang gadis berdiri di sana. Dari seragam yang dikenakannya, tampak jelas bahwa ia adalah seorang murid kelas dua, junior mereka.

"Ha? Sedang apa gadis kecil ini di sini, pergi sebelum kami juga menghajarmu!" gertak salah seorang dari mereka.

"Benarkah?"

Bola langsung menghantam wajah pria itu dengan keras. Gadis itu telah berhasil melempar tepat sasaran. Membuat semua orang disana tercengang, termasuk Ryuda.

"Kalau kurang kerjaan, kenapa kalian tidak membantuku melemaskan otot saja. Semua ototku kaku karna harus duduk dan belajar semalaman."

Mereka yang mulai mendidih karna emosi pun mulai mengarahkan tangannya pada gadis itu. Samar-samar Ryuda menyaksikan perkelahian itu. Ia tak dapat mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Dimatanya, dia bagai cahaya yang menariknya keluar dari kegelapan. Seiring dengan setiap pukulan yang dilemparkan oleh gadis itu, rambut hitam lurusnya menari dengan kilauan indah dari cahaya senja. Mata hitamnya yang tajam dan gerakan yang gesit membuat hati Ryuda berdebar-debar memandangnya. Untuk pertama kalinya Ryuda terpukau oleh sebuah perkelahian. Hingga di titik dia dapat melupakan semua kesedihan dan rasa sakitnya.

Dalam waktu singkat, para pembulli itu dibuat babak belur dan kabur penuh ketakutan. Gadis itu mendecak memandang mereka yang belarian seperti pecundang. Dia pun berbalik menatap Ryuda, masih dengan tatapan dingin di paras cantiknya.

"Hei kau!"

Suara keras itu langsung menyadarkan Ryuda. Kini tinggal dirinya dan gadis itu disana. Gadis itu menatap Ryuda tajam, membuatnya mematung tak bergerak.

"Kau itu laki-laki kan? Kenapa kau tidak melawan? Kau manusia apa tikus?"

Tatapan matanya yang setajam belati, serta sikap arogan yang terpancar, justru membuat jantungnya berdebar kencang, membuatnya kehilangan kata-kata. Seolah terhipnotis, Ryuda tak mampu mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

Gadis itu menghela nafas kasar. Tatapannya berubah semakin dingin, membuat suhu disekitar mereka seakan ikut menurun. Mata tajam itu menusuk Ryuda, serta membekukannya, membuatnya tidak bisa bergerak atau berbicara.

"Jika kau terus membiarkannya, tak akan ada yang berubah, kau hanya akan terus di bully karna penampilan cupu dan otak lambanmu itu. Mengerti?"

Melihat raut tak senang di wajah gadis itu membuat Ryuda ingin mengatakan sesuatu. Namun terlambat, gadis itu telah melangkah jauh, meninggalkan Ryuda seorang diri di sana. Tangannya yang sedikit terulur pun perlahan turun.

Ryuda yang kesadarannya telah kembali mulai memperhatikan penampilannya. "Ah, berantakan sekali.."

Seragamnya kotor dan acak-acakan, dan sekali lagi kaca matanya rusak. Meski rusak, syukurlah masi bisa sedikit diperbaiki nanti. Ryuda menghela nafas dan sedikit merapikan penampilannya. Dia pun pergi dengan langkah tergesa, karna seharusnya sepulang sekolah ini adalah jadwalnya untuk kerja part-time. Meski tak yakin dia akan tepat waktu, dia tetap harus bekerja agar bisa hidup dengan layak.

===

Pagi itu, kelas sudah ramai dengan celoteh siswa yang bersiap memulai pelajaran. Akami, seperti biasa, menghampiri bangku Ryuda, teman sebangkunya. Namun, perhatiannya langsung tertuju pada plester yang menempel di pipi Ryuda dan lebam samar di sekitar lengannya.

"Ryuda, apa ini?" tanya Akami khawatir, menunjuk plester di pipi temannya.

Ryuda tersentak kaget, berusaha menutupi lukanya dengan tangan. "Ah, ini... bukan apa-apa," jawabnya gugup.

Akami tidak percaya. "Jangan berbohong! Siapa yang melakukan ini padamu?" desaknya, suaranya meninggi.

Ryuda menunduk, tidak berani menatap mata Akami. Ia tahu, teman satu-satunya ini pasti akan marah besar. "Kemarin... Itu..." Ryuda terdiam, ragu untuk melanjutkan.

Akami meraih bahu Ryuda, menatapnya dengan tatapan tajam. "Katakan, Ryuda. Jangan takut."

Dengan suara pelan, Ryuda menceritakan kejadian kemarin. Mendengar cerita itu, Akami mengepalkan tangannya, amarahnya memuncak.

"Tch, siapa yang berani mengganggumu! Katakan! Ku pukul dia sekarang! "

Ryuda hanya tersenyum tipis, matanya menunduk.

"A-aku baik-baik saja. Cuma luka kecil, nanti juga sembuh." jawabnya sedikit gugup.

"Tetap saja, akan ku beri mereka pelajaran jika sampai aku bertemu denganya!" ujar Akami geram.

Berbeda dengan Ryuda yang cupu, suram dan terkucilkan. Akami adalah murid yang sangat populer di SMA mereka. Berkat penampilan, sifat dan kemampuannya banyak yang kagum dan mengidolakannya. Tipe lelaki tampan, ramah, cerdas dan atletik idaman para gadis di sekolah.

Dengan reputasinya, tentu banyak yang tak senang jika dia dekat dengan Ryuda. Namun dia tidak peduli, lelaki bernama Namikaze Akami ini hanya melakukan sesuai kata hatinya. Dia sama sekali tidak peduli penampilan Ryuda yang suram, ataupun apa kata orang di sekitarnya. Berbeda dengan orang-orang yang sok akrab padanya karena penampilan dan kemampuannya, Ryuda adalah orang yang jujur dan tulus. Karena itu dia berusaha keras mendekatinya hingga bisa berteman baik seperti sekarang.

"Tenang saja, lagi pula mereka juga sudah di hajar kemarin." Ryuda mendadak kembali teringat wajah gadis itu. Jantungnya selalu berdetak berdebar kencang setiap kali teringat olehnya.

"Hah? Siapa?" Akami bertanya heran, selama kurang lebih setahun dia berteman dengan Ryuda, tak pernah ada satupun orang yang mau menolong Ryuda setiap kali dia di bully.

"A-aku tidak tau. Dari dasinya... mungkin siswi kelas 2. Dia tiba-tiba muncul dan menghajar mereka. Dia kuat, berani dan... cantik."

Ryuda masih tak mengerti kenapa setiap mengingatnya dia menjadi berdebar tak nyaman. Bahkan mukanya pun memanas, pikirannya tak dapat teralih dari gadis misterius itu. Apa ini...

"Akami," panggilnya dengan mata menunduk.

"Hemm?"

Kepalanya terangkat menatap Akami. Ryuda terlihat gugup, bahkan menutupi sebagian wajahnya dengan buku. "A-aku..."

Ryuda terlalu ragu untuk melanjutkannya. Haruskah dia memberitahu nya. Sementara itu, Akami terlihat menahan kesal karna rasa penasaran. Kenapa dia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Iya? Kau kenapa?" tanya Akami mendesak, masih berusaha sabar.

"Se-sepertinya... aku... menyukai gadis itu."

Ryuda langsung menyembunyikan wajahnya di balik buku yang dibawanya. Sedangkan Akamı terdiam dan mulut terbuka dan mata terbelalak. Apa yg baru saja dia dengar?

"Hah?! Orang yang menolongmu itu? Kau suka dia?"

Terlihat Ryuda mengangguk masih dengan buku yang menutupi wajahnya. Akami tidak bisa percaya ini. Bagaimana bisa anak yang duduk di depannya tiba-tiba tau soal cinta?

"Orang seperti dia? Kau tau namanya? Anak kelas 2 apa?" Kini otaknya dipenuhi oleh bayangan seperti apa gadis yang berhasil membuat temannya ini jatuh cinta. Tapi gelengan dari Ryuda kembali mengejutkannya.

"Kau tidak tau namanya?" Tanyanya lagi memastikan, dan Ryuda kembali menggeleng.

"A-aku terlalu terkejut untuk bertanya. Bahkan aku tidak sempat mengucapkan terima kasih," gumam Ryuda pelan.

Akami menghela napas, menatap Ryuda dengan tatapan campuran antara heran dan geli. "Jadi, kau menyukai gadis misterius yang bahkan tidak kau tahu namanya?"

Kini, Ryuda mulai memunculkan sedikit wajahnya, hanya terlihat kacamata besarnya yang sedikit tertutup rambut depannya yang panjang.

"Mmm... Bisakah kau membantuku, Akami?" tanya Ryuda pelan, menatap ke arah Akami.

Akami menyeringai. "Mau kubantu apa? Cari tahu namanya? Ruang kelasnya? Nomornya? Alamatnya?"

Mendengar nada bicara Akami yang seperti menggodanya, membuat Ryuda semakin ragu untuk meminta bantuan Akami. Tapi, dia sangat ingin tahu siapa gadis itu. Dan hanya Akami yang dia percaya.

"Aku hanya ingin tahu namanya," gumam Ryuda, melirik ke bawah. "Aku juga belum sempat mengucapkan terimakasih."

"Oke, my friend! Cukup beri tahu aku yang mana orangnya saat jam makan siang nanti," Akami tersenyum lebar, dia sudah tidak sabar ingin melihat adik kelas yang berhasil meluluhkan hati Ryuda.

Dan saat jam makan siang, mereka menemukan gadis itu. Di antara kerumunan siswa yang memadati kantin, dia tampak menonjol. Gadis berambut hitam panjang yang lurus terurai, bergerak dengan anggun saat dia berjalan menuju salah satu meja di sudut kantin. Dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan siswa lainnya, tetapi ada sesuatu yang berbeda tentangnya. Aura keanggunan dan kepercayaan diri terpancar dari setiap gerakannya, seolah dia memiliki dunia sendiri.

Ryuda menunjuk ke arah gadis itu dengan jari gemetar, suaranya hampir tidak terdengar. "Itu... itu dia."

Akami mengikuti arah jari Ryuda, matanya membelalak. "Kau yakin? Apa kau tidak salah mengenalinya?" Akami tak percaya melihatnya.

"A-aku yakin. Aku ingat jelas gadis yang menolongku, itu benar dia," jawab Ryuda sambil memandang gadis yang sedang membeli makan siang di kantin. Matanya terpaku pada sosok itu, seolah tidak ada yang lain di sekitarnya.

Akami menepuk pundak temannya itu dengan raut tak tega. "Maaf Ryuda, tapi sebaiknya kau lupakan perasaanmu padanya."

"Ke-kenapa?" tanyanya. Ryuda terkejut dengan respon Akami, dadanya sesak. Apa orang sepertinya memang tidak pantas mencintai siapapun? Ryuda tertawa getir dalam hati, apa yang dia harapkan.

"Jika dia siswi biasa aku pasti membantumu. Tapi jika itu dia, aku hanya bisa menyarankan itu," jawabnya dengan berat hati. Akami memandang Ryuda, perasaannya dipenuhi rasa tidak tega.

"Biar ku beri tahu, dia itu Shinozaki Airi," suara Akami pelan namun tegas. "Tidak ada yang tidak mengenal gadis brutal itu. Rumornya, dia cucu keluarga Yakuza. Kau tahu, Yakuza! Dia itu orang berbahaya yang tumbuh di tengah senjata dan darah!"

Ryuda menelan ludah, matanya membelalak. "Y-Yakuza?" bisiknya, suaranya bergetar.

Akami mengangguk, raut wajahnya serius. "Ya, Yakuza. Kau hanya akan tersakiti jika kau terus mencintainya," lanjutnya, suaranya melembut. "Aku tidak mau kau terluka, Ryuda."

Ia menghela napas, lalu melanjutkan makan siangnya dengan wajah muram. Suasana di antara mereka menjadi tegang, keheningan yang berat menggantung di udara.

Ryuda terdiam, kata-kata Akami bergema di benaknya. Ia menatap Airi dari kejauhan, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia terima. Shinozaki Airi... Yakuza... bayangan gadis itu tiba-tiba menjadi gelap, diselimuti misteri dan bahaya. Namun, di saat yang sama, hatinya menolak untuk menyerah.

Jika bukan karna Airi, mungkin dia sudah tidak hidup lagi sekarang. Bukan karna dipukuli preman itu, tapi karna keputusannya sendiri.

"Tapi..." lirih Ryuda pelan. "Dia menyelamatkanku."

Akami menghela napas lagi, meletakkan sendoknya. "Ryuda, kau tidak mengerti. Dunia Yakuza itu rumit. Orang-orang di dalamnya tidak selalu terlihat seperti yang mereka inginkan. Mereka bisa menyembunyikan sisi gelap mereka di balik senyuman dan kebaikan."

"Tapi tetap saja—"

"Tidak ada 'tapi-tapi'-an, Ryuda," potong Akami, suaranya tegas. "Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak ingin kau terlibat dalam masalah yang lebih besar dari yang bisa kau tangani."

Kini dada Ryuda semakin sesak setelah mendengar penjelasan dari temannya, pikirannya kacau. Akami tidak mungkin berbohong padanya, dan Ryuda tahu Akami selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Tapi, hatinya menolak untuk melupakannya.

Ryuda menunduk, matanya berkaca-kaca. Dia tahu Akami benar, seharusnya dia menjauhi Airi. Tapi, hatinya tidak bisa dibohongi. Ia sudah terlanjur jatuh cinta pada cahaya hangatnya. Tanpa itu, dia akan kembali tenggelam dalam kegelapan.

Shinozaki Airi, nama itu terngiang di benaknya, seperti mantra yang mengikatnya. Ryuda menatap Airi dari kejauhan, matanya berkaca-kaca. Dia sudah memutuskan untuk mencintai gadis itu, bahkan meski harus menerima rasa sakit yang teramat sangat, dia sudah siap. Dia tahu, perjalanannya akan sulit. Tapi, tekadnya sudah bulat. Dia akan mencintai Shinaka Airi, apapun yang terjadi.

===

"Aku mencintaimu!" seru Ryuda dengan seluruh keberaniaan. Kini dia berdiri di hadapan Shinaka Airi. Sebuah kebetulan mereka berpapasan, dan entah bagaimana terjebak dalam situasi ini. Dalam lorong sekolah yang sunyi, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu neon. Suasana terasa tegang, udara dipenuhi oleh keheningan yang mencekam.

Airi menatap Ryuda dengan tatapan sedingin es, seolah-olah dia hanyalah objek asing.

"Lalu, kau mau apa?" tanyanya datar, tanpa sedikit pun emosi.

Airi seakan tidak peduli dengan pernyataan cinta dari lelaki yang berdiri didepannya. Karna pada dasarnya, dia memang tak mengerti apa itu cinta.

Jantung Ryuda berdebar kencang, nyalinya menciut di bawah tatapan dingin Airi. Kakinya terasa lemas, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Otaknya membeku, tidak mampu merangkai kata-kata yang masuk akal.

"A-aku ingin kau jadi pacarku!" ucapnya terbata-bata, nyaris tidak terdengar. Setelah mengucapkan kalimat itu, Ryuda memberanikan diri menatap Airi, mencari tanda-tanda reaksi di wajahnya. Namun, ekspresi Airi tetap datar, seperti topeng tanpa emosi. Hanya menatapnya tajam dan dalam, mencari sesuatu jauh di dalam dirinya.

""Hei," panggil Airi, suaranya memecah keheningan.

"Ya?" jawab Ryuda, tersentak kaget.

"Kau si cupu yang dipukuli hari itu, kan?"

"I-iya." Jantungnya semakin berdegup kencang hingga rasanya akan meledak. Tangannya mulai berkeringat dan tenggorokannya terasa kering.

"Kau? Ingin aku jadi pacarmu?" tanyanya dengan nada remeh.

"I-iya..." jawab Ryuda, suaranya bergetar.

Ryuda menundukkan kepalanya. Dia merasa malu dan putus asa, menyadari betapa bodohnya dia. Dalam hati, Ryuda mengutuk dirinya sendiri. Berharap bisa memutar balik waktu dan melupakan cintanya seperti yang seharusnya. Dia tahu bahwa dia tidak pantas bersama dengan Airi. Dia hanyalah pria lemah dan tidak menarik. Tidak mungkin orang seperti Airi mau menerimanya.

Dari sudut pandang Airi, dia hanyalah pria lemah yang menyedihkan. Tentu tak ada alasan untuk berhubungan dengannya. Namun entah kenapa, Airi merasa cukup tertarik untuk melihat akhir dari tikus kecil ini bila bersamanya. Haruskah dia mencobanya? Dan memanfaatkannya? Tanpa sadar sudut bibinya sedikit terangkat. Sepertinya layak dicoba.

Tiba-tiba, Airi tertawa kecil, "Yah... kebetulan, aku memang tidak punya pacar. Sepertinya menarik, ayo lakukan itu."

Ryuda mengangkat kepalanya, matanya membelalak tidak percaya. "Sungguh?"

"Tentu saja," jawab Airi dengan nada santai. "Dan karena kau yang mencintaiku, kau harus menuruti semua perkataanku. Bagaimana?"

"Ya! Aku akan melakukan apa pun untukmu!" jawab Ryuda, tanpa ragu sedikit pun. Tak ada alasan baginya untuk menolak. Ryuda merasa hatinya menghangat. Sudah lama dia tidak merasa sebahagia ini.

"Umm, bo-boleh aku memanggilmu... Airi?" tanya Ryuda gugup, berharap bisa memanggil Airi dengan akrab.

"Terserah," jawab Airi tak terlalu peduli.

Senyum Ryuda semakin lebar, "Terima kasih, Airi." ucap Ryuda tulus.

Airi tersenyum tipis. Tak seperti dirinya sendiri, Airi sendiri pun bingung kenapa mengambil keputusan itu. Ketertarikan yang jarang dia rasakan setelah sekian lama, dia hanya ingin melihat sampai kapan ini akan bertahan. Sambil sedikit memanfaatkan dan mempermainkannya, sepertinya akan menyenangkan. Ya, Airi hanya menganggap Ryuda sebagai hiburan semata.

Berbeda dengan Ryuda yang sangat menganggap serius hubungan mereka. Di tengah kehidupannya yang gelap dan menyedihkan, Airi adalah sesosok cahaya penerang yang memberinya kehangatan dan semangat hidup. Dia rela melakukan apapun untuknya, bahkan memberikan jiwa dan raganya.

===

Matahari sore menyinari jalanan saat Ryuda dan Akami berjalan pulang bersama. Akami menyesap jus buahnya, sementara Ryuda tampak gelisah, sesekali melirik ke arah sahabatnya.

"Akami," kata Ryuda akhirnya, suaranya pelan. "Ada yang ingin kuceritakan."

Akami menoleh, mengangkat alisnya. "Apa itu?"

"Aku... aku sekarang berpacaran dengan Airi," kata Ryuda, menunduk sedikit.

Akami hampir menyemburkan jusnya. "Kau pacaran dengannya?!" Akami bertanya dengan nada tak percaya, gadis seperti Shinozaki Airi yang terkenal dingin dan kejam itu menerima Ryuda begitu saja?

Ryuda mengangguk kecil. "Saat istirahat, kami tidak sengaja berpapasan. A-aku tidak dapat menahannya dan tanpa sadar menyatakan perasaanku. Lalu... dia bilang bersedia menjadi pacarku." Ryuda tak menjelaskan perjanjian diantara mereka karna merasa itu lebih baik.

Akami menatap dengan penuh kecurigaan. "Katakan, dia tidak mengancammu kan?"

Ryuda tertawa kecil. "Apa seburuk itu Airi di matamu?"

Akami menghela napas. "Ryuda, kau tahu aku hanya khawatir kau akan mendapat masalah. Aku sudah memperingatkanmu tentang ini, ingat?"

"Aku tahu, Akami. Tapi... dia sangat penting bagiku," jawab Ryuda. "Hanya dia alasanku bertahan untuk hidup." lanjutnya dalam hati.

"Tapi tetap saja, Ryuda," kata Akami, suaranya sedikit meninggi. "Tidak hanya latar belakang keluarganya. Dia sendiri juga terkenal kejam. Bahkan tidak satu dua siswa yang nyaris mati karnanya."

"Aku tahu dia punya reputasi seperti itu," kata Ryuda, menatap Akami. "Tapi aku yakin dia tidak seburuk yang orang-orang katakan, aku merasakannya."

Akami menghela napas kasar dan mulai kesal. "Ryuda, kau terlalu naif! Kau tidak tahu apa yang bisa dia lakukan! Dia bisa saja mempermainkanmu, atau bahkan lebih buruk dari itu!"

Ryuda hanya tersenyum, dia tau yang Akami katakan adalah kenyataannya. Tapi dia tak masalah dengan itu. "Akami, aku tahu ini terdengar bodoh. Tapi setidaknya, aku hanya ingin membuatnya sedikit lebih banyak tersenyum."

Tak ada lagi yang dapat dia katakan, dia menyerah dengan kepolosan dan sifat keras kepala Ryuda. Meski kesal, dia hanya bisa mendukung keputusan temanya itu.

"Tch, baiklah. Terserah kau saja," kata Akami kesal dan pasrah. "Tapi ingat Ryuda, kau harus tetap berhati-hati. Jangan biarkan dia memanfaatkanmu. Dan jika terjadi sesuatu yang..." Akami menggerakkan tangannya melintasi lehernya. Mungkin maksudnya jika Airi terlihat membunuh orang? "Segera beritahu aku," lanjutnya.

"Tentu, Akami," kata Ryuda, tersenyum tipis. "Terima kasih."

Setelah membagi cerita bahagianya, Ryuda merasa menjadi sedikit lebih lega. Mereka berjalan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara langkah kaki dan suara kendaraan yang terdengar. Mereka pun berpisah di persimpangan karna rumah mereka yang berbeda arah. Akami masih khawatir, tapi ia tahu ia tidak bisa menghentikan Ryuda. Ia hanya bisa berharap sahabatnya itu tidak salah menilai Airi, dan agar ia tidak terluka.

===