Di suatu kerajaan yang dipenuhi oleh intrik sihir, mana adalah kekuatan yang tak ternilai harganya. Hanya bangsawan yang memiliki hak untuk menguasainya, sementara rakyat biasa hanya bisa memandangnya dengan kekaguman dan ketakutan. Bagi bangsawan, sihir adalah anugerah—sebuah alat untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun bagi rakyat jelata, sihir adalah kutukan, sesuatu yang digunakan untuk menindas dan menghancurkan mereka.
Di sebuah desa terpencil yang terletak di ujung perbatasan kerajaan, hidup seorang gadis yatim-piatu. Sejak kecil, ia dibesarkan di sebuah panti asuhan, jauh dari keistimewaan sihir yang dimiliki para bangsawan. Tak seperti teman-temannya, gadis itu hampir tak memiliki kemampuan sihir. Ia hanya bisa diam dan memandang teman-temannya yang dengan mudah membentuk api, air, atau angin hanya dengan memfokuskan pikirannya.
Namun, meskipun ia tak memiliki sihir, teman-temannya tak pernah mengejeknya. Mereka tahu, meski ia tak memiliki kekuatan seperti mereka, gadis itu tetap memiliki keinginan untuk belajar. Suatu hari, dengan mata berbinar, ia bertanya kepada salah seorang temannya yang sedang bermain dengan api.
"Bagaimana caramu bisa mengendalikan sihir itu dan membentuk sesuatu sesuka hatimu?" tanya gadis itu penuh harap.
Temannya tersenyum dan berpikir sejenak. "Bagaimana menjelaskannya ya? Ibu panti bilang, jika kita ingin menciptakan sihir, kita harus membayangkannya, menyalakan keinginan kita."
"Imajinasi?" tanya gadis itu.
"Ya, benar!" jawab temannya dengan ceria. "Meskipun mana sihir kami sedikit, kami bisa menciptakan banyak hal asalkan kita fokus pada apa yang kita inginkan."
Dari saat itu, gadis itu selalu mengamati sihir teman-temannya dengan penuh kekaguman. Setiap hari ia merasa gembira, meskipun hatinya kadang sedikit terluka karena tidak bisa ikut serta. Namun, ia tetap berharap bisa memiliki kekuatan seperti mereka—sesuatu yang bisa melindungi, bukan untuk menindas.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Pada suatu hari yang tak terduga, sebuah keributan datang dari depan panti asuhan. Seorang bangsawan dengan pakaian mewah berdiri di sana, mengangkat tangan penuh mana yang membentuk kekuatan berbahaya. Dengan penuh amarah, ia mencekik seorang staf panti asuhan yang tak berdaya.
"Hei! Apa yang kalian semua lakukan? Tidak ada yang berani melawan?" Bangsawan itu tertawa, suara sarkastiknya menggema di udara. "Kalian semua hanya rakyat jelata, bagaimana bisa melawan aku? Hahaha!"
Semua orang terdiam, tak berani bergerak. Mereka tahu betul bahwa bangsawan itu jauh lebih kuat. Di tangan bangsawan itu, mana sihir tampak mengerikan—lebih kuat dari apa yang bisa mereka bayangkan. Dengan cekikan yang semakin erat, staf panti asuhan itu mulai merintih kesakitan, sementara bangsawan itu hanya tersenyum puas.
Gadis itu berdiri terpaku, matanya memandang sekeliling. Teman-temannya tampak ketakutan, tak ada yang bisa bergerak. Tiba-tiba, ia merasa sihir yang selama ini ia anggap indah, kini berubah menjadi senjata yang menakutkan. Namun, tanpa rasa takut, ia berlari menuju dapur belakang dan mengambil sebuah kayu panjang. Tangan gadis itu gemetar, namun ia tak gentar. Ia berlari kembali, menembus kerumunan, dan dengan sekuat tenaga, memukul perut bangsawan itu.
Pria bangsawan itu terkejut. Ia melepaskan cekikannya dari staf panti asuhan dan, dengan wajah penuh amarah, berbalik mencekik gadis itu
"Berani sekali kau, bocah kecil!" katanya
"Kau akan merasakan akibatnya!"
Dia mencoba mengambil mana gadis itu, namun dengan kebingungannya, ia menyadari bahwa gadis itu tidak memiliki kekuatan sihir.
"Kau tak punya sihir?! Cih, menjijikkan!" katanya dengan jijik, lalu melemparkan gadis itu ke tanah dengan yang sangat keras.
Gadis itu terjatuh, rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya, tetapi ia hanya bisa diam. Ia menatap teman-temannya yang kini melihatnya dengan tatapan penuh kebencian—seolah kata-kata bangsawan itu telah merubah mereka semua. Sebuah rasa pedih menyelimuti hatinya. Selama ini ia berharap bisa menjadi seseorang yang kuat, seseorang yang bisa melindungi yang lemah. Namun kini, ia melihat betapa tak berdayanya dirinya.
Pria bangsawan itu terus memukulinya, menendangnya tanpa henti. Gadis itu tak melawan. Apakah ada yang lebih sakit daripada melihat tatapan jijik dari teman-temannya? Ia hanya bisa meredam rasa sakitnya, menahan tangis.
Bangsawan itu berhenti sejenak, menghembuskan napas kasar.
"Kau membuatku marah! Kau akan merasakan akibatnya!" katanya sambil mengangkat tangannya, menyemburkan sihir api.
Gadis itu hanya menatapnya, matanya kosong. Ia tak punya harapan lagi. Api yang keluar dari tangan bangsawan itu membakar tubuhnya, dan rasa sakit yang luar biasa membuatnya menjerit, "AAAAARRRGHHH!!"
Namun, meskipun tubuhnya terbakar, gadis itu tak bisa menghindari sebuah senyuman yang perlahan muncul di wajahnya.
"Jika aku terlahir sebagai bangsawan, mungkin aku bisa melindungi yang lemah, bukan menindas... Tapi... mungkin ini takdirku," pikirnya.
"Setidaknya aku bisa pergi dengan tenang. Aku tidak akan lagi khawatir tentang teman-temanku."
Saat ia merasakan hidupnya mulai pudar, gadis itu berbalik menoleh ke arah teman-temannya. Pandangan mereka, yang dulu penuh kebaikan, kini telah berubah menjadi pandangan jijik. Ia menutup matanya, akhirnya pasrah.
Di saat terakhirnya, ia mendengar sebuah suara, seakan datang dari tempat yang jauh.
"Luna, lihatlah. Dia adalah putriku! Dia akan melindungi kekaisaran seperti yang ada dalam ramalan! Ah, dia sangat lucu. Rambutnya mirip denganku, Luna. Sekarang, aku ingin melihat matanya."
"Tunggu, sayang. Kau harus memberinya nama lebih dulu."
Gadis itu membuka matanya kembali, dan mendapati dirinya terlahir kembali di dunia yang berbeda, sebagai putri kedua dari seorang kaisar yang agung. Dunia yang penuh dengan sihir dan harapan baru.
"Aku akan memberinya nama Lysha, Eirlysha," kata sang ibu dengan penuh kebahagiaan.
"Nama yang indah," jawab sang ayah, Azarion, Kaisar Kekaisaran Valtheris Elyndor, dengan penuh rasa cinta.
Azarion memandang tangan putrinya yang memancarkan cahaya. Ramalan itu kini tampak nyata—hanya seorang wanita yang akan memiliki kekuatan ilahi untuk melindungi Kekaisaran.