'Bising... Bising sekali...'
Suara sirine yang memekakkan telinga terus berdengung. Tidak begitu jelas apa itu suara mobil polisi atau ambulans. Lagipula, aku tidak ingin memikirkan hal itu.
Aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi, namun yang lebih penting tubuhku terasa panas. Ini sangat menyiksa. Dada ku terasa sesak!
Pandanganku dipenuhi kegelapan yang mengerikan, dan aku kesulitan bernafas.
Aku mencoba mencari ketenangan ketika baru mendapati bahwa tubuhku tak mampu sedikitpun bergerak, mirip seperti ketindihan.
Pikiranku berpacu dengan kecepatan yang luar biasa, mencoba mengerahkan segalanya demi mencari jawaban atas hal ini.
Namun panas ini semakin mengganggu, rasanya begitu gerah dan siapapun kesulitan untuk berpikir jernih dalam situasi ini.
Muak berpikir, aku hampir menyerah, dan memutuskan untuk melihat keadaanya dengan kedua mataku sendiri ketika baru menyadari bahwa mataku terpejam saat itu. Kelopak mataku yang seberat timah akhirnya berhasil bergerak, walau hanya mendapat celah kecil.
Ruangan itu hampir sepenuhnya gelap, sampai tiba-tiba kilau merah dan biru yang terus berkelap-kelip mulai memenuhi ruangan. Bersamaan dengan itu, suara sirine yang memekakkan telinga semakin menjadi-jadi, menandakan bahwa apapun itu yang menyebabkannya sudah sangat dekat denganku.
Memanfaatkan pencahayaan yang berkelap-kelip itu, aku mulai mendapat pemahaman dengan lingkungan sekitar.
Aku menyadari bahwa diriku tergeletak di suatu tempat, yang dipenuhi tumpukan bermacam-macam buku.
Anehnya, itu bukanlah perpustakaan. Tidak ada rak buku disana, aku ragu akan hal ini namun lantainya basah. Kamar mandi tidak mungkin memiliki jendela, dan ada aroma rempah yang samar disekitar, jadi kurasa ini dapur.
Dan dengan pemikiran seperti itu, aku sampai pada satu titik, 'Terjadi kecelakaan?'
'Tidak, kecelakaan macam apa yang terjadi di dapur...? '
Pemikiran itu mulai berkembang dengan cepat. Inilah poin utamanya, sepertinya terjadi sesuatu pada tubuhku, dan genangan ini, jelas bukan air. Ini hangat, dan agak... lengket.
Aku mulai memahami kronologinya, dan satu persatu variabel mulai dikaitkan satu sama lain.
Namun, tepat ketika aku hampir mencapai pada satu kesimpulan... Sensasi manis berbau besi tiba-tiba tertinggal pada bagian belakang tenggorokanku.
"Blerhf!"
Seteguk darah dimuntahkan, tepat setelah itu kepalaku terasa berdenyut-denyut hingga alisku berkerut erat.
'Argh..!?' Aku mulai mengalami pusing yang begitu hebat, pemikiran tadi tak lagi kupedulikan dan aku tak pernah mencapai pada satu titik kesimpulan yang kuharapkan.
Seolah penyiksaan ini belum berhenti, suara langkah kaki tiba-tiba mendekat.
— Gubrak!
Sebuah pintu didobrak masuk kedalam, dan seseorang masuk kedalam dengan cahaya lampu lentera yang diarahkan tepat kearahku.
Ini membuatku seakan-akan hampir buta akibat hempasan cahaya yang tiba-tiba itu.
Meski begitu, aku benar-benar kehilangan kendali atas tubuhku yang semakin lemas, dan kelopak mataku bahkan tak sedikitpun bereaksi. Pandanganku hampir menjadi putih total.
Pendengaranku sepertinya tak lagi berfungsi. Dalam keadaan linglung, ketika cahaya itu mendekat, siluet wajah terlihat bersama sederetan wajah lain dibelakangnya.
'A-aku akan mati...'
Aku menyadari bahwa waktuku tak lama lagi sampai kesadaranku benar-benar menghilang.
Di detik-detik terakhir, dengan segala yang kupunya aku menatap tepat kearah sosok yang berdiri di paling belakang dengan nafas yang berat.
Ketika pandangan kami bertemu, ia jelas terkejut bukan main. Matanya membelalak, dan air mata mengalir deras di wajahnya.
Dan begitulah... Aku benar-benar berakhir tanpa tahu yang sebenarnya terjadi.
Atau, begitulah yang kupikirkan.
***
"Waaa! Waaa!”
Suara tangisan bayi hampir membangunkan orang-orang di rumah, tepat ketika fajar baru saja menyambut dari ujung timur. Sinar bulan belum sepenuhnya menghilang, namun, ada rona samar dari matahari terbit di cakrawala.
Dan apa yang disadari bayi itu ketika pertama kali membuka matanya adalah seorang gadis kecil berambut kastanye tebal yang mencubit pipinya.
"Milly! Anak nakal! kau tidak bisa begitu saja mencubit pipi tuan muda... Hentikan!"
Seruan itu berasal dari seorang wanita dengan rambut coklat gelap yang diikat sanggul dan menggunakan pakaian pelayan yang agak usang, ia tergesa-gesa berjalan kearah bocah itu, sebelum kemudian menariknya kebelakang. Kepala bocah itu dijentikkan.
"Eh...? Ibu! S-sakit!"
"Diam! Kau tidak tahu betapa mengerikannya nyonya ketika marah... Oh astaga, beruntunglah nyonya tidak disini. Shh~ shh~ anak baik~."
"Tapi, ibu~ dia menggemaskan!"
"Oh, Milly, anakku sayang, ibu tahu. Tapi, kecuali kau tidak ingin stew jamur untuk makan siang kau harus pergi keluar!"
"Tidak...! Baiklah! Aku akan pergi..."
Bocah itu sangat menyukai stew jamur, dirinya tidak bisa membayangkan betapa membosankan makan siangnya tanpa stew jamur. Dengan cepat, bocah ingusan itu bergegas keluar.
"Waaa!"
Wanita itu menggendong sang bayi kecil, disaat itu ia menyadari tubuh bayi kecil jadi agak lebih hangat dari biasanya.
"Tuan muda, sepertinya kau agak demam..."
Setelah menyuapinya sebotol susu—yang belum dihabiskan, tubuhnya diselimuti handuk hangat, dan wanita itu mulai membawanya berkeliling rumah.
Ia mulai melantunkan sajak yang menarik. Meskipun suaranya tidak begitu merdu, namun itu terdengar menyenangkan di telinga sang bayi kecil. Bagaimanapun, bayi kecil yang polos itu mendapati bahwa dirinya menyukai lantunan sajak tersebut, dan perlahan, tangisannya mereda.
'Lagu yang menarik... Tapi bahasa mana ini?'
Pemikiran itu tiba-tiba datang entah darimana.
Sang bayi terdiam seketika.
Ia mulai memperhatikan tangan kecilnya, mengepalkannya, lalu melepaskannya berulang kali.
"Hoeh?"
"Hm? Ada apa tuan muda?" Pelayan wanita menyadari hal ini.
'Dimana ini...?' Pikiran itu lagi-lagi datang.
'Tunggu, a-apa? Dimana... dimana aku? Apa yang terjadi...?'
Konsep bahasa mulai berkembang dengan sangat cepat didalam kepala sang bayi, kata-kata yang samar dan terfragmentasi mulai bermunculan bagai sungai yang mengalir deras.
Pemikiran bayi yang polos itu, tidak, lebih tepatnya ingatan seseorang, mulai tumpang tindih dengan berbagai informasi yang asing. Hal ini menyebabkan kepalanya sakit. Seharusnya ini masih bisa ditahan, namun bagi fisik lemah seorang bayi, rasanya akan menjadi luar biasa sakit.
"Waaa!!"
"Ah? tuan muda, k-kenapa lagi... Shh~."
"Waaaa!!"
"Tuan muda! Apa yang terjadi padamu...?"
Wanita itu panik, dan dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya sembari mengantisipasi tiap gerakan intens yang menyebabkan ketidaknyamanan. Namun, itu terbukti tidak berguna ketika situasinya memburuk
Serat halus kemerahan mulai nampak dimatanya yang jernih, dan vena lembut disekitar kepalanya samar-samar terlihat menonjol. Tangisannya semakin keras.
Tak lama, sesosok pria kumal yang berbadan bongsor muncul dari balik salah satu bingkai pintu. Wajahnya lesu dan matanya berkabut, jelas ia baru saja terbangun.
"Apa yang terjadi...?" Suara yang berat dan serak datang darinya.
"Ah, tuan... Saya tidak tahu apa yang terjadi... Tubuh tuan muda dari awal terasa agak panas! L-lihatlah... Pembuluh darahnya yang lembut dikepalanya itu... Oh astaga..."
"!?"
Pria yang disadari sebagai ayah oleh sang bayi mendekat, tergesa-gesa ia meraih tubuh kecilnya dan dengan hati-hati memeriksa. 'Sejak kapan dia sakit... Kemarin dia baik-baik saja!'
"Linneth! Panggil tabib Norn!"
'S-sakit… Sakit!' Sang bayi masih mendapati dirinya dalam keadaan linglung, ketika 'pemikiran' yang dipenuhi dilema memenuhi kepalanya.
"Baik!" Jawabannya terdengar dari sudut ruangan yang lain.
Wanita itu, Linneth, saat itu sedang terburu-buru mengobrak-abrik dapur, tak lama ketika ia kembali dengan sebotol kecil ramuan herbal, ia mengembalikan bayi kecil ke tempat tidurnya, dan dengan lembut mengompresnya di setiap bagian sensitif bayi dengan handuk hangat.
Linneth bergegas keluar rumah, berlari secepat yang ia bisa menuju ke tabib. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jika tuan muda sakit parah, belum lagi ia skeptis akan penyebabnya, dan ia tidak dapat memikirkan kemungkinan lain selain kejahilan anaknya. Setidaknya, hanya setidaknya, jika memang begitu kebenarannya, maka sebagai pelayan yang setia ia akan menerima apapun hukumannya sebagai ganti kehidupan anaknya.
Disisi lain, pria kumal itu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bukan berarti dirinya tidak bertanggung jawab. Ia sibuk, dan istrinya dibantu Linneth selalu melakukan tugasnya dengan baik dalam hal ini.
Ditengah keputusasaan yang dialaminya, tangan kecil nan lembut menggenggam jarinya yang kasar. Seolah, bayi kecil itu mengisyaratkan kepercayaan pada dirinya. Tubuh pria kumal itu menegang, dan ia mencoba untuk tetap tegar.
"Bertahanlah, Elian."
'Elian... Aku?' Akal yang berkembang drastis didalam kepala sang bayi mengidentifikasi "Elian" sebagai namanya.
Dirinya, ditengah rasa sakit yang perlahan-lahan mereda mulai memahami apa yang terjadi.
Kata-kata dan bahasa masih terfragmentasi didalam kepalanya, namun dengan usahanya dalam mencari jawaban dengan mengaitkan berbagai kemungkinan, ini membimbingnya pada satu kesimpulan : 'aku bereinkarnasi?'
Itu, adalah kesimpulan pertama yang terpikir olehnya setelah berusaha keras mencari jawaban.
15 menit berlalu, pikiran sang bayi hampir sepenuhnya kosong dan berkabut karena kelelahan. Namun lagi-lagi akalnya yang sudah dewasa tidak membiarkannya berhenti memikirkan satu kalimat saja.
"Neil! Biarkan aku melihat kondisinya." Tiba-tiba, seorang wanita bergegas masuk dari luar pintu rumah, mengikuti kedatangannya, Linneth muncul dibelakangnya.
"Norn.. Tolonglah."
Norn, wanita berambut hitam keriting sebahu yang modis, mengeluarkan minyak serta bubuk herbal yang telah ditumbuk.
Wanita tabib ini, Norn, telah berpengalaman selama beberapa tahun. Ia dibantu Linneth dengan cekatan memeriksa sembari merawat si bayi kecil Elian.
Hanya butuh waktu beberapa menit sampai Elian mendapatkan kembali ketenangannya dan tertidur lelap.
"Apa yang terjadi...?" Neil, yang hanya memperhatikan sedari awal tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
Norn menggosok pelipisnya. "Aku juga tidak tahu pasti. Kurasa itu bukan sekedar demam biasa, suhu tubuhnya jelas tidak normal. Aku hanya meracik somnacil untuk penenang. Anehnya, demam itu tiba-tiba mereda."
Minyak somnacil adalah racikan herbal penenang tradisional yang populer di ibukota Ashmere, ini telah dimodifikasi dalam bentuk sirup ringan yang asam dan menyegarkan, sangat ampuh sebagai penenang. Hanya saja, tentu efeknya tidak sekuat itu untuk meredakan demam parah dalam sekejap.
"Tentu saja, itu bukan berarti tidak pernah. Aku tahu beberapa kasus serupa di masa lalu, kebanyakan adalah remaja, dan sebagian kecilnya adalah bayi yang baru terlahir, dan itu sangat—sangat jarang.” Norn menekankan kata tertentu, menunjuk keseriusan.
“Setelah perawatan yang sesuai, ketika mereka tertidur lelap, demam parah akan mereda begitu saja. Dan ketika mereka bangun keesokan paginya, mereka normal. Seolah-olah demam yang mereka derita itu belum pernah terjadi sebelumnya." Pada titik ini Norn melirik Neil hanya untuk melihat raut wajahnya yang penuh kekhawatiran.
"Intinya, putramu seharusnya baik-baik saja, aku hanya perlu mengawasinya lebih lama untuk berjaga-jaga."
Segera, raut wajah Neil menjadi jauh lebih cerah, ia menghela nafas lega. Neil mengambil sikap menunduk, "Sungguh, terimakasih.”
"Haha, ini bukan hal besar."
Setelah itu, keduanya memutuskan untuk menjaga Elian hingga beberapa jam berikutnya, sampai Nyonya rumah tiba di siang hari, dia langsung dikejutkan dengan hal ini ketika menerima penjelasan dari Tabib Norn tentang penyakit yang diderita anaknya.
Beruntung, tidak ada siapapun yang menderita lebih jauh.
Hari itu, Elian Brontë telah terlahir di dunia ini sebagai karakter biasa.
Tidak ada yang mampu mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan dengan pasti. Namun bagaimanapun, waktu akan terus berjalan. Dan konflik adalah bagian dari kehidupan yang tak dapat kamu tolak.
Mulai detik ini, bayang-bayang masa lalu akan bertumpang tindih dengan ekspektasi masa depan yang tidak pasti.
Dan Elian, mungkin tidak akan menyadari hal ini sampai waktu yang telah ditentukan tiba.