Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

di bawah bintang

Alfian_Riski_9188
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.1k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - bab 1: Pertemuan di Kafe Malam

Jakarta, kota yang tak pernah tidur. Di salah satu sudut kota yang gemerlap, terdapat sebuah kafe kecil dengan lampu-lampu temaram yang menciptakan suasana hangat. Aroma kopi yang menggoda bercampur dengan alunan musik jazz lembut, menciptakan atmosfer yang menenangkan. Para pelanggan sibuk dengan percakapan masing-masing, namun di salah satu sudut kafe, seorang pria tampak tenggelam dalam dunianya sendiri.

Arin Wijaya, pria berusia 25 tahun, dikenal sebagai eksekutif muda yang sukses. Ia memiliki segalanya—karier cemerlang, kekayaan, dan kehidupan sosial yang luas. Namun, di balik semua pencapaiannya, ada kehampaan yang tak bisa ia jelaskan. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, ia datang ke kafe ini, mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa. Mungkin hanya ingin menikmati malam yang sunyi, atau mungkin berharap menemukan sesuatu yang mengisi ruang kosong dalam hatinya.

Saat ia menyesap kopinya, matanya tertuju pada seorang wanita di balik meja barista. Ayla Putri, seorang wanita berusia 22 tahun dengan rambut panjang bergelombang, tampak sibuk meracik pesanan pelanggan. Tangannya yang lentik bergerak lincah, menciptakan seni dalam setiap cangkir kopi yang ia buat. Sesekali, ia tersenyum ramah kepada pelanggan, dan senyum itu cukup untuk membuat hati siapa pun terasa lebih hangat.

Ketika Ayla berbalik untuk menyerahkan kopi kepada pelanggannya, pandangannya bertemu dengan mata Arin. Sesaat, waktu terasa berhenti. Ada sesuatu dalam sorot mata Ayla yang membuat Arin terpaku. Bukan sekadar kecantikan, tetapi ada kedalaman yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Arin mengamati Ayla lebih lama dari yang seharusnya. Ada kehangatan dalam gerakannya, keanggunan dalam cara ia memperlakukan pelanggan. Ia tampak seperti seseorang yang menikmati pekerjaannya, meskipun Arin bisa melihat kelelahan yang terselip di balik senyumnya.

Tak lama, Ayla menghampirinya dengan cangkir kopi yang dipesan Arin. "Silakan, ini kopinya. Saya tambahkan sedikit hiasan di atasnya, semoga suka," ucapnya dengan suara lembut.

Arin menatap latte art berbentuk bulan sabit di atas kopinya dan tersenyum. "Kamu punya bakat seni yang luar biasa."

Ayla terkekeh kecil. "Saya memang suka menggambar. Sayangnya, saat ini hanya bisa dituangkan di atas kopi."

"Setiap seni punya medianya sendiri," kata Arin, menatap hiasan di kopinya. "Dan kopi ini bisa jadi salah satu cara terbaik untuk mengekspresikan diri."

Ayla mengangguk, lalu menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Kau sering ke sini, kan?"

Arin mengangkat bahu. "Cukup sering. Aku suka suasana tempat ini, tenang dan nyaman."

"Dan kopinya?"

"Tentu saja," jawab Arin sambil tersenyum. "Aku bukan ahli kopi, tapi aku tahu mana yang enak."

Ayla tertawa kecil. "Kalau begitu, aku harus lebih hati-hati saat membuat kopi untukmu,walaupun aku Cuma pembantu baru di sini"

Percakapan mereka pun mengalir dengan begitu alami. Dari obrolan ringan tentang kopi hingga topik lebih dalam tentang impian dan kehidupan. Arin merasa nyaman, seolah sudah mengenal Ayla sejak lama. Ia menyadari, sudah lama ia tidak merasakan koneksi seperti ini dengan seseorang.

Mereka berbicara tentang kehidupan di Jakarta, kesibukan masing-masing, dan bagaimana mereka menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota. Ayla bercerita tentang mimpinya menjadi seniman penuh waktu, tentang bagaimana ia ingin suatu hari nanti memiliki galeri sendiri.

"Kenapa tidak mengejar mimpimu sekarang?" tanya Arin dengan nada penasaran.

Ayla terdiam sejenak. Ia menundukkan pandangannya ke cangkir kopi di tangannya. "Ada banyak hal yang membuatku ragu," katanya akhirnya. "Tidak semua impian bisa diwujudkan semudah itu."

Arin ingin bertanya lebih jauh, tapi ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang Ayla sembunyikan. Sesuatu yang masih terlalu pribadi untuk dibagikan.

Namun, ketika malam semakin larut dan Arin merasa ingin melangkah lebih jauh untuk mengenalnya, Ayla tiba-tiba menarik diri. Senyumnya memudar, dan sorot matanya berubah lebih dingin. Seakan ada dinding tak kasat mata yang ia bangun seketika."Aku hanya ingin mengenalmu lebih baik," ujar Arin

 Ayla bangkit dan kembali ke belakang meja barista, meninggalkan Arin dengan banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak ingin menyerah begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Ayla yang ingin ia pahami lebih dalam, sesuatu yang ingin ia temukan di balik senyum indahnya itu.

Arin menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap cangkir kopinya yang kini sudah dingin. Ia belum pernah bertemu seseorang seperti Ayla. Wanita itu penuh misteri, dan Arin merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentangnya.

Malam itu, Arin meninggalkan kafe dengan perasaan yang berbeda. Biasanya, ia hanya menikmati kopinya dan pergi, tapi kali ini, ia membawa serta rasa penasaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan tanpa ia sadari, langkahnya di malam Jakarta yang gemerlap terasa lebih ringan daripada sebelumnya.

Pagi datang dengan hiruk-pikuk khas Jakarta. Deru klakson kendaraan bersahutan di sepanjang jalan Sudirman, lautan manusia berjalan cepat di trotoar, berpacu dengan waktu menuju kantor masing-masing. Langit masih tertutup sedikit mendung, seolah menggambarkan suasana hati seseorang yang sedang dipenuhi kebingungan.

Di lantai 25 sebuah gedung pencakar langit, Arin Wijaya duduk di balik meja kerjanya yang luas dan tertata rapi. Layar laptopnya menyala, menampilkan deretan angka dan grafik laporan keuangan yang harus ia periksa. Namun, alih-alih membacanya, ia hanya menatap kosong, tanpa benar-benar memahami satu pun kata yang tertera di sana.

Tangannya menggenggam pena, mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni dengan irama yang tak beraturan. Sebuah kebiasaan yang hanya muncul ketika pikirannya sedang kacau.

Ayla.

Nama itu berulang kali muncul di benaknya sejak pertemuan mereka tadi malam di kafe. Wajahnya, senyum lembutnya, bahkan suara pelan dan tenangnya masih terekam jelas dalam pikirannya.

Bukan hanya sekadar pesona seorang barista yang ramah, tapi ada sesuatu dalam sorot mata Ayla yang membuat Arin merasa ingin tahu lebih dalam. Mata itu menyimpan sesuatu—sebuah rahasia, sebuah luka.

"Kenapa aku terus memikirkannya?" gumamnya pelan, lalu menghela napas panjang.

Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir bayangan itu. "Fokus, Arin. Kau punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan," katanya kepada diri sendiri.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Sekretaris pribadinya, Rina, masuk dengan langkah ragu, membawa beberapa dokumen di tangannya.

"Pak Arin, ini dokumen yang perlu Anda tandatangani sebelum meeting siang nanti," ujar Rina sambil meletakkan map berisi kertas-kertas di atas meja.

Arin menoleh dan mengangguk singkat, berusaha mengembalikan fokusnya. "Terima kasih, Rina. Ada hal lain?"

Rina, yang sudah cukup lama bekerja dengannya, memperhatikan ekspresi atasannya dengan saksama. Ia mengenal Arin sebagai pria yang selalu fokus dan tegas dalam pekerjaannya. Namun, pagi ini… ada sesuatu yang berbeda.

"Maaf sebelumnya, Pak, tapi Anda terlihat tidak seperti biasanya," ujar Rina hati-hati. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiran Anda?"

Arin tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan pikirannya. "Kau pikir begitu?"

Rina mengangguk yakin. "Biasanya Anda langsung membaca laporan ini dan mencatat poin-poin penting. Tapi sejak tadi pagi, Anda hanya menatap layar tanpa benar-benar membaca. Apakah ada masalah dengan proyek yang sedang berjalan?"

Arin tertawa kecil, lalu menggeleng. "Bukan proyek. Hanya… sesuatu yang lain."

Rina menaikkan satu alis, lalu tersenyum penuh arti. "Sesuatu… atau seseorang?"

Arin terdiam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Sepertinya seseorang."

Seketika, ekspresi Rina berubah menjadi penuh rasa ingin tahu. Ia melangkah lebih dekat, nyaris lupa bahwa yang ia ajak bicara adalah bosnya sendiri.

"Wah, ini pertama kalinya saya melihat Pak Arin seperti ini!" ujar Rina, tertawa kecil. "Biasanya Anda selalu fokus pada pekerjaan, bahkan jarang terlihat tertarik pada seseorang."

Arin mengusap tengkuknya, sedikit canggung. "Ya, aku juga tidak menyangka."

"Siapa dia, kalau boleh tahu?" tanya Rina sambil bersandar di meja, menatap Arin penuh rasa penasaran.

Arin menatap jendela besar di belakangnya, melihat gedung-gedung tinggi yang berjajar rapi di bawah langit Jakarta. "Seorang barista di kafe tempat aku biasa minum kopi malam."

Rina membelalakkan matanya. "Barista? Wah, ini di luar dugaan! Saya kira Anda akan tertarik pada rekan bisnis atau seseorang dari kalangan eksekutif."

Arin tersenyum samar. "Ya, aku sendiri tak mengerti. Tapi dia… berbeda."

"Apa yang membuatnya berbeda?"

Arin terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu pasti. Tapi saat pertama kali melihatnya, aku merasa ada sesuatu yang menarik. Dia ramah, pintar, dan ada kehangatan dalam caranya berbicara. Tapi di saat yang sama, aku merasa ada dinding yang ia bangun. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang tidak ingin ia tunjukkan."

Rina menyilangkan tangan di dadanya, lalu mengangguk paham. "Ah, jadi dia tipe yang sulit didekati?"

"Bukan sulit didekati… lebih seperti seseorang yang sedang melindungi dirinya sendiri."

Rina berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, mungkin Anda harus menemuinya lagi."

Arin menatap Rina dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Menurutmu begitu?"

"Tentu saja," jawab Rina tanpa ragu. "Kalau seseorang terus muncul dalam pikiran Anda, itu berarti dia penting. Jangan abaikan perasaan itu, Pak."

Arin terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Ya… aku memang ingin menemuinya lagi."

Rina tertawa kecil. "Kalau begitu, jangan ragu. Siapa tahu, barista itu memang seseorang yang seharusnya Anda kenal lebih dalam."

Setelah Rina keluar dari ruangan, Arin kembali menatap laptopnya. Ia mencoba membaca kembali laporan yang tertunda, tapi kini, pikirannya sudah memiliki satu keputusan yang jelas.

Malam ini, ia akan kembali ke kafe itu.

Bukan hanya untuk kopi. Tapi untuk Ayla.