Angin sepoi-sepoi menyapu lembah kecil tempat Duan berdiri, membawa aroma tanah basah dan sedikit bau amis dari tubuh serigala berduri yang kini tergeletak tak bernyawa. Kabut di sekitarnya perlahan menipis, memperlihatkan pemandangan yang lebih luas: tebing-tebing rendah yang ditumbuhi lumut, aliran sungai kecil yang berkilau di kejauhan, dan retakan aneh di langit yang tampak seperti luka terbuka, berpendar dengan cahaya ungu samar. Duan masih memandangi layar biru di depannya, yang kini menampilkan poin barunya setelah misi pertama selesai. Tapi pikirannya terpecah—antara kagum pada dunia baru ini dan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya.
Xiao Mei, gadis kecil yang baru saja ia selamatkan, melompat-lompat di dekatnya, seolah kejadian tadi hanyalah permainan seru. "Kak Duan, tadi itu keren banget! Pukulanmu bikin bayangan hitam, kayak di cerita-certa yang dibenci Kak Lian!" katanya sambil terkikik, tangannya menirukan gerakan Duan dengan semangat berlebihan. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang, dan senyum lebar di wajahnya membuat Duan sulit percaya bahwa gadis ini baru saja hampir jadi santapan serigala.
Lian Fei, pria berjubah hijau tua yang baru saja menghabisi serigala kedua, berdiri dengan tangan disilangkan di dada. Matanya yang tajam menatap Duan, penuh penilaian. "Keren? Hmph. Kalau aku nggak datang, kalian berdua udah jadi makanan monster itu. Kau kurang sigap, dan dia—" ia melirik Xiao Mei dengan ekspresi jengkel, "—terlalu ceroboh. Kombinasi yang buruk."
Duan mengerutkan kening, merasa sedikit tersinggung. "Kurang sigap? Aku baru bangun di dunia ini lima menit yang lalu, dan tiba-tiba diserang monster! Apa aku harus langsung jadi jagoan kayak kamu?" Nada suaranya sedikit membela diri, tapi ia tahu Lian Fei tidak sepenuhnya salah. Pukulan Bayangannya tadi memang terasa kaku, seperti anak kecil yang baru belajar memukul bola.
Lian Fei mendengus, tapi ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya—mungkin tanda ia sedikit terhibur. "Lima menit atau lima tahun, Tianxu nggak peduli. Di sini, kau bertahan atau mati. Dan kau—" ia menunjuk Duan dengan dagu, "—bahkan nggak punya lingkaran. Apa kau cuma orang biasa yang tersesat?"
"Lingkaran?" Duan mengulang kata itu, bingung. Ia melirik punggung Lian Fei, dan baru sekarang ia memperhatikan dua lingkaran hijau samar yang berputar perlahan di sana, seperti roda energi yang berdengung pelan. Cahayanya lembut tapi terasa hidup, seolah menyatu dengan tubuh pria itu. "Itu apa? Tanda kekuatan atau semacam tato keren?"
Xiao Mei melompat mendekat, matanya berbinar penuh semangat. "Bukan tato, Kak! Itu lingkaran kultivasi! Setiap pejuang di Tianxu punya, tergantung tingkatannya. Kak Lian punya dua lingkaran hijau, artinya dia udah di tingkat Dasar! Aku cuma punya satu lingkaran putih, soalnya aku masih Pemula." Ia memutar tubuhnya, memperlihatkan lingkaran putih kecil di punggungnya yang bersinar samar. "Keren, kan?"
Duan mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi itu. "Jadi… kayak level gitu? Dan aku nggak punya, berarti aku nol besar?" Ia memeriksa punggungnya sendiri dengan canggung, memutar kepala hingga lehernya terasa kaku, tapi tentu saja ia tidak bisa melihat apa-apa. Xiao Mei terkikik melihat usahanya, sementara Lian Fei hanya menggelengkan kepala.
"Bukan nol besar, cuma belum mulai," kata Xiao Mei, mencoba menghibur. "Kakak pasti bisa kultivasi juga! Semua orang di Tianxu bisa, asal latihan. Oh ya, Kak Duan dari mana? Kok kayak nggak tahu apa-apa?"
Pertanyaan itu membuat Duan terdiam sejenak. Haruskah ia bilang yang sebenarnya? Bahwa ia dari dunia lain, tempat orang bertarung cuma di game dan kultivasi cuma ada di novel? Tapi sebelum ia sempat menjawab, layar birunya berkedip lagi, menampilkan pesan baru:
[Peringatan: Energi anomali terdeteksi di dekatnya. Saran: Tinggalkan area ini.]
"Energi anomali?" Duan bergumam, matanya menyipit ke arah layar. Ia menoleh ke langit, ke retakan ungu yang tampak semakin bergetar. "Itu… apa maksudnya retakan itu?"
Lian Fei mengikuti pandangan Duan, dan ekspresinya langsung berubah tegang. "Retakan luar angkasa," katanya, suaranya rendah. "Kalian berdua, ikut aku. Sekarang." Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan mulai berjalan cepat menuju arah sungai di kejauhan. Xiao Mei buru-buru mengikuti, menarik lengan Duan dengan semangat.
"Ayo, Kak! Kalau retakan membesar, bisa muncul monster yang lebih gede dari tadi! Aku nggak mau jadi camilan lagi!" katanya, setengah bercanda tapi dengan nada sedikit cemas.
Duan mengangguk, meski kakinya masih terasa berat. Ia mengikuti langkah mereka, mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang semakin aneh. Hutan di sekitarnya mulai terasa lebih hidup—suara burung yang tiba-tiba berhenti, angin yang membawa getaran aneh, dan kabut yang seolah menari lebih cepat. Layar birunya tetap mengambang di sampingnya, tapi ia memilih mengabaikannya untuk saat ini. Sistem itu mungkin berguna, tapi ia mulai merasa bahwa dunia ini lebih dari sekadar statistik dan skill.
Mereka berjalan selama beberapa menit, melewati semak-semak berduri dan akar-akar pohon yang menjalar seperti jaring. Sungai kecil yang tadi terlihat dari kejauhan kini semakin dekat, airnya mengalir jernih dengan suara gemericik yang menenangkan. Di tepi sungai, ada sebuah jembatan kayu sederhana, sedikit reyot tapi masih kokoh. Lian Fei berhenti di sana, memeriksa sekitar dengan tatapan waspada.
"Retakan itu nggak biasa," katanya, lebih kepada diri sendiri daripada Duan dan Xiao Mei. "Biasanya nggak muncul di Hutan Kabut. Harusnya cuma ada di daerah utara, dekat dungeon besar."
"Dungeon?" Duan bertanya, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Maksudnya… kayak gua penuh monster dan harta karun?"
Lian Fei meliriknya, alisnya terangkat. "Kau beneran nggak tahu apa-apa, ya? Dungeon itu retakan yang udah stabil, tempat monster berkumpul. Kadang ada kristal energi atau senjata langka, tapi kebanyakan cuma kematian buat yang nggak siap." Ia menatap Duan lebih lama, seolah mencoba membaca sesuatu. "Kau bilang kau baru bangun di sini. Dari mana asalnya?"
Duan ragu sejenak, tapi akhirnya menghela napas. "Aku… dari tempat yang nggak ada retakan atau kultivasi. Dunia yang biasa aja. Tiba-tiba aku bangun di hutan ini, dan ada layar aneh yang ngomong sama aku." Ia menunjuk layar biru yang masih mengambang, meski ia tahu mereka mungkin tidak bisa melihatnya.
Xiao Mei memiringkan kepala, matanya membesar. "Layar aneh? Kayak apa? Apa itu harta karun dari leluhur? Atau jangan-jangan Kak Duan dari dunia lain beneran?!" Ia melompat kecil, jelas terpikat oleh ide itu.
Lian Fei tidak langsung menjawab. Ia menatap Duan dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran antara skeptis dan rasa ingin tahu. "Dunia lain, ya? Aku pernah dengar cerita tentang orang-orang yang muncul tiba-tiba, tapi kebanyakan cuma omong kosong dari pedagang keliling. Kalau bener, kau beruntung masih hidup sampe sekarang."
"Beruntung atau apes, sih?" Duan tersenyum kecut. "Aku nggak minta dateng ke sini, tapi kayaknya aku nggak punya pilihan selain ikut alur."
Lian Fei mengangguk pelan, lalu berbalik ke arah jembatan. "Ikut aku ke desa. Di sana kau bisa belajar dasar-dasar kultivasi, biar nggak jadi beban. Xiao Mei, awasi dia. Aku nggak mau repot jagain orang yang lamban."
"Hei, aku nggak lamban!" protes Duan, tapi Xiao Mei sudah menarik lengannya lagi, terkikik penuh semangat.
"Ayo, Kak Duan! Desa Penjaga nggak jauh dari sini. Di sana ada makanan enak, dan aku bisa ceritain lebih banyak tentang Tianxu! Oh ya, Kak Lian, aku boleh minta daging serigala tadi nggak? Buat sup!"
Lian Fei mendengus, tapi ada sedikit kelembutan di matanya saat menjawab, "Ambil sendiri kalau berani. Aku nggak bawa daging busuk buat kau masak."
Duan tersenyum kecil, merasa sedikit lega dengan dinamika aneh di antara mereka. Langkahnya mengikuti Xiao Mei yang ceria dan Lian Fei yang dingin, menuju jembatan kayu yang membentang di atas sungai. Di langit, retakan ungu itu masih bergetar, seolah mengawasi mereka dari kejauhan. Tianxu, dunia baru yang penuh misteri, perlahan membuka pintunya untuk Duan—dan ia tahu, entah siap atau tidak, ia harus melangkah masuk.