PROLOG.
RUSA YANG TERLUKA
Seekor rusa tak pernah memilih untuk terluka.
Tapi ketika panah menancap di rusuknya, ia belajar:
Lari adalah satu-satunya cara bertahan.
Bukan dari hutan, bukan dari pemburu—
melainkan dari kawanannya sendiri,
yang diam-diam meracuni sungainya.
Mereka menyebutnya perjodohan.
Kata yang terdengar manis, mengalir seperti madu di lidah,
tapi bagi Mila, ini tak lebih dari pemakaman saat dia masih
bernapas.
Leni datang dengan mobil hitam berkilau,
seperti kereta kencana dalam dongeng masa kecilnya.
"Dia PNS," bisiknya lembut, "kelak dia akan jadi
gurumu."
Rumahnya di kota seperti istana, dan kau akan menjadi
ratunya."
Dan Mila percaya.
Siapa yang tak percaya pada senyum sepupu yang datang dengan dus
berisi mi instan dan baju bekas Singapura?
Siapa yang tak luluh pada janji-janji yang berkilauan?
Tapi malam pertama bukanlah pelukan, bukan cinta yang hangat.
Yang ada hanya kesunyian, tubuhnya teronggok di kursi mobil,
deru mesin mobil mengantarnya ke rumah "mewah",
di sana dia terkurung laksana masuk ke "peti mati berlapis
emas"
serpihan mimpi berhamburan di sepanjang jalan.
Di dalam kamar yang lebih mirip gua, Mila meraba lukanya.
Panah itu bernama "pernikahan"
Anak panah beracunnya berbunyi, "Ini demi masa depanmu."
Ia menatap cermin retak di sudut ruangan,
bayangannya sendiri berbisik kepadanya:
"Aku rusa yang tertipu."
Mereka menjanjikanku surga, tapi yang kudapat hanya penipuan dan
penistaan.
Tapi tandukku telah tumbuh menjadi pedang,
dan darahku—akan kujadikan tinta
untuk menulis ulang dongeng ini.
"Luka tidak pernah benar-benar sembuh.
Ia hanya belajar berhenti berdarah.
Dan sekalipun sembuh, bekasnya akan tetap ada, mengiringi langkah
seumur hidup."
TTD MILA
-----
Di
sebuah desa yang sunyi, di antara gemercik sungai dan lekuk hijau perbukitan,
hidup seorang gadis bernama Mila. Ia baru berusia tujuh belas tahun, usianya
seharusnya dipenuhi impian dan kebebasan. Namun, di tanah kelahirannya, takdir
seorang perempuan bukanlah miliknya sendiri. Ia diikat oleh adat yang mengakar
ratusan tahun, di mana perjodohan bukanlah pilihan, melainkan titah.
Orang-orang
menyebutnya tradisi, menjunjungnya sebagai kehormatan, dan mengajarkannya
sebagai kewajiban. Tapi di balik jubah suci adat, tersembunyi sesuatu yang
lebih dangkal: keinginan akan status, kilauan emas, dan gengsi di mata
masyarakat. Tradisi, bagi mereka, hanyalah kedok. Bukan untuk menjaga nilai
luhur, melainkan untuk memuaskan dahaga akan kemegahan duniawi.
Mila,
yang baru saja menapaki kebahagiaan kelulusan MTsN, harus menghadapi kenyataan
pahit. Harapan dan cita-citanya dicabut begitu saja, diganti dengan kilauan
perhiasan dan pesta pernikahan yang bukan untuknya, melainkan untuk orang
tuanya. Demi menjaga kehormatan keluarga, ia diserahkan kepada seorang lelaki
yang bahkan tak dikenalnya. Ia bukan dipertemukan dengan cinta, tetapi
dikorbankan untuk harga diri yang dibangun di atas ilusi.
Namun,
kemewahan yang dijanjikan itu ternyata hanya bayangan kosong. Suaminya, yang
dipuja sebagai pria terhormat, hanyalah "Lelaki Semu" yang menyimpan
rahasia busuk. Ia bukan pelindung, melainkan penjaga sangkar yang mengurung
Mila dalam dusta dan kesengsaraan. Lebih dari itu, lelaki itu berbagi kasih
bukan dengan istrinya, tetapi dengan lelaki lain.
Sementara
Mila dikurung dalam kepalsuan, orang-orang di sekitarnya masih membanggakan
pernikahan ini sebagai pencapaian keluarga. Mereka menyebutnya anugerah,
rezeki, dan takdir yang harus disyukuri. Tak ada yang peduli pada isak
tangisnya di malam hari, pada dinding lembap yang menyerap ratapannya. Baginya,
cinta yang dijanjikan hanya mitos. Dan 'tradisi suci' yang mereka banggakan,
kini terbukti tak lebih dari belenggu yang dibuat untuk menekan mereka yang
lemah.
Tetapi,
di balik setiap luka, ada nyala yang tak bisa dipadamkan. Mila menyadari bahwa
kepasrahan adalah racun yang perlahan membunuhnya. Maka ia memutuskan untuk
bangkit. Ia tidak akan menjadi korban yang diam. Ia akan membalas. Bukan demi
dendam semata, tetapi demi kebebasan yang direnggut darinya.
Di
sisi lain, Leni—kakaknya yang merasa diri sebagai penyelamat—tak sadar bahwa
perjodohan yang ia rekayasa untuk adiknya Kemal, dan 'sahabat kental' adiknya
bernama Suman, justru akan menjadi kehancurannya sendiri. Leni mengira bahwa
memisahkan mereka berarti "menyelamatkan" mereka dari hubungan yang menurutnya
menyimpang. Namun, di balik kepeduliannya tersembunyi ketakutan yang lebih
dalam—ketakutan akan "cinta diluar norma" yang tak bisa ia
kendalikan.
Ketika
semuanya bertubrukan, yang tersisa hanyalah kehampaan. Mila, yang terlukai oleh
kebohongan dan pengkhianatan, harus merangkai ulang hidupnya dari serpihan yang
berserakan. Sementara Leni, rumah tangganya porak-poranda karena rencana yang
ia susun sendiri, hanya bisa bertanya dalam diam:
"Apakah
ini hukuman atas niat baikku? Atau aku yang terlalu buta untuk melihat kehendak
semesta?"
Ini
bukan sekadar kisah pernikahan paksa, kehilangan kewaspadaan karena terayu
kilau kemapanan atau balas dendam.
Ini
tentang bagaimana sistem yang dipuja sebagai warisan luhur ternyata bisa
menjadi alat untuk menindas. Tentang bagaimana 'kehormatan keluarga' sering
kali hanya alasan untuk mengorbankan anak demi harga diri orang tua. Tentang
bagaimana mereka yang paling lemah justru dipaksa menanggung beban agar orang
lain bisa berjalan dengan kepala tegak.
Mila
mungkin tak lagi polos, tapi ia ingin kalian—yang masih punya pilihan—belajar
dari lukanya.
Sebelum
tradisi menggerus mimpi, sebelum diam membunuh suara, dan sebelum kita berubah
menjadi monster yang sama seperti mereka yang dulu melukai.