Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Amara Bocil Bar-bar

🇮🇩Nur_Qolbi_Syafira
--
chs / week
--
NOT RATINGS
763
Views
Synopsis
**Kisah Romantis sejagat Raya** "Aku nggak cemburu kok"! Aku nggak suka aja Abang deketin cewek lain". "Aleh Cil, nggak cemburu tapi Manyun Mulu"! Rendi seorang anak yatim piatu tinggal dirumah tantenya semenjak mendudukiku bangku SMA,harus menghadapi kenyataan dan tragedi dalam hidupnya. Dengan demikian pada akhirnya sebuah wasiat harus membawanya pada sebuah perjodohan dengan anak tantenya sendiri.Dia adalah Amara gadis manja yang bar-bar,yang masih sibuk dalam dunia kekanakannya. Bagaimana kisah selengkapnya? Ceritanya bertahap dan seunik mungkin.
VIEW MORE

Chapter 1 - WASIAT

Rendi menatap kertas di tangannya dengan mata kosong. Tulisan di sana jelas, tapi otaknya menolak mencerna isi wasiat itu.

"Rendi dan Amara harus menikah setelah mereka lulus SMA. Ini permintaan terakhir orang tua Rendi."

Tante Mirna, Mamanya Amara, duduk di depannya dengan ekspresi penuh arti. "Kamu tahu, Nak, Ibumu dan ayahmu menitipkan kamu padaku bukan cuma untuk membesarkanmu, tapi juga untuk memastikan kamu punya masa depan. Dan masa depan itu... ada di samping Amara."

Rendi menghela napas. Bukan soal dia tidak ingin menikah, tapi… Amara? Bocil bar-bar yang setiap hari main game sampai subuh, marah-marah kalau kalah, dan tidak bisa lepas dari boneka bebek kesayangannya?

"Rendi, kamu harus menikahi Amara," ulang Tante Mirna tegas.

Seolah dipanggil namanya, Amara muncul dari dalam rumah dengan piyama bergambar unicorn, rambut berantakan, dan satu tangan masih membawa sebungkus keripik. "Apaan sih ribut-ribut? Aku lagi push rank, woy!"

Rendi menatap gadis itu, lalu kembali ke wasiat di tangannya. Hidupnya resmi berantakan.

Rendi masih menatap Amara dengan ekspresi kosong. Bocil ini? Masa depannya?

Sementara itu, Amara malah sibuk mencari colokan untuk ngecas HP-nya. "Bentar, bentar... Mana colokan, woy? Baterai sekarat nih!"

Tante Mirna menghela napas panjang. "Amara, duduk sebentar. Ini soal penting."

Amara mendengus, tapi akhirnya duduk juga di sofa. Dia mengambil segenggam keripik, mengunyahnya dengan santai, lalu melirik Rendi yang masih diam membatu. "Kenapa dia bengong kayak habis lihat setan?"

Rendi akhirnya bersuara, suaranya datar. "Karena aku memang baru saja melihat setan."

Amara mengernyit. "Hah? Mana?"

"Di depanku," jawab Rendi, matanya tak lepas dari gadis itu.

Amara langsung melempar bantal ke arah Rendi. "Kurang ajar!"

Tante Mirna menutup wajahnya, antara frustasi dan pasrah. "Astaga… Ini baru awal, sudah begini. Amara, dengar baik-baik. Kamu dan Rendi… harus menikah."

Suasana seketika sunyi.

Amara berhenti mengunyah. Rendi masih mematung. Dan dalam hitungan detik, Amara langsung tertawa terbahak-bahak.

"Pfft— HAH? Aku sama dia? Nikah? HAHAHA!"

Tante Mirna hanya menatapnya dengan datar. "Mama serius, Amara."

Amara menoleh ke ibunya dengan ekspresi syok. "SERIOUSLY?!"

"Ya."

Tiba-tiba ekspresi Amara berubah, dari terkejut menjadi penuh perhitungan. Dia menatap Rendi dengan tajam, lalu mengangguk-angguk seperti sedang menilai sesuatu. "Hmm… Kalau dipikir-pikir, dia lumayan sih. Gak jelek, pintar, rajin masak, dan… yah, lumayan bisa diandalkan."

Rendi langsung menyipitkan mata. "Aku ini manusia, bukan barang diskon yang lagi kamu pertimbangkan mau beli atau enggak."

"Tapi kan tetep aja, aku gak mau!" Amara bersedekap. "Aku masih bocil! Aku masih pengen main game, ngemil, dan nonton anime sampai pagi! Gak siap jadi istri orang!"

Tante Mirna menghela napas. "Itu sebabnya kalian gak harus menikah sekarang. Kalian baru menikah setelah lulus SMA."

"Tetap aja!" Amara bangkit dari sofa, menunjuk Rendi dengan penuh drama. "Aku gak mau nikah sama bocah serius yang hidupnya cuma sekolah dan kerja sambilan!"

Rendi yang duduk dikelas 3 SMA dan Amara 1SMA.

Rendi memijat pelipisnya. Dia juga gak mau, tapi melihat Amara heboh seperti ini, rasanya dia yang lebih dewasa.

Tante Mirna akhirnya berkata dengan tegas, "Dengar, Amara. Wasiat ini bukan sesuatu yang bisa kita abaikan. Ini adalah permintaan terakhir almarhum ayah dan ibu Rendi. Dan sebagai ibu, aku ingin memastikan kamu berdua mendapatkan masa depan terbaik."

Amara cemberut. "Tapi, Ma..."

"Keputusan sudah dibuat," potong Tante Mirna. "Kalian punya waktu sampai lulus SMA untuk mengenal satu sama lain. Tidak ada paksaan untuk jatuh cinta, tapi pernikahan ini akan terjadi."

Rendi menatap Amara, dan Amara menatap Rendi. Tidak ada yang berbicara.

Amara masih cemberut di sofa, sedangkan Rendi hanya menghela napas panjang. Situasi ini terlalu absurd untuknya. Dia datang ke ruang tamu pagi ini hanya untuk ngobrol santai dengan Tante Mirna, tapi malah dapat plot twist perjodohan.

"Ma, ini serius banget, sih?" Amara akhirnya bersuara. "Kayak di sinetron-sinetron!"

Tante Mirna mengangguk. "Iya, dan ini bukan drama, ini kenyataan."

Amara merosot di sofa, menutup wajah dengan kedua tangan. "Ya ampun… aku masih mau jadi bocil barbar, bebas tanpa beban! Kenapa harus nikah sama cowok serius begini?"

Rendi berdehem. "Aku juga gak pengen."

Amara langsung menoleh dan melotot. "Loh, loh, loh! Aku ini cewek premium, tahu?! Banyak yang ngantri, ngerti gak?"

Rendi menatapnya malas. "Ngapain ngantri? Yang ada mereka lari kalau lihat kelakuanmu."

"Kurang ajar!" Amara lagi-lagi melempar bantal ke arah Rendi. Kali ini Rendi berhasil menepisnya.

Tante Mirna menepuk dahinya. "Sudah cukup, kalian ini seperti anak kecil."

Amara langsung menunjuk dirinya sendiri. "Aku memang anak kecil, ! Aku bocil!"

Tante Mirna menghela napas panjang. "Dan itulah yang harus berubah, Amara. Kalau kamu benar-benar menolak pernikahan ini, buktikan kalau kamu bisa hidup mandiri dan dewasa. Buktikan kalau kamu bisa bertanggung jawab atas hidupmu sendiri."

Amara terdiam. Kata "tanggung jawab" terdengar seperti neraka baginya. Dia bahkan masih sering lupa nyuci kaus kaki sendiri.

Tante Mirna lalu menatap Rendi. "Dan kamu, Rendi… Aku tahu ini mendadak, tapi aku percaya kamu bisa menghadapi ini dengan baik. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengerti pentingnya wasiat ini."

Rendi tidak langsung menjawab. Dalam hatinya, dia tahu menolak juga percuma. Tante Mirna adalah orang yang selalu memegang teguh prinsip, dan jika ini adalah wasiat terakhir orang tuanya, maka keputusan ini sudah hampir pasti.

Setelah beberapa detik berpikir, Rendi akhirnya berkata, "Baiklah, kalau memang ini yang harus terjadi… aku akan menjalani perjodohan ini."

Amara langsung menoleh cepat. "Hah?! Kok kamu setuju sih?!"

Rendi menatapnya datar. "Karena aku realistis."

"Dasar Abang yang yang tak ...! Amara tidak melanjutkan perkataannya.

Amara langsung terkapar di sofa dengan dramatis. "Hidupku berakhir…"

Tante Mirna tersenyum tipis. "Jangan drama, Amara. Kalian masih punya waktu untuk mengenal satu sama lain."

Amara tetap merajuk, tapi dalam hati dia tahu, ini bukan lelucon. Takdirnya kini terikat dengan Rendi.

Amara masih terkapar di sofa, ekspresinya penuh keputusasaan. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong, seakan berharap ada lubang dimensi yang bisa menghisapnya ke dunia lain.

"Kenapa harus aku…" gumamnya pelan.

Rendi yang duduk di seberangnya hanya menghela napas. "Jangan lebay,Amara. Ini bukan akhir dunia."

"BUATMU!" Amara langsung bangkit dan menunjuk wajah Rendi. "Buatku, ini the end! Aku masih ingin bebas! Masih ingin main game semalaman tanpa ada yang bawel! Masih mau koleksi merch anime dan K-pop tanpa ada suami yang protes!"

Rendi melirik Amara dengan malas. "Seolah aku peduli dengan koleksi absurdmu itu."

"LIHAT KAN?!" Amara melotot. "Kita beda dunia banget, Ren! Kamu itu serius, dewasa, hidupmu lurus kayak penggaris! Aku? Aku ini bocil barbar! Nggak ada yang bisa nyamain energiku!"

Tante Mirna menatap mereka dengan tenang, membiarkan anaknya meledak dulu sebelum menanggapi.

"Amara," panggilnya lembut.

Amara masih cemberut, tapi akhirnya menoleh. "Apa lagi sih Ma?"

"Kamu tahu kenapa perjodohan ini terjadi?"

Amara terdiam. Sejujurnya, dia terlalu sibuk syok untuk benar-benar memikirkan alasannya.

Tante Mirna tersenyum kecil, lalu menatap Rendi. "Karena ayah dan ibu Rendi percaya, kalau ada satu orang yang bisa membuatmu berubah menjadi lebih baik… itu adalah Rendi."

Amara mengerjap. "Hah?"

Rendi juga menoleh, sedikit terkejut.

Tante Mirna melanjutkan. "Amara, kamu hidup dalam dunia yang penuh kebebasan, tanpa batasan. Kamu manja karena selalu aku lindungi. Tapi Mama khawatir… bagaimana kalau suatu saat aku tidak ada lagi? Bagaimana kalau kamu harus menghadapi dunia sendirian?"

Amara tercekat. Dia tidak pernah memikirkan itu.

"Rendi berbeda," lanjut Tante Mirna. "Dia sudah kehilangan orang tuanya, tapi dia bisa bertahan. Dia bisa bekerja, belajar, dan tetap kuat. Dia tahu bagaimana menghadapi dunia nyata."

Amara melirik Rendi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.

"Dia kan orang kaya, rumahnya besar dari rumah kita,pasti lebih nyaman hidup sendirian"

Tante Mirna menepuk tangan Amara dengan lembut. "Kamu tidak perlu berubah total, Amara. Kamu tetap bisa menjadi dirimu sendiri. Tapi setidaknya… belajarlah untuk tumbuh."

Amara menggigit bibirnya, menunduk.

Rendi yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Aku juga nggak berharap banyak, Tante. Aku tahu Amara nggak bisa tiba-tiba berubah."

Amara mendongak, sedikit kesal. "Maksudmu apa? Aku bisa berubah kalau aku mau!"

Rendi menyeringai kecil. "Oh ya? Mau coba membuktikan?"

Amara mendengus. "Huh! Lihat aja nanti!"

Tante Mirna tersenyum lega. Setidaknya, mereka masih bisa berbicara tanpa baku hantam.

"Baiklah," katanya. "Kalian punya waktu sampai lulus SMA. Gunakan waktu itu untuk mengenal satu sama lain. Setelah itu, keputusan tetap akan berjalan."

Amara menghela napas panjang, lalu bergumam, "Kayaknya mulai sekarang hidupku bakal penuh masalah…"

Rendi menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sama."

Mereka saling bertukar pandang. Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan akan berjalan. Tapi satu hal pasti ini adalah awal dari perjalanan penuh kekacauan mereka.

Rendi akan bersiap pindah kerumah Tantenya dan menghadapi anak tantenya yang nyebelin.

Dan juga dulunya Rendi sekolah ditempat lain kini harus pindah sekolah yang sama dengan Amara.