Seminggu lagi adalah pernikahanku dengan Alex. Semuanya hampir selesai kami persiapkan. Undangan, katering, gaun, dan beberapa hal lainnya sudah beres. Meski ada beberapa detail kecil yang perlu diperhatikan lagi, sejauh ini aku cukup puas dengan hasilnya.
"Harus hari ini aku berangkat ke Bandung, ya? Nggak bisa ditunda minggu depan, Pak? Dua hari lagi aku bakal dipingit." Aku berbicara dengan berat hati saat Pak Anton, manajer divisi perencanaan investasi, menugaskanku bertemu klien di sana.
Pak Anton menatap tajam ke arah asistennya sebelum beralih padaku. "Klien ini sangat penting, Put. Dia masih berhubungan baik dengan atasan kita. Saya sudah merekomendasikan kamu untuk bertemu klien ini. Analisis kamu begitu tajam dan tingkat risikonya sangat kecil. Jangan khawatir, ada bonus tambahan yang sudah disiapkan jika klien puas dengan kerja keras kamu nanti," jelas Pak Anton.
Gadis muda yang duduk di hadapannya ini sudah lama ia kenal sejak masa magang kuliah. Putri adalah tipe pekerja yang jarang berargumen, tapi pantang mundur ketika menekuni tugas. Itulah sebabnya, begitu lulus, Putri langsung diterima sebagai asisten manajer divisi perencanaan investasi di perusahaan Prosperity Wealth Advisor.
Aku akhirnya pamit keluar dari ruangan Pak Anton setelah menerima rincian tugas yang harus aku lakukan selama di sana.
'Empat hari, huh? Astaga, kalau begini mana bisa aku dipingit? Duh, Mama dan Papa bakal marah nggak, ya?'
Aku kembali ke meja kerjaku dan bersiap untuk pulang. Selama tiga tahun bekerja di sini, aku tidak terlalu akrab dengan para karyawan lainnya. Apalagi sejak awal masuk, aku langsung ditawari posisi tinggi—sudah pasti jadi bahan cibiran dan pertentangan dari para senior yang lebih dulu bekerja di perusahaan ini.
Skip di rumah...
"Oh, ya sudah. Mau gimana lagi, kan? Itu pekerjaan kamu," respon Mama saat aku memberitahu bahwa aku akan keluar kota selama beberapa hari ke depan.
"Benar, Mama sama Papa nggak marah? Aku sebenarnya sudah nolak, tapi atasan udah terlanjur menyetujuinya," ucapku lirih sambil menunduk, tak berani menatap wajah kedua orang tuaku.
Mama Risa dan Papa Dami kompak menggeleng tegas, menunjukkan bahwa mereka tidak masalah jika aku harus keluar kota karena pekerjaan.
'Tinggal kasih tahu Alex... duh...'
Aku menghela napas pelan dan mengetik pesan, meminta bertemu di kafe yang biasa jadi tempat nongkrong aku dan Alex sejak kuliah.
"Kak Put mau ke mana?" suara Aisyah membuatku terhenti di depan pintu. Dia menatapku penasaran.
"Oh, aku mau ketemu Alex di kafe Mawar, Dek. Kenapa? Ada perlu sesuatu?" tanyaku sebelum pergi.
Aisyah tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil sambil menggeleng. "Nggak ada, Kak. Hati-hati aja di jalan."
Aku hanya membalas senyumnya sebelum bergegas pergi, karena Alex sudah mengirim pesan bahwa dia sudah sampai lebih dulu.
-----
Di Kafe Mawar...
"Kamu apa-apaan sih, Sayang? Kita mau nikah minggu depan! Kamu masih aja sibuk dengan kerjaan kamu, huh? Kan aku udah bilang dari awal, ajukan cuti atau, kalau nggak, resign aja," suara Alex terdengar tajam saat aku menjelaskan tentang perjalanan ke Bandung.
"Tapi, Lex, aku sudah terlanjur setuju. Lagian masih ada waktu dua hari sebelum kita nikah setelah aku pulang nanti, kan?" ucapku lirih, berharap Alex lebih pengertian.
Alex menghela napas panjang, terlihat lelah dengan sikap keras kepalaku. "Kamu sama sekali nggak pernah mikirin kita, ya? Pernikahan kita udah tinggal menghitung hari, dan kamu anggap sepele begitu saja?" lirihnya kecewa.
Aku terdiam. Bagaimana bisa dia menyimpulkan seperti itu?
"Kalau dari awal aku nggak mikirin kita, ngapain aku repot-repot ngurus pernikahan ini sendirian? Aku kesana kemari ngurus semuanya, sementara kamu gampang banget bilang sibuk melulu!" Aku membalas tajam, merasa kesal.
"Oh, jadi sekarang kamu nyalahin aku? Memang aku sibuk ngurus bisnis, Sayang. Kamu tahu kan, usaha propertiku baru mulai berjalan lancar. Lagian kalau kamu nelpon, aku selalu sempatin buat jawab juga," elak Alex, mencoba menenangkan suasana.
Kami terdiam cukup lama, hingga akhirnya Alex menggenggam tanganku erat. "Besok aku antar ke bandara, ya? Aku bakal kangen sama kamu. Kalau sudah selesai, cepat pulang, Sayang," ucapnya pelan, mengalah.
Amarahku perlahan luluh mendengar nada lembutnya. Inilah yang selalu aku sukai dari Alex—kesabarannya dalam menghadapi amarahku. Kami berbincang cukup lama sebelum Alex mengantarku pulang ke rumah pukul tujuh malam.
-----
Pukul 23.00 WIB...
Aku kembali ke kamar untuk mempersiapkan keperluan keberangkatanku besok. Namun, begitu keluar kamar, aku mendapati Aisyah mengenakan sweater dan membawa tas kecil.
"Loh, Dek, mau ke mana kamu malam-malam begini?" tanyaku curiga.
Aisyah sedikit berjengit, tampak kaget melihatku. "Err... anu, Kak. Temenku, Nabila, lagi nungguin di luar. Ada tugas kelompok... iya, tugas kelompok kami ada masalah," jawabnya terbata-bata,sambil menggigit bibir bawahnya seolah mencari alasan lain.
Aku merasa ada yang janggal. Sudah beberapa malam terakhir Aisyah sering keluar larut malam, dan setiap kali kutanya, jawabannya selalu sama—tugas kelompok. Tapi, kali ini ada yang berbeda dari caranya berbicara.
"Malam-malam begini tugas kelompok? Nggak bisa dibahas besok pagi atau lewat telepon aja?" tanyaku lagi, mencoba menggali lebih dalam.
Namun, sebelum Aisyah sempat menjawab, Mama Risa muncul dari dalam kamar. "Udah, itu adek kamu kan lagi sibuk kuliah. Pasti banyak tugas atau apalah. Kamu kayak nggak pernah kuliah aja, bahkan dulu pulang pagi Mama juga nggak pernah nanya yang aneh-aneh," kata Mama Risa dari dalam kamar.
Mama memberi kode pada Aisyah agar segera pergi, dan Aisyah cepat menangkap maksud itu.
"Kak, Mama, aku pergi dulu ya? Nggak lama kok pulangnya. Assalamualaikum," pamit Aisyah sebelum buru-buru keluar rumah.
"Tapi Mah, kan Putri dulu kuliah sambil kerja jadi...," belum sempat aku protes, mama Risa sudah menatap tajam diriku.
"Udah deh Putri! Kamu ungkit terus itu ya?! Iya papa kamu sakit-sakitan jadi gak bisa full kerja biayain hidup kita! Tenang aja itu Aisyah bisa jaga diri kok." Mama Risa kembali masuk kedalam kamar dengan sedikit membanting pintu.
Aku hanya bisa menghela napas lelah. Mama selalu membelanya tanpa mempertimbangkan perasaanku.
-----
POV Aisyah
Aku berbohong pada Kak Putri. Iya, tentu saja, karena aku ingin menemui seseorang. Taksi yang kupesan akhirnya berhenti di persimpangan jalan tempat kami janjian.
"Hei, mau temani aku malam ini? Aku lagi suntuk sama kakakmu," suara berat itu menyapa dengan nada menggoda.
Aku tersenyum lebar dan merangkul lengannya. "Tentu saja, Mas. Aisyah selalu siap kapan pun Mas Alex butuh aku!"
Kami pun masuk ke mobil Alex dan meluncur menuju apartemennya untuk menghabiskan malam bersama—malam yang kesekian kalinya.
Maaf, Kak Putri. Tapi sungguh, aku sudah terlanjur cinta sama Mas Alex. Kalian tidak seharusnya menikah...
End POV Aisyah