Kriiiinggg—
Suara bel sekolah menggema di seluruh ruangan. Matahari sore yang menyusup melalui jendela mulai meredup, menggantikan cahaya lampu kelas yang perlahan menyala. Suasana gaduh mulai terdengar ketika murid-murid berkemas, beberapa bercanda, beberapa mengeluh soal tugas yang harus dikumpulkan besok.
Aku?
Aku hanya duduk di bangkuku, menatap kosong ke luar jendela.
Hari ini terasa seperti hari-hari biasa. Pulang sekolah, PR menumpuk, dan rutinitas yang membosankan. Tapi ada sesuatu yang aneh… seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku.
Sesuatu yang tidak bisa kuingat.
"...Oi."
Sebuah suara mengusik lamunanku. Aku mengalihkan pandangan dan melihat seorang cowok berdiri di samping mejaku, tangannya terlipat dengan ekspresi sedikit sebal.
"Kau melamun lagi, huh?" katanya.
Aku menghela napas. "Hanya sedikit."
"'Sedikit' katamu? Dari tadi kau cuma diam sambil menatap jendela kayak tokoh utama anime yang penuh trauma."
"Memangnya aku terlihat sekeren itu?" tanyaku santai.
Dia mengangkat alis. "Lebih seperti orang bodoh yang kepikiran hal aneh."
Aku terkekeh pelan. "Kau nggak salah juga."
Namanya Shinichi, teman sejak SMP sekaligus satu-satunya orang yang tahan dengan semua keanehanku. Di saat orang lain sibuk membahas tugas atau pacaran, aku malah terjebak dengan perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
Aku menatap langit di luar jendela. Warna jingga keemasan menyelimuti gedung-gedung, menciptakan suasana yang tenang... namun entah kenapa, hatiku terasa kosong.
Shinichi tampaknya memperhatikanku cukup lama sebelum akhirnya membuka mulut.
"Kau serius, kan? Kau ini udah kayak orang yang kehilangan sesuatu. Atau mungkin... seseorang?"
Aku mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Aku juga nggak tahu, tapi..." dia mengangkat bahu. "Perasaan kayak ada yang hilang, tapi kau sendiri nggak tahu apa itu—itu sering terjadi kalau kau pernah melupakan sesuatu yang penting."
Sesuatu yang penting...?
Aku menutup mata. Seketika, dunia di sekelilingku terasa meredup.
Dan lalu, aku melihatnya.
Seorang gadis berdiri di hadapanku.
Rambutnya panjang, berayun lembut seperti kabut yang tertiup angin. Matanya menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—kesedihan? Kerinduan? Atau... harapan?
Aku tidak tahu siapa dia.
Tapi tubuhku bergerak sendiri. Aku mengulurkan tangan, ingin menggenggam jemarinya yang terlihat begitu rapuh.
Namun saat jari-jariku hampir menyentuhnya—
"Oi! Bangun!"
Sebuah suara keras menghantam kesadaranku. Mataku terbuka lebar, dan aku melihat wajah Shinichi yang kini berdiri di depanku dengan ekspresi frustrasi.
Aku mengerjap. "Hah?"
"Apa kau ketiduran sambil berdiri? Kau tiba-tiba diem aja kayak patung!"
Aku mengusap wajahku, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Itu bukan mimpi biasa. Itu... terasa nyata.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela sekali lagi. Langit mulai gelap, matahari hampir tenggelam di balik cakrawala.
Siapa dia?
Dan kenapa aku merasa seperti aku sudah mengenalnya sejak lama...?