Aurel berjalan cepat menuju apartemennya, rasa gelisah menguasai pikirannya. Siapa pria berjas hitam tadi? Kenapa dia menatapnya seperti itu?
Setibanya di depan pintu apartemennya, Aurel merasakan firasat buruk. Seperti ada seseorang yang pernah masuk ke dalam. Perlahan, ia merogoh kunci dan membukanya dengan hati-hati.
Klik.
Saat pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti. Ruangan itu berantakan. Laci-laci terbuka, kertas-kertas berserakan di lantai. Seseorang telah menggeledah tempat ini.
Aurel menahan napas, mencoba mengendalikan rasa paniknya. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel dan menelepon Adrian.
"Ada yang masuk ke apartemenku," suaranya bergetar.
"Aurel, jangan bergerak. Aku akan segera ke sana."
Telepon terputus. Aurel mundur perlahan, bersiap keluar, namun tiba-tiba—
Brakk!
Seseorang menariknya dari belakang dan menutup mulutnya dengan tangan kasar.
"Jangan berteriak."
Suaranya dalam dan dingin. Aurel berusaha meronta, tapi cengkeramannya terlalu kuat.
"Kami tahu kau memiliki sesuatu yang tidak seharusnya kau miliki."
Aurel menahan tangisnya. "Apa yang kalian inginkan?" suaranya teredam di balik tangan itu.
"Tinggalkan kasus ini. Atau kau akan berakhir seperti kakakmu."
Aurel terkejut. "Kau tahu tentang Diana?"
Pria itu tersenyum samar, lalu melepaskannya begitu saja. "Jangan coba-coba melawan."
Sebelum Aurel bisa melakukan sesuatu, pria itu sudah pergi, menghilang seperti bayangan.
Beberapa detik kemudian, pintu apartemennya terbuka lagi—Adrian.
"Aurel!" Adrian segera berlari ke arahnya, menangkup wajahnya. "Kau baik-baik saja?"
Aurel mengangguk, meski tubuhnya masih gemetar.
Adrian memeriksa apartemen, rahangnya mengeras. "Mereka menginginkan sesuatu darimu."
Aurel menatapnya lekat. "Apa yang sebenarnya terjadi, Adrian? Siapa yang membunuh Diana?"
Adrian terdiam. Lalu, akhirnya ia berkata dengan suara rendah, "Aku pikir aku tahu siapa yang ada di balik ini semua."
Aurel membelalak. "Siapa?"
Adrian menatapnya, ekspresinya penuh bahaya.
"Keluargaku."
---