Tubuhnya gemetar.
Minjae Han menatap langit yang gelap di atasnya, matanya kosong, seakan kehilangan cahaya kehidupan. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka lebam, seragamnya koyak, dan darah mengalir dari sudut bibirnya.
Suara hujan mengguyur di sekitar, bercampur dengan suara langkah kaki yang menjauh. Mereka tertawa puas, meninggalkan Minjae terkapar di lorong belakang sekolah.
"Kau hanya sampah, Minjae. Sampah tidak punya hak untuk melawan."
Salah satu dari mereka mengucapkannya sebelum pergi, meninggalkan bekas jejak sepatu di punggungnya. Minjae tetap diam, matanya menatap kosong ke genangan air yang bercampur darahnya sendiri.
'Kenapa… aku harus hidup seperti ini?'
Tangan Minjae mencengkeram tanah yang basah, mengingat kembali bagaimana semua ini dimulai.
---
Satu tahun lalu, hidupnya masih sempurna.
Dia adalah putra tunggal dari keluarga Han, pemilik perusahaan yang cukup dikenal. Kehidupannya stabil, dan di sekolah ini, dia tidak menonjol tapi tetap mendapat perlakuan baik.
Namun, semuanya berubah dalam sekejap.
Perusahaan keluarganya bangkrut akibat permainan kotor seorang pengusaha besar. Dalam semalam, rumah mereka disita, dan mereka kehilangan segalanya.
Dan di sekolah yang dipenuhi anak-anak konglomerat, kehancuran keluarganya menjadi bahan ejekan.
Awalnya, mereka hanya menatapnya dengan tatapan merendahkan. Beberapa mulai membicarakannya di belakang.
Tak lama, mereka mulai mengejeknya secara langsung, menyindirnya setiap kali lewat.
Hingga akhirnya, ejekan berubah menjadi kekerasan. Mereka mulai menindasnya secara fisik, memastikan dia merasakan kehancuran itu setiap hari.
Hingga akhirnya—
---
Minjae tersadar dari pikirannya. Tangannya gemetar, matanya kehilangan fokus.
'Aku... ingin semuanya berakhir…'
Saat itu, dia berdiri di tepi atap sekolah, hujan masih turun membasahi tubuhnya.
'Kalau aku melompat sekarang… semuanya akan selesai…'
Dia menarik napas panjang, bersiap untuk mengakhiri segalanya—
Namun, sebelum kakinya melangkah lebih jauh, sesuatu menarik kesadarannya.
---
Namun, ketika dia membuka mata…
Dia berada di kelasnya.
Minjae tersentak.
'Apa yang terjadi…?'
Ruangan itu terasa asing namun familiar. Dia menoleh ke kanan—dindingnya masih utuh, tidak ada coretan hinaan.
Tangannya terangkat, melihat kulitnya yang bersih, tanpa lebam dan luka.
'Ini… mimpi?'
Bel berbunyi, murid-murid mulai keluar dari kelas seperti biasa.
Minjae bangkit dari kursinya, kepalanya masih pusing. Tapi saat dia melangkah keluar, sesuatu menarik perhatiannya.
Di lorong, seorang anak lelaki sedang dipojokkan oleh sekelompok siswa.
"Oi, kau masih belum bayar? Jangan bikin kami repot."
Minjae membelalakkan mata.
'Aku ingat ini…'
Ini adalah hari di mana semuanya bermula. Saat dia pertama kali diperlakukan berbeda oleh mereka.
Tangan Minjae mengepal erat.
'Tidak… Aku tidak akan membiarkan ini terjadi lagi…'
Dengan langkah cepat, Minjae berjalan ke arah mereka.
Dan sebelum mereka sempat menyadari kehadirannya—
Bruak!
Tinju Minjae menghantam wajah salah satu perundung itu dengan keras.
Mata semua orang membelalak.
Murid yang tadi dirundung menatap Minjae dengan terkejut. Perundung yang dipukul jatuh ke lantai, memegangi wajahnya yang berdarah.
Minjae berdiri di sana, napasnya memburu. Matanya yang kosong kini dipenuhi sesuatu yang berbeda.
Kemarahannya yang selama ini ia pendam meledak.
"Akhirnya… sekarang aku punya kesempatan untuk membalas semua yang mereka lakukan padaku."