Kantor **Stellar Innovations** sudah sepi. Lampu-lampu di lantai 20 mulai padam satu per satu, meninggalkan hanya cahaya redup dari ruang server yang masih menyala. Alicia Hartono, sang CEO, duduk di belakang mejanya, menatap layar laptop dengan tatapan kosong. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan matanya terlihat lelah. Ia baru saja menyelesaikan rapat darurat dengan investor dari Singapura, dan sekarang harus menyelesaikan laporan keuangan yang harus dikirim esok pagi.
"Kenapa semuanya harus terjadi hari ini?" gumamnya sambil menghela napas panjang. Tangannya mengetik cepat, tetapi tiba-tiba layar laptopnya mati. Alicia mengerutkan kening, mencoba menyalakannya kembali, tetapi tidak ada respon.
"Tidak, tidak, tidak! Ini tidak boleh terjadi!" katanya dengan suara panik. Ia buru-buru berdiri dan berjalan menuju ruang server, berharap bisa menemukan solusi. Namun, saat ia masuk ke ruangan itu, pintu secara otomatis tertutup di belakangnya. Alicia mencoba mendorongnya, tetapi pintu itu terkunci.
"Apa?!" teriaknya, menekan-nekan tombol di samping pintu. Tidak ada respon. Sistem keamanan perusahaan ternyata mengalami gangguan, dan ia terjebak di dalam ruangan sempit itu.
Di lantai 5, Rangga Pratama masih asyik duduk di depan komputernya. Ruang IT yang sempit dipenuhi dengan kabel-kabel dan monitor yang berkedip. Ia sedang asyik mengutak-atik kode program untuk mengoptimalkan sistem keamanan perusahaan. Kacamata tebalnya hampir meluncur dari hidungnya, tetapi ia tidak peduli. Musik klasik dari headphone-nya mengalun pelan, membuatnya fokus.
Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering. Rangga mengangkat alis, heran. Siapa yang menelepon jam segini? Ia melepas headphone-nya dan mengangkat telepon.
"Halo, bagian IT," katanya dengan suara datar.
"Halo? Apakah ini bagian IT?" suara di seberang telepon terdengar tegas, tetapi ada nada panik yang tersembunyi.
"Iya, ini Rangga. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini Alicia Hartono. Saya terjebak di ruang server di lantai 20. Sistem keamanannya error, dan pintunya terkunci. Saya tidak bisa keluar!"
Rangga terkejut. CEO-nya sendiri yang menelepon? Ia buru-buru berdiri, hampir menjatuhkan kursinya. "O-oke, Bu. Tenang, saya akan segera ke sana."
"Cepat! Saya tidak bisa berlama-lama di sini!" suara Alicia terdengar semakin panik.
Rangga berlari menuju lift, jantungnya berdebar kencang. Ia tidak pernah berbicara langsung dengan sang CEO sebelumnya. Alicia Hartono adalah sosok yang ia lihat dari jauh, selalu elegan dan berwibawa. Sekarang, ia harus menyelamatkannya?
Sesampainya di lantai 20, Rangga langsung menuju ruang server. Ia melihat Alicia melalui kaca pintu. Wanita itu terlihat frustrasi, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya memerah.
"Bu, saya Rangga dari IT. Saya akan mencoba membuka pintunya," katanya melalui kaca.
Alicia menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Kamu? Kamu yakin bisa?"
Rangga mengangguk, meski hatinya sedikit tersinggung. "Iya, Bu. Tolong mundur sedikit, ya."
Alicia menghela napas dan mundur beberapa langkah. Rangga buru-buru membuka laptopnya dan mulai mengakses sistem keamanan. Jarinya menari-nari di atas keyboard dengan cepat, matanya fokus pada layar.
"Kenapa kamu masih di kantor jam segini?" tanya Alicia tiba-tiba, mencoba mengalihkan perasaannya yang campur aduk.
"Saya sedang mengerjakan proyek optimasi sistem, Bu. Biasanya saya kerja sampai larut," jawab Rangga sambil terus mengetik.
Alicia mengangguk pelan. "Kamu… Rangga, ya?"
"Iya, Bu."
"Terima kasih sudah datang. Saya… saya agak panik tadi."
Rangga tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Bu. Ini sudah hampir selesai."
Beberapa detik kemudian, pintu ruang server terbuka dengan suara "klik" yang lembut. Alicia langsung melompat keluar, hampir menjatuhkan heels-nya.
"Akhirnya! Terima kasih, Rangga," katanya, menarik napas lega.
"Sama-sama, Bu. Sistem keamanannya memang sedang ada gangguan. Saya sudah memperbaikinya, jadi seharusnya tidak akan terjadi lagi."
Alicia memandanginya dengan tatapan baru. "Kamu… sangat cepat. Berapa lama kamu kerja di sini?"
"Sudah dua tahun, Bu."
"Dan kamu kerja di bagian IT selama ini?"
"Iya, Bu."
Alicia mengangguk, matanya mengevaluasi Rangga dengan lebih cermat. "Kamu punya kemampuan yang luar biasa. Kenapa saya tidak pernah mendengar tentangmu sebelumnya?"
Rangga tersenyum malu. "Saya hanya staf biasa, Bu. Tidak terlalu menonjol."
Alicia terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Mungkin itu yang harus berubah. Terima kasih lagi, Rangga. Kamu menyelamatkan malam saya."
Rangga mengangguk, merasa sedikit tidak nyaman dengan pujian itu. "Sama-sama, Bu. Kalau tidak ada lagi yang bisa saya bantu, saya akan kembali ke lantai 5."
"Tunggu," kata Alicia tiba-tiba. "Kamu… sudah makan malam?"
Rangga terkejut. "Eh, belum, Bu."
"Kalau begitu, mari kita makan bersama. Sebagai ucapan terima kasih."
Rangga membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata yang keluar. CEO-nya mengajaknya makan malam? Ini seperti mimpi.
"Saya… saya tidak berpakaian yang pantas, Bu," katanya akhirnya, merujuk pada kemeja kotak-kotak dan jeans-nya yang lusuh.
Alicia tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Saya juga tidak dalam kondisi terbaik. Ayo, saya tahu tempat yang enak di dekat sini."
Rangga hanya bisa mengangguk, hatinya berdebar kencang. Malam ini, hidupnya mungkin akan berubah selamanya.
---
Setelah makan malam dengan Rangga, Alicia akhirnya pulang ke rumah. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan ia tahu orang tuanya pasti sudah khawatir. Begitu ia membuka pintu, lampu ruang tamu langsung menyala, dan kedua orang tuanya, **Bapak Robert Hartono** dan **Ibu Clara Hartono**, berdiri di sana dengan wajah panik.
"Alicia! Kamu baru pulang sekarang?!" seru Ibu Clara, matanya melotot penuh kekhawatiran.
"Kami sudah mencoba menghubungimu berkali-kali, tapi teleponmu tidak aktif!" tambah Bapak Robert, suaranya tegang.
Alicia menghela napas, meletakkan tas kerjanya di sofa. "Maaf, Ayah, Ibu. Tadi ada masalah di kantor, dan aku harus menyelesaikannya. Teleponku kehabisan baterai."
"Masalah apa lagi? Kamu tahu kami khawatir, kan? Kamu pulang larut malam sendirian, itu tidak aman!" Ibu Clara mendekat, memeriksa Alicia dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah-olah memastikan putrinya tidak terluka.
"Aku baik-baik saja, Ibu. Tenang saja," kata Alicia, mencoba meyakinkan ibunya.
Bapak Robert menghela napas panjang. "Alicia, kamu harus lebih perhatian pada dirimu sendiri. Kamu sudah bekerja terlalu keras. Lihat, kamu terlihat lelah sekali."
Alicia tersenyum kecil. "Aku tahu, Ayah. Tapi ini tanggung jawabku. Lagipula, tadi ada seseorang yang membantuku."
"Seseorang? Siapa?" tanya Ibu Clara, penasaran.
"Seorang karyawan dari bagian IT. Namanya Rangga. Dia sangat cerdas dan membantuku keluar dari masalah tadi," jawab Alicia, matanya berbinar saat mengingat Rangga.
"Rangga? Siapa itu? Kenapa kami tidak pernah mendengar namanya sebelumnya?" tanya Bapak Robert, alisnya terangkat.
"Dia… tidak terlalu menonjol. Tapi setelah malam ini, aku rasa dia layak mendapatkan pengakuan lebih," kata Alicia sambil duduk di sofa, merasa lelah namun puas.
Ibu Clara duduk di sebelah putrinya, memegang tangannya. "Alicia, kamu harus berhati-hati. Jangan terlalu mudah percaya pada orang lain. Kamu tidak tahu apa niat mereka."
Alicia mengangguk, tetapi di dalam hatinya, ia merasa Rangga berbeda. "Aku mengerti, Ibu. Tapi Rangga… dia tulus. Aku bisa merasakannya."
Bapak Robert menghela napas lagi. "Baiklah, yang penting kamu pulang dengan selamat. Sekarang, istirahatlah. Besok kamu pasti ada meeting lagi, kan?"
"Iya, Ayah. Terima kasih sudah menunggu aku," kata Alicia sambil berdiri dan memeluk kedua orang tuanya.
Setelah memastikan Alicia sudah aman, kedua orang tuanya akhirnya pergi ke kamar mereka. Alicia pun naik ke kamarnya, melepas heels dan gaun kerjanya. Saat ia berbaring di tempat tidur, pikirannya kembali pada Rangga. Pemuda culun itu telah membuatnya merasa… berbeda. Seperti ada sesuatu yang hangat dan tulus yang selama ini hilang dari hidupnya.
"Rangga…" gumamnya pelan sebelum akhirnya tertidur.