Radit dan Soleh udah bersahabat sejak SMP. Dari dulu mereka udah kayak amplop sama perangko nempel terus. Beda dari kebanyakan geng cowok yang rame dan heboh, mereka berdua lebih sering nongkrong berdua aja. Soleh yang kalem dan sarkastik, sementara Radit agak lemot tapi baik hati.
Kebiasaan mereka berlanjut sampai SMA dan sekarang kuliah. Walaupun udah semester akhir, mereka tetep kayak bocah SMP yang kerjaannya main game, begadang, dan ngobrolin hal-hal nggak penting.
Soleh ini anak tunggal yang tinggal sama bibinya, karena orang tuanya sibuk di luar kota. Rumahnya lumayan gede dan sering kosong, jadi Radit sering banget nginep di sana. Udah kayak rumah kedua buat dia.
Malam itu, kayak biasa, mereka lagi duduk di lantai kamar Soleh sambil main game konsol. Radit sibuk menekan-nekan tombol stick dengan ekspresi tegang, sementara Soleh duduk santai dengan wajah datarnya.
"Gue kasih satu kesempatan lagi, Dit," kata Soleh sambil menatap layar dengan malas.
"Bentar, bentar! Ini tadi lag, sumpah!" Radit panik, jempolnya bekerja keras mencet tombol.
(Note : diperlihatkan mata Soleh melirik diam2 perhatikan jempol Radit yang sibuk di atas tombol stick)
"Alasan. Lu emang cupu."
Dan benar aja, beberapa detik kemudian, karakter Radit di layar mati konyol. Soleh hanya melirik sekilas sebelum meletakkan stick dan meregangkan tubuh.
"Udahan, ah. Lu nggak ada harapan," kata Soleh santai.
Radit melempar stick ke kasur dan menghela napas panjang. "Sial, gue sumpah bakal latihan besok."
Soleh hanya menaikkan alis, skeptis.
Tapi malam itu agak beda. Biasanya, mereka lanjut ngobrolin hal random sampai ketiduran. Tapi kali ini, Radit tampak gelisah.
"Ada apaan, Dit?" tanya Soleh akhirnya.
Radit garuk-garuk kepala. "Jadi gini… gue ada yang mau gue kenalin ke lu."
Soleh menatapnya curiga. "Maksudnya?"
"Pacar gue."
Hening.
Soleh hanya menatap Radit tanpa ekspresi. "Nggak salah denger, kan?"
Radit nyengir. "Beneran. Gue punya pacar sekarang."
Soleh masih diem. Bukan karena kaget, tapi lebih ke… males nanggepin.
"Anjir, nggak ada respon?" Radit protes.
Soleh akhirnya angkat bahu. "Ya terus kenapa?"
Radit mendecak kesal. "Ya lu kan temen baik gue. Harusnya lu excited gitu!"
Soleh hanya menatapnya dengan wajah datarnya. "Gue nggak excited juga sih."
Radit menghela napas panjang. "Lu bakal suka dia, Leh. Dia cantik, pinter, dan… agak curigaan sih."
"Curigaan?"
Radit mengangguk. "Iya, dia suka mikir aneh-aneh."
Soleh cuma mengangkat bahu. "Terserah lu lah."
Besoknya, mereka bertiga ketemu di kafe dekat kampus. Soleh datang paling akhir dan melihat Radit duduk bareng seorang cewek yang cukup mencolok. Rambutnya dikuncir tinggi, pakai kemeja putih dan jeans, dan matanya tajam kayak elang. Begitu melihat Soleh, dia langsung tersenyum ramah, tapi ada sedikit kewaspadaan di matanya.
"Leh, kenalin. Ini Reli," kata Radit antusias banget.
Soleh duduk dan menatap cewek itu sekilas. "Soleh."
Reli tersenyum tipis. "Reli."
Mereka bertiga mulai ngobrol, lebih tepatnya Reli dan Radit yang ngobrol. Soleh lebih banyak diem dan cuma menimpali sesekali dengan jawaban pendek.
Tapi ada yang aneh.
Soleh sadar kalau Reli beberapa kali melirik ke arah dia, tepatnya ke arah tatapan dia ke Radit.
Akhirnya, setelah ngobrol beberapa lama, Reli bersandar di kursinya dan menatap Soleh langsung. "Lu udah lama temenan sama Radit?"
"Dari SMP," jawab Soleh datar.
Reli mengangguk pelan. "Pantes."
"Pantes kenapa?" tanya Soleh.
Reli menatap Radit sebentar sebelum kembali menatap Soleh. "Gue cuma penasaran…"
Soleh menaikkan alis. "Apa?"
Reli menyipitkan mata. "Kenapa lu sering banget liatin jempol Radit?"
Hening.
Radit yang lagi minum jus hampir keselek. "APAAA?!"
Soleh nggak bereaksi. Dia cuma berkedip pelan, lalu melihat jempol Radit yang sedang menggenggam gelas jusnya.
"Lu sadar nggak sih?" Reli melanjutkan. "Setiap Radit ngomong, lu suka ngeliatin jempolnya."
Radit langsung ngeliatin jempolnya sendiri. "Apaan sih?! Jempol gue kenapa emangnya?!"
Reli menyilangkan tangan. "Nah, itu yang gue juga mau tau. Kenapa lu perhatiin banget jempol dia?"
Soleh diam sebentar sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Gue cuma kepo."
"Kepo apaan?" Reli masih curiga.
Soleh menatap jempol Radit lagi dengan ekspresi kosong. "Jempolnya gede banget. Nggak proporsional sama tangannya."
Radit langsung menatap jempolnya dengan panik. "HAH?! SERIUSAN?!"
Reli ngakak. "Gue juga baru nyadar! Iya, jempol lu gede, Dit!"
Radit makin panik. "Anjir, kenapa lu berdua ngomongin jempol gue?! Gue nggak pernah kepikiran soal ini!"
Soleh tetap datar. "Gue sering mikir, gimana rasanya kalau jempol lu segede itu dicelupin ke es teh."
Reli ngakak lagi, sementara Radit langsung frustasi. "Lu kenapa sih, Leh?! Bener-bener absurd!"
Reli menatap Soleh tajam. "Tapi selain jempol, gue juga sering liat lu merhatiin cara jalan Radit."
Soleh diam sebentar. "Iya."
Radit makin panik. "KENAPA?! APA YANG SALAH SAMA CARA JALAN GUE?!"
Soleh tetap kalem. "Lu jalannya kayak kaki lu lebih panjang sebelah."
Radit langsung berdiri dan mencoba jalan di tempat. Reli sampe pegang perut karena ketawa.
"Seriusan?! Gue jalannya aneh?! Kenapa baru bilang sekarang?!"
Soleh hanya menatapnya dengan datar. "Gue baru kepikiran sekarang."
Reli masih ketawa tapi tetap menatap Soleh penuh kecurigaan. "Lu tuh sebenernya mikirin apaan sih, Leh?"
Soleh mengangkat bahu. "Gue orangnya observatif."
Radit mendesah panjang. "Gue nggak ngerti lu, sumpah."
Reli masih melirik Soleh, lalu menatap Radit. "Kayaknya gue harus lebih sering ngawasin lu."
Radit cengo. "Hah? Ngapain ngawasin gue?"
Reli tersenyum tipis. "Nggak tau… firasat aja."
Soleh tetap diam, menyeruput kopinya dengan tenang.
Sementara itu Radit masih sibuk memperhatikan jempolnya sendiri.
Bersambung..