Siksa Manusia Sirik – Bagian 5 (Revisi)
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur, cahayanya perlahan menerobos celah-celah jendela rumah sakit. Suasana yang tadinya sunyi kini mulai hidup kembali dengan suara langkah kaki para perawat dan dokter yang bersiap memulai tugas mereka.
Di halaman depan Rumah Sakit Kurnia Abadi, suara derit roda becak terdengar mendekat. Seorang pria paruh baya dengan pakaian sederhana menghentikan becaknya di dekat gerbang. Di dalamnya, duduk sepasang suami istri—Sinta dan Gunawan, bibi dan paman Rahayu.
Mereka turun dari becak, menatap bangunan rumah sakit dengan ekspresi sedikit cemas.
"Semoga kondisi Kak Wiryo sudah lebih baik," ujar Sinta, merapikan kerudungnya.
Gunawan mengangguk. "Ayo, kita temui Rahayu dulu."
Mereka berjalan memasuki rumah sakit, melewati lorong-lorong panjang yang masih terasa dingin. Setibanya di ruang tunggu, mereka menemukan Rahayu yang tengah duduk sambil mengaduk secangkir teh.
Rahayu tersenyum saat melihat mereka. "Bibi, Paman! Kalian akhirnya datang."
Sinta langsung menghampiri dan meraih tangan keponakannya. "Bagaimana keadaan ibumu, Nak?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Rahayu menghela napas. "Kondisinya masih lemah, tapi dokter bilang ada sedikit perkembangan. Aku berharap beliau segera sadar."
Gunawan menepuk bahu Rahayu dengan lembut. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Jangan terlalu khawatir."
Di saat mereka berbincang, Sarah berjalan mendekat, membawa dua bungkus nasi yang masih hangat. Rahayu segera memperkenalkan Sarah kepada bibinya.
"Oh iya, Bibi, Paman, kenalkan, ini Sarah. Aku bertemu dengannya tadi malam di rumah sakit ini."
Namun, saat melihat Sinta, wajah Sarah seketika pucat. Tangannya sedikit gemetar, dan tanpa sadar, ia bergumam dengan suara pelan namun penuh keterkejutan.
"Mbak Dara… Mas Ali… Kalian di sini?"
Sinta dan Gunawan saling berpandangan, bingung dengan reaksi Sarah.
"Apa maksudmu, Nak?" tanya Gunawan heran.
Sarah menatap Sinta dengan mata berkaca-kaca. Wajah wanita itu begitu mirip dengan seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di sini.
Namun, sebelum Sarah bisa mengatakan apa pun lagi, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah koridor rumah sakit. Para perawat tampak berlarian menuju salah satu kamar.
Rahayu dan keluarganya ikut menoleh, merasakan firasat buruk.
Seorang perawat yang baru keluar dari kamar itu terlihat panik dan buru-buru memanggil dokter.
"Pasien di kamar 207... dia tiba-tiba terbangun!"
Rahayu langsung berdiri. "Itu... itu kamar Ibu!"
Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju kamar ibunya, diikuti oleh Sinta, Gunawan, dan Sarah. Saat mereka tiba di depan pintu, jantung Rahayu berdebar kencang.
Ia menghela napas dalam sebelum mendorong pintu dan masuk.
Di dalam ruangan itu, ibunya, Bu Wiryo, duduk di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menatap lurus ke arah jendela.
Tapi yang membuat Rahayu gemetar bukan hanya karena ibunya telah sadar…
Melainkan karena ekspresi ibunya yang tampak ketakutan, seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain.
Dan saat bibirnya bergerak, suara yang keluar bukan milik Bu Wiryo.
"Dia akan datang…" bisiknya dengan nada yang tak wajar.