Saito sensei terdiam setelah mendengar perkataan Rhaze, dengan nada ketus, ia bergumam, "Tch, terserah kau saja."
Mereka bertiga keluar dari Dojo dan berjalan menuju ruangan selanjutnya. Dalam keheningan lorong, Rhaze meminta maaf kepada Frima.
"Maaf ya, atas keributan tadi. Dia adalah Saito sensei, pelatih kami, seorang dari ras oni. Dia akan menjadi pelatihmu nanti."
Frima sedikit terkejut "Huh! Ras oni."
Rhaze mengangguk "Ya, dia ras oni. Memang kenapa?"
"Tidak, tidak ada apa-apa." Frima menggelengkan kepala. "Ras oni ya... aku baru pertama kali melihatnya. Dia berbeda dengan yang ada di manga..." pikirnya dalam hati, ia menoleh ke arah Hina dan bertanya, "Hei, Hina, kenapa tadi kau diam saja dan tidak membela Rhaze?"
"Ya, inginnya sih begitu, tapi ketua Rhaze punya alasan kuat untuk menjelaskan kepada Saito sensei."
"Dan juga... Saito sensei adalah guruku. Dia yang telah melatihku menguasai teknik pedang katana."
"Katana?" Frima sedikit terkejut "Heh~ jadi kau bisa menggunakan teknik katana ya?"
Di dalam hatinya, ia berpikir, "Rupanya, di dimensi lain juga ada pedang katana dan tekniknya, bukan hanya di Jepang."
"Ya, memang kenapa?" Hina memiringkan kepalanya, menatap Frima dengan bingung.
"Tidak ada apa-apa, soalnya aku juga suka dengan pedang katana." Jawab Frima sambil tersenyum antusias.
"Oh! Sungguh?"
"Yess!" Frima mengepalkan tangannya dan melonjak kegirangan.
Rhaze yang mendengar percakapan mereka, ikut berbicara, "Heh~ jadi kau suka terhadap pedang katana ya, sama dengan Hina. Sepertinya kau dan Hina serasi, hehehe." Ia tertawa kecil sambil melirik ke arah Frima dengan usil.
"Hah! Maksudmu apa?" Frima menyipitkan mata, menatap Rhaze curiga.
Dengan tertawa kecil. "Tidak, tidak. Hanya bercanda, hehehe."
Frima mengalihkan pembicaraan. "Ah iya, Rhaze. Soal pilihan yang kau beri sebelumnya, jika aku memilih yang pertama, apa yang akan terjadi?"
"Oh, itu?" Rhaze tersenyum santai. "Ya, ingatanmu akan dihapus secara permanen dari ingatan masa kecilmu sampai ingatan saat ini."
"Setelah itu... Kau akan kehilangan arah dan tujuan, tidak tahu siapa dirimu atau apa yang harus kau lakukan."
Frima merinding mendengarnya. Matanya menyipit, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya "Astaga, ngeri juga."
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya sampai di ruangan selanjutnya, yaitu ruangan operator yang penuh dengan peralatan canggih dan komputer. Mata Frima berbinar-binar melihatnya.
"Wah, ini serius?! Markas ini punya peralatan secanggih ini, bahkan komputer berkualitas tinggi? Astaga, ini benar-benar mengagumkan!"
Di ruangan itu, seorang goblin berambut hitam dan berkacamata, tengah menyusun laporan mengenai misi dari pusat.
Tanpa pikir panjang, Rhaze langsung memperkenalkannya kepada Frima.
"Perkenalkan, dia Ray. Seorang goblin yang memiliki kecerdasan yang tinggi, karena dia adalah seorang reinkarnasi." Ia berpose dramatis ke arah Ray.
Ray berhenti mengetik sejenak, lalu berbalik ke belakang dan memberi salam kepada Frima.
Ray duduk santai di kursinya, lalu menyapa "Ya, salam kenal, manusia. Dan namamu siapa?"
Frima sedikit membungkuk dan menjawab "Salam kenal, namaku Frima Erlangga."
Ray menoleh ke arah Rhaze dan bertanya
"Hei, ketua. Kenapa kau merekrut seorang manusia? Apa kau yakin? Pusat aka—"
Rhaze memotong pembicaraan Ray dengan senyum percaya diri "Aku yang akan menanggungnya, tenang saja."
Ray menghela napas panjang "Huff... ya, itu terserah ketua, aku tidak peduli."
Setelah itu, Ray kembali ke pekerjaannya, menyusun laporan-laporan yang diterima oleh pusat, sementara itu, mereka bertiga keluar dari ruang operator menuju ke ruangan berikutnya.
Mereka berjalan menuju ruangan selanjutnya, yaitu ruang UKS. Di mana di sana ada seekor slime berwujud wanita—Rinny, dia adalah dokter sekaligus perawat di tempat itu.
Begitu mereka masuk, Rinny yang sedang memeriksa beberapa obat, langsung menoleh dan menyapa Rhaze.
"Araa~ rupanya ketua ya, apa ketua ada keperluan di sini?" Sambil tersenyum lembut.
"Tidak ada, aku kesini hanya untuk memperkenalkan anggota baru." Rhaze tersenyum santai.
Rinny penasaran bertanya, "Heh~ anggota baru! Siapa anggota baru itu, ketua?"
Dengan pose dramatis, Rhaze memperkenalkan Frima kepada Rinny. "Perkenalkan, ini anggota baru kita. Frima Erlangga, dia seorang manusia dari dimensi 135."
Frima membungkuk dan memberi salam.
"Salam kenal, aku Frima Erlangga seorang mantan konsultan bisnis."
Rinny yang melihat Frima sebagai manusia, langsung bergumam pelan. "Heh~ seorang manusia lagi ya."
Frima yang mendengar gumaman Rinny, langsung bertanya di dalam hatinya. "Manusia! Apa maksudnya? Apa ada orang lain selain diriku, yang pernah bergabung ke dalam organisasi Keeper of Dimension Door?"
Rinny tersenyum manis, lalu memperkenalkan dirinya. "Salam kenal, Frima. Aku Rinny, seorang dokter dan perawat di markas Keeper of Dimension Door."
"Kalau nanti kau sakit atau terluka, jangan ragu datang ke sini, ya. Frima-kyun~" katanya sambil tersenyum manis berbunga-bunga.
Frima memalingkan wajahnya, rona merah muncul di pipinya. Ia merasa malu sekaligus geli mendengar panggilan itu.
"Frima-kyun~! Kenapa dia memanggilku seperti itu? I-ini... memalukan." Pikirnya dalam hati.
Rinny tersenyum usil, jelas menikmati reaksi Frima. "Araa~ jangan malu-malu Frima-kyun~, ini hanyalah sambutan spesial untuk anggota baru, fufufu~"
Rhaze langsung menyela dan menghentikan godaan Rinny. "Ya, ya, ya. Sudah, hentikan godaanmu, Rinny. Frima sudah ku jodohkan dengan Hina."
"HAH?!" Frima terkejut dan mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, Rhaze."
Namun, Rhaze tidak menggubrisnya dan malah lanjut mengenalkan ruangan berikutnya.
Frima, yang kesal dengan kelakuan Rhaze barusan, hanya bisa terdiam. Hina, yang melihat Frima mulai kesal, berusaha menenangkannya.
"Jangan dimasukkan ke dalam hati, ketua Rhaze suka seperti itu. Bahkan aku juga sering di jodohkan dengan anggota lain." Jawabnya santai.
"Huff..." Menghela napas. "Baiklah, aku tidak akan memasukkannya ke dalam hati." Kini ekspresinya kembali normal.
Rhaze kemudian membawa Frima berkeliling markas, ditemani Hina. Mereka mengunjungi ruang santai, dapur, ruang makan, kamar tidur, hingga akhirnya tiba di ruang rapat.
Akhirnya, mereka bertiga tiba di ruangan terakhir, yaitu ruang rapat. Rhaze mulai menjelaskan.
"Yang terakhir ini adalah ruang rapat," ujar Rhaze santai. "Besok, kau akan masuk ke sini, untuk memperkenalkan diri kepada anggota lainnya."
"Selain itu, kita juga akan membahas peraturan serta tugas dari organisasi Keeper of Dimension Door. Jadi jangan sampai telat, paham." Ia tersenyum kecil.
Frima mengangguk mengerti. "Ya, aku mengerti. Aku akan berusaha supaya tidak telat."
"Bagus!" Rhaze tersenyum puas dan melanjutkan penjelasannya. "Ah, iya. Aku hampir lupa. Aku juga akan menjelaskan tentang level dan rank di organisasi ini."
Frima yang penasaran tentang langsung bertanya, "Huh? Level dan rank."
Rhaze mengangguk. "Benar, level dan rank menentukan jabatan seseorang di organisasi. Dimulai dari level 1 dengan rank perunggu, hingga level 40 dengan rank platinum."
"Untuk menaikan levelnya, kau harus menyelesaikan berbagai misi dari pusat, yang dikategorikan dari misi rank F hingga misi rank SSS."
Frima meyimak dengan seksama saat Rhaze melanjutkan penjelasannya.
"Misi rank F dan E ditunjukkan untuk anggota level 1 hingga 10 dengan rank Perunggu, misi rank D dan C untuk level 11 hingga 20 dengan rank Perak. Lalu, misi rank B dan A untuk level 21 hingga 30 dengan rank Emas."
"Dan yang terakhir, misi rank S dan SS hanya bisa diambil oleh anggota level 31 hingga 40 dengan rank Platinum. Sedangkan misi rank SSS khusus untuk Raid, yang tidak bisa dilakukan seorang diri."
Rhaze menatap Frima dengan serius. "Kau sudah paham?"
Frima mengangguk paham. "Ya, aku sudah mengerti."
Rhaze tersenyum puas. "Bagus. Kalau begitu, kau boleh pulang ke dimensimu... atau mungkin kau ingin menginap di sini."
"Tidak, aku akan pulang saja." Frima menjawab santai.
"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa. Jangan sampai telat besok." Rhaze melambaikan tangan sebelum pergi.
Setelah semuanya selesai, Frima kembali ke dimensi 135. Sesampainya di sana, ia berpamitan kepada Hina sebelum pulang.
Di perjalanan, keraguan menyelip di hatinya. Apakah ia benar-benar bisa menghadapi semua ini? Namun, ia mengepalkan tangannya erat, mencoba menguatkan diri. Apapun yang terjadi, ini adalah takdir yang harus ia tempuh.