Kehidupan tanpa humor dan lelucon bagaikan rumah tanpa kaca dan jendela: gelap dan membosankan.
Entah bagaimana, aku merasa bahwa pepatah di atas itu kurang. Apakah itu kurang lengkap, kurang tepat, atau mungkin susunan kalimatnya salah, aku tidak tahu. Otak kecilku yang terbatas ini tidak tahu dimana letak kekurangannya.
Singkatnya, sebagai seorang Homo sapiens biasa yang hidup di abad ke 21, aku hanya punya satu pemikiran yang sering terlintas di benakku pada saat ini:
Tuhan, bukankah lelucon ini keterlaluan?
Aku melihat ke arah cermin, tenggelam dalam pikiranku.
Seorang gadis cantik berdiri di sana dengan anggun.
Rambut hitamnya terurai hingga ke pinggang, berkilau seperti sutra di bawah cahaya. Matanya, yang berwarna ungu seperti permata kecubung, memancarkan kilauan yang menawan.
Hidungnya mancung dan proporsional, memberikan kesan wajah yang tegas namun lembut. Bibirnya semerah ceri, dengan bentuk yang sempurna dan penuh pesona.
Kulitnya seputih salju, tampak halus dan bercahaya, menambah kesan elegan pada penampilannya yang memikat.
Aku, seorang gadis yang terobsesi dengan penampilan, yang suka melihat gadis-gadis cantik seperti idola, seharusnya akan sangat senang jika aku memiliki penampilan secantik ini.
Namun, sekali lagi, hanya ada satu pikiran di benakku pada saat ini: Tuhan, bukankah lelucon ini keterlaluan?
Aku memegang keningku sendiri, dan gadis di cermin itu juga melakukan hal yang sama.
"...."
Aku tertawa hampa.
Ianna Rose. Itulah nama gadis yang terpantul di cermin.
Dia adalah salah satu karakter, dalam komik harem yang sangat kusukai.
Sebagai komik harem, tentu saja ada banyak wanita yang menyukai protagonis pria, dan Ianna adalah salah satunya.
Dalam komik, dia adalah karakter Villainess yang selalu mengganggu para Heroine karena cemburu, dan akan melakukan apa saja agar protagonis pria menyukainya.
Singkatnya, dia adalah seorang bajingan bodoh.
Akhirnya, dia mati dengan tragis, tanpa satu orang pun yang peduli padanya.
Tamat.
Begitulah yang terjadi.
... Namun, mengapa?
'Mengapa aku menjadi Ianna..?.'
Aku menatap diriku sendiri di cermin dengan seksama, merasa sedikit campur aduk.
Apa makna keberadaanku di dunia ini? Mengapa aku menjadi Ianna? Pertanyaan itu sudah terlalu sering terlintas di benakku, namun sampai saat ini aku tidak pernah mendapatkan jawabannya.
Hari ini menandai tepat sekitar 6 tahun sejak aku tiba-tiba menjadi Ianna, seorang Villainess, di dunia komik ini. Pada saat-saat seperti inilah aku selalu merasakan emosi bergejolak dalam diriku, mengingat kenangan kehidupanku di masa lalu.
Setelah waktu yang tidak ku ketahui, aku kemudian duduk kembali ke kursiku, lalu tersadar bahwa meja di depanku telah hancur berantakan.
... Benar juga, aku menghancurkannya tadi...
"Sial... ini sangat menyebalkan..."
Aku tidak tahu sudah berapa kali aku menghancurkan mejaku sendiri karena kesal, dan mungkin akan terus seperti ini.
Sambil menggerutu kesal, pikiranku kembali melayang, memikirkan kehidupanku sendiri.
Mengingat nasib tragisnya dalam komik, tentu saja aku tidak ingin hidupku menjadi seperti Ianna asli.
Jadi, karena itulah, aku memutuskan untuk tidak mengikuti alur cerita aslinya di mana dia bergabung dengan Asosiasi Hunter, dan lebih memilih menjadi seorang penegak hukum.
Jika kalian bertanya apa alasan lainnya, itu karena di Asosiasi Hunter terdapat seseorang yang merupakan magnet bencana.
Ya, benar. Magnet bencana.
Kalian pasti sudah bisa menebak siapa orang itu. Siapa lagi kalau bukan Protagonis?
Dia praktis adalah magnet bencana berjalan, yang selalu membawa masalah kepada orang-orang di sekitarnya.
Saking banyaknya masalah dan bencana yang berhasil dia selesaikan, orang lain mulai memanggil dia dan kelompok haremnya sebagai pahlawan dan penyelamat kemanusiaan.
Meskipun itu sebagian alasanku menyukai komik ini, tapi; hei, coba bayangkan— betapa menyebalkannya hidup di sekitar dia?
Jadi, aku memutuskan untuk menjauh darinya, dan bergabung dengan "Hunter Investigation Force", atau yang lebih dikenal dengan "Unit Polisi Khusus". Selain gajinya yang besar, ini juga merupakan pekerjaan yang relatif santai dan sesuai dengan kemampuanku.
-Tak tak
"Permisi, selamat pagi kap—"
Ditengah lamunanku, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu, masuk, dan melihat ke arahku. Tidak, sepertinya matanya langsung fokus ke meja yang hancur di depanku.
"Ups. Sepertinya aku salah ruangan. Mohon maafkan aku. Permisi"
Brak!
Lalu orang itu pergi dan menutup pintu dengan tergesa-gesa.
"...."
...Heh.
Rasa kesal mulai menyelimuti diriku kembali.
"Hey, kenapa kau malah kabur? Kemari dan bantu aku"
Aku memanggil orang itu. Namun, tidak ada jawaban bahkan setelah beberapa saat berlalu.
"...."
Tanpa sadar, aku mengepalkan tanganku.
"Erik, jika kau tidak ingin mati, sebaiknya kau jangan bermain-main denganku sekarang"
Aku memanggilnya kembali dengan nada setenang mungkin, mencoba menyembunyikan emosiku.
Mungkin karena dia merasakan emosiku, atau mungkin firasatnya yang tajam memperingatkannya, dia langsung membuka pintu begitu kata-kataku selesai.
"Ups, permisi. Selamat pagi, kapten! Pagi yang indah sekali, bukan?"
Orang itu, Erik, adalah wakil kaptenku. Dia masuk ke dalam kantor dengan senyum yang berseri-seri, yang membuatku semakin merasa jengkel.
Senyuman itu seolah berkata: 'Aku tidak melakukan apa-apa, jadi jangan melampiaskan amarahmu padaku! '
Sebelum aku sempat membalas, Erik langsung melihat ke arah lain dan berkata dengan tergesa-gesa,
"Selamat pagi juga, Helena!"
... Benar juga. Aku hampir melupakan Helena yang sudah ada sedari tadi.
Aku melihat ke sudut ruangan, dimana gadis bernama Helena sedang meringkuk ketakutan.
"P- pagi..." Jawab Helena. Tubuhnya gemetar, dan matanya menunjukkan ketakutan yang bahkan terlihat jelas olehku.
Dia adalah anggota ke 3 dari tim ku, yang terkadang emosinya berubah-ubah tidak menentu. Tampaknya sekarang, emosi yang menguasainya adalah ketakutan.
Biasanya, dia adalah orang dengan aura 'kakak perempuan' yang kuat, bisa diandalkan dan mudah bergaul. Namun, karena masalah dengan kemampuannya sendiri, emosinya kadang berubah-ubah seperti saat ini.
Aku merasa bersalah karena memiliki pemikiran seperti ini, tapi... Dirinya yang penakut saat ini... Sangat menarik untuk ditonton.
'Ah, maafkan kaptenmu yang memiliki pemikiran rusak seperti ini, Helena...'
"Ka- karena wakil kapten juga sudah disini... A- aku akan membeli kopi sebentar di luar..."
Helena berjalan menuju pintu dengan sedikit terburu-buru. Namun, aku menyaksikan Erik langsung mencengkram tangannya dengan kuat.
"Tunggu, aku tidak perlu kopi. Lagipula, kita bisa membuatnya disini" Kata Erik sembari menunjuk ke sudut lain ruangan, tempat peralatan minum berada.
Helena menggelengkan kepalanya dengan tergesa-gesa.
"A- aku juga ingin membeli camilan, makanan, minuman... " Dia menyebutkan apa yang ingin dibelinya satu persatu, seolah mencoba mencari alasan agar dia bisa kabur dari sini.
Yah, kurasa dia memang ingin kabur.
Cengkraman Erik pada Helena semakin kuat, dan senyuman di wajahnya juga menjadi kaku. Dia lalu berbisik dengan kedua tangannya mencengkram bahu Helena.
"Tolong jangan tinggalkan aku sekarang, Kumohon? Please? Oke? Jangan tinggalkan aku berduaan dengan kapten... "
"...."
Walaupun dia mencoba berbicara sepelan mungkin, aku masih saja bisa mendengarnya. Sambil memegang keningku sendiri, aku mendesah dengan pasrah.
"Hah..."
Sepertinya, ya, sepertinya, aku terlalu berlebihan dan membuat mereka tidak nyaman. Aku mungkin harus lebih bisa mengendalikan emosiku agar tidak lepas kendali.
Berpikir seperti itu, aku membuka mulutku untuk memisahkan mereka berdua.
"Sudahlah, berhenti bermain-main. Bukan berarti aku akan melampiaskan kekesalanku pada kalian"
"Bukankah kapten sering melakukannya!?" Balas Erik dengan cukup keras, tak kuasa menahan diri untuk menaikkan nada suaranya.
"Ya, benar. Kamu sering melakukannya" Imbuh Helena yang gemetaran, seolah mengingat pengalaman menakutkan di masa lalu.
Aku memiringkan kepalaku ke samping, merenungkan tuduhan yang mereka lontarkan padaku.
"... Benarkah?"
Yah, baiklah. Sepertinya aku memang sering melakukannya.
"Oke, lupakan tentang itu. Bantu aku membereskan semua ini" Kataku sambil mengambil pecahan meja dan mengumpulkannya.
"... Baiklah, kapten" Erik berhenti sejenak, tersenyum riang, dan kembali ke dirinya yang biasanya.
"Kau juga, Helena. Berhentilah melakukan itu dan cepatlah bantu aku"
Saat aku melirik Helena, aku melihatnya mengatupkan kedua tangannya dan menatap langit-langit dengan air mata mengalir, sembari mengucapkan hal-hal seperti: "Oh Tuhan, terima kasih telah memberikan kewarasan kepada makhluk yang mengerikan itu... "
... Sudahlah.
"Ngomong-ngomong, apakah terjadi sesuatu, kapten? Sepertinya kamu selalu dalam suasana hati yang buruk akhir-akhir ini". Erik bertanya dengan nada cerianya yang biasa.
"Tidak, tidak apa-apa. Sekalipun aku mengatakannya kamu juga takkan mengerti"
Jika aku berkata bahwa aku datang dari dunia lain dan aku dulunya hanya seorang gadis biasa yang bahkan tidak bisa menangkap seekor ayam, aku sudah bisa membayangkan dia akan menatapku dengan tatapan kasihan, menyeretku ke Psikolog, atau memasukkanku kedalam rumah sakit jiwa.
Yah, aku tiba-tiba dipindahkan ke dunia komik yang terdapat banyak monster dan orang-orang yang berbahaya. Ditambah lagi, aku malah menjadi karakter penjahat dengan akhir yang tragis. Dari sudut pandangku, bukankah aku mempunyai hak untuk marah?
Meskipun sudah 6 tahun sejak saat itu, aku tetap saja merasa kesal saat memikirkannya.
Mendengar perkatanku, Erik sedikit termenung, lalu tiba-tiba berseru, "Ah".
Dia kemudian menatapku dengan tatapan kasihan sambil bergumam pelan, "Begitu... Jadi periode itu sudah datang... Tidak kusangka kapten juga akan merasa seperti itu..."
"...?"
Apa yang dia bicarakan? Aku tak paham.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu memikirkan sesuatu yang positif, kapten? Mungkin itu akan membuatmu merasa sedikit lebih baik" Kata Helena yang akhirnya ikut membantu membereskan kekacauan.
"Sesuatu yang positif? Seperti apa?" Tanyaku sambil menatap Helena.
"Yah. Itu seperti, tidak ada insiden akhir-akhir ini, kan? Jadi kita bisa bersantai hari ini dan—"
"Ups. Helena, kamu mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kamu katakan"
Seolah diberi aba-aba, suara sirene meraung dengan keras begitu kata-kata Erik selesai.
[Kelompok organisasi kriminal Bayawak Twilight telah ditemukan di daerah Tanjung Priok Jakarta Utara. Semua anggota Tim 7 Hunter Investigation Force diharapkan untuk segera pergi ke lokasi.... ]
"Nah kan, lihat, aku benar". Erik dengan bangga membusungkan dadanya dengan senyum riangnya yang khas.
"...."
... Aku sangat ingin berkata kasar.
Mengapa pekerjaan harus datang saat aku sedang kesal?
Tanpa sadar, aku menatap Helena.
Sambil tertawa canggung, dia mundur beberapa langkah dariku dan berkata, "Yah... A-aha ha ha... se- sebaiknya kita segera berangkat..."
.... Benar. Aku harus menahan emosiku.
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Huh... "
Baiklah. Mau bagaimana lagi. Ini sudah menjadi tugasku sebagai anggota keamanan publik.
Tapi yah, itu bagus juga. Aku sedang kesal sekarang, dan ada samsak tinju gratis sedang menungguku diluar sana.
"Sudahlah. Ayo kita berangkat"
Karena itu adalah tugasku untuk menghukum para Hunter yang melakukan kejahatan.
Tunggu aku, samsak tinjuku!