Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Eternal Marionette

đŸ‡źđŸ‡©PankieeFfa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
461
Views
Synopsis
Seorang gadis yang menyukai tentang perihal menulis, setidaknya itu menjadi tempat pelarian baginya setelah menghadapi takdir menyedihkan yang ia derita. Namun di tengah kesunyian malam, tiba-tiba gadis itu reinkarnasi ke dalam ceritanya sendiri?!
VIEW MORE

Chapter 1 - Bunga Tidur Yang Tak Berujung

"Tak ada hal yang spesial bagiku."

Perkataan itu terlontar begitu saja di kala sang empu mengadah menatap cakrawala, hari ini begitu cerah dengan semilir angin yang menyertainya.

Namun tidak dengan melankolis gadis yang terduduk sayu di atas kursi roda, andai saja dia bisa merasakan rasanya bebas dan berlari selayaknya burung yang terbang. Itu akan terlihat menyenangkan bukan?

Hanya kekakuan, kesendirian, dan ketidakinginan menghadapi bentala bak penyiksaan baginya. Tapi apalah daya, seberapa pun ia tidak menginginkannya dia tetap harus menerima takdir menyedihkan ini.

Ia menunduk sendu, pena yang menggurat sebuah kertas kini menciptakan sebuah karya untuk dirinya sendiri, untuk secarik kisah yang takkan mungkin terjadi.

"Ayo kembali ke kamar." Suara perempuan terdengar berikutnya, membuat gadis itu menoleh ke asal suara. Itu adalah perawat yang selalu menjaganya meskipun sifatnya apatis dan kasar, ia menerimanya dengan lapang dada daripada ia mati tanpa perawatan dari sang suster.

Luna mengangguk, membiarkan kursi roda yang membawa raganya di dorong oleh perawat menuju kamarnya yang ada di ujung koridor rumah sakit.

"Makasih, udah mau anterin Luna."

"Makanya jangan sakit-sakitan terus, jikalau tidak ada uang, saya tak segan-segan menolak permintaan untuk merawat kamu." Cibir suster itu, sorot matanya yang apatis hanya terbalaskan senyuman tipis dari Luna, sebab dia sadar betapa lemahnya raga ini. Jadi siapa yang ingin membuang-buang waktu untuk merawat dirinya tanpa sepeser pun?

"Saya sudah siapkan bubur, jangan protes untuk apapun. Makan dan selesai."

Luna mengangguk sembari menatap perawatnya yang pergi menjauh keluar dari ruangan, meninggalkan dirinya seorang diri.

"Tuhan, kapan aku akan sembuh? ingin sekali rasanya menghirup udara segar untuk yang kesekian kalinya. ." Lirihnya lembut, litani yang dia panjatkan mencurahkan sebuah asa di dalamnya.

Sekilas, ia menatap kosong bubur polos dan sendok yang ada di atas nakas. Alih-alih menyantap bubur itu, ia kembali merangkai metafora yang sempat tertunda menggunakan pena yang kini menari-nari di atas kertas.

Terus merangkai metafora frasa demi frasa hingga tak terasa langit yang tadinya berwarna jingga berubah menjadi redup seperti binar nayanika miliknya.

"Ah sudah malam rupanya."

Ia menunduk, bulu matanya yang lentik seakan melindungi netra cantiknya.

Membaca kembali sebuah kisah yang ia gurat barusan, dengan tatapan nanar ia tersenyum tipis──hanya ada kehampaan yang tersirat, menggantikan sinar gembiranya dahulu.

"Ya.. Aku sangat tahu jika semua ini hanya ada dalam imajinasi tanpa batas milikku, jadi untuk apa terus berharap?"

Helaan nafas gusar terdengar berikutnya, sembari menaruh kertas dan penanya atas nakas. Ia berusaha turun dan mendudukan dirinya pada ranjang yang ada tepat di sampingnya.

Ruangan rumah sakit terasa begitu sunyi ketika malam semakin menyelimuti. Cahaya lampu remang-remang menyorot dari sudut langit-langit, memantulkan bayangan samar di dinding putih yang terasa begitu dingin. Bau obat-obatan yang menguar telah menjadi sebuah hal monoton baginya.

Luna menatap ke atas dengan tatapan kosong. Insomnia sudah menjadi teman yang menemani kesendiriannya, tapi kali ini, ia merasakan kelopak matanya lebih berat dari malam-malam sebelumnya namun di sisi lain sangat menenangkan. Seolah sesuatu yang tak terlihat sedang menariknya jauh ke dalam bunga tidur yang tak berujung.

"Mengantuk sekali. ."

Tepat setelah ia menutup mata, cahaya terang menyilaukan raga Luna yang berdiri heran diantara ruangan putih di sekitarnya.

Menenangkan rasanya. .

Ruangan itu hampa dan menyejukkan tak seperti dunia bising yang ia tempati, sampai suara familier terdengar dan itu ialah suara Luna sendiri.

"Semua ini hanya ada dalam imajinasi tanpa batas milikku, jadi untuk apa terus berharap?"

Sayup-sayup suara itu seakan membuat tuli pendengarannya, mau bagaimana pun itu terdengar seperti jutaan kali di putar.

Dia menoleh sekitar panik dengan kedua tangan yang menutupi telinganya, perlahan ia meluruh berjongkok di tengah sayup-sayup suara itu.

Pikirannya berkabut, tubuhnya gemetar tak karuan. Dingin merayapi ujung jari-jarinya dan naik perlahan menusuk dadanya seperti ribuan jarum es. Detak jantungnya melambat, suara di sekitarnya kini mulai terasa semakin jauh dari detik ke detik.

Pandangannya menjadi kabur. Udara menjadi hampa, gravitasi seolah lenyap hingga rasanya tubuh lemah itu di tarik ke dalam pusaran gelap.

Lalu semuanya berakhir.

Ia merasakan bau tanah basah dan kayu tua menyusup ke dalam indra penciumannya.

Perlahan, mata berwana biru seperti keindahan laut terlihat bersinar dan rambut putih tergerai indah membingkai fitur-fitur wajahnya yang kecil.

Ia melihat sekitar, pakan sapi yang berserakan di mana-mana dan beberapa kayu tua yang telah di tumbuhi jamur serta bau yang tak sedap berasal dari bangkai hewan.

"Aku dimana? Dan sepertinya ini adalah sebuah gudang.."

Suara manis terdengar ke telinganya, secara naluriah lengan lentik itu terulur untuk menutupi sekitar mulutnya.

Itu bukan suara Luna.

Matanya membelalak kaget setelah meraba-raba dirinya──Surai putih yang mencolok dan kulitnya yang porselen indah.

Dan benar saja, ia terlahir kembali menjadi Lucille Eirlys Charliena. Tokoh novel yang ia buat sendiri.