Chereads / Aku, Kembang Api, dan Perasaan itu / Chapter 1 - Bab 1 - Gemini

Aku, Kembang Api, dan Perasaan itu

🇮🇩TheFourFinger
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 25
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1 - Gemini

Sinar mentari sore sepertinya sedang malas menyinari bumi saat ini. Warna oranye perlahan berpencar ke seluruh gedung sekolah, seakan-akan mereka sedang mencari tempat untuk berteduh.

Kedua kakiku terus mencoba untuk menyamai langkahnya, aku menatap dia dari samping.

Dia memberi aura yang menarik perhatian dengan wajahnya yang manis. Rambut panjang itu juga berkibar setiap kali ia melangkahkan kaki dengan anggun. Siku kami yang bersentuhan, memberi informasi kehalusan yang tak terjamah.

Kesimpulan: Dia cantik.

"Apa sih, ngelihatin aku dari tadi?" dengan manja dia menangkap lenganku seakan mau jatuh.

"Hei, lepasin.. Aku bisa kena serangan jantung, tahu nggak!" Wajahku memanas, darah seakan mendidih dalam tubuhku.

"Ahahaha, kenapa harus malu-malu gitu, sih? Biasa aja kali!"

Memang benar apa yang dia katakan, sejak kecil kami sudah berteman, jadi tak perlu sungkan lagi. Hanya saja, bukan berarti dia bisa merangkul lenganku kapanpun dia mau, kan? Kalau teman-teman melihat ini pasti mereka akan menggoda kami dengan berteriak, 'Cieee, cieee!'

Lagipula, dari mana sih datangnya kebiasaan itu? Waktu Ir. Soekarno mengumandangkan Proklamasi, nggak ada kan yang bilang, 'Ciee-ciee'?!

"Mengerti posisimu dong."

"Kamu ini gadis tercantik di sekolah ini! Jaga image kenapa sih?" Kurasa ini sudah yang keseribu kalinya aku menasihatinya.

"..." Dia memalingkan wajah, namun aku bisa melihat pipinya memerah.

Hah? Aku benar-benar tidak mengerti wanita. Adella Amriza, sosok idola di SMA Swasta Polonia ini, sedang merangkul sosok biasa bernama Danar Prayetno.

"Oh iya, ngomong-ngomong..."

"Bagaimana dengan Kak Andi? Udah jadian?"

"K-kamu tahu dari mana?" Matanya terbelalak kebingungan. Kalau orang biasa mungkin akan langsung jatuh cinta melihat manisnya dia saat ini.

"Ya, sebelum dia mau nembak kamu, dia banyak tanya tentang kamu ke aku."

Benar, setiap ada pria yang mau menembak Della, mereka akan menanyaiku sebelumnya. Seperti, apakah aku punya hubungan dengan dia atau tidak. Atau bahkan menanyakan apa saja yang disukainya. Semua itu adalah bekal untuk pergi ke medan pertempuran.

Ingat! Seorang pria harus mempersiapkan segala sesuatunya.

"Aku nggak mau..."

Sudah kuduga.

Memang bukan yang pertama kalinya juga sih, tetapi kenapa? Setahuku, dia belum pernah pacaran sekalipun.

"Syukurlah!" Aku dapat merasakan tatapan mata Della saat aku mengatakan itu.

"Berarti, kita adalah Sahabat Jomblo! HAHAHAHA." Menyedihkan sekali hidupku ini.

Aku berhenti tertawa karena terkejut merasakan tanganku sudah leluasa. Della mempercepat langkahnya dan meninggalkanku.

"Gak peka..."

Aku seperti mendengar dia mengatakan sesuatu, namun aku mengabaikannya. Apa dia marah karena aku bilang jomblo? Aku kan cuma bercanda.

Aku mengernyitkan alis, melihat tingkahnya yang tiba-tiba diam. Kaki kami memberi ketukan bertempo saat berjalan bersama. Tak lama, kami berhenti di dekat lampu lalu lintas. Keheningan ini benar-benar membuatku risih.

Berjalan di hadapanku, Della menyebrang lebih dahulu. Namun aku melihat lampu hijau masih menyala di atas sana. Mendengar suara desing mesin dari jalan raya tersebut, dengan spontan aku menarik Della dari tempatnya.

Kedua kakiku kehilangan keseimbangan dan terjatuh, mungkin karena aku terburu-buru menangkapnya. Aku menimpanya, namun lenganku menahan kepalanya agar tidak membentur jalan.

Aku baru sadar betapa kecil tubuh Della dalam bekapanku. Sangking dekatnya kami berdua, wangi sampo Della saat ini menembus indra penciumanku.

Aku merasakan perih di lenganku, tadi itu pasti terbentur cukup keras. Meringis sakit, aku baru sadar akan keadaan kami saat ini. Tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata Della, aku dapat merasakan napasnya di wajahku. Kupingnya memerah dan napasnya semakin cepat. Aku tak pernah sedekat ini dengan Della, pikirku.

Tanpa basa-basi aku langsung bangkit berdiri dan membersihkan pakaianku. Dia juga melakukan hal yang sama.

"Kamu baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

Namun dia beranjak pergi dan menyebrang jalan tersebut, meninggalkanku. Apa-apaan ini? Gak ada terima kasih buatku? Seperti, 'Terima kasih ya, Nar, karena udah menyelamatkan aku tadi.' Lalu memberikan satu kecupan manja, paling tidak di pipiku?

Aku menyerah dengan gadis ini.

Sepanjang jalan aku hanya seperti anjing peliharaan yang sedang mengikuti majikannya. Hening. Tak ada satu pun dari kami yang membuka suara. Entah sudah berapa lama kami berjalan, akhirnya pun kami tiba di depan rumah Della.

Lalu dengan begitu, inilah akhir perjalanan canggung seumur hidupku. Namun saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, aku melihat Della membalikkan badannya ke arahku.

Bibir tipisnya melengkung perlahan, mengukir sebuah senyuman. Matanya menatapku dengan lembut, tidak memancarkan aura gadis populer seperti biasanya. Itu semua adalah sebuah ekspresi yang aku tidak tahu bahwa dia pernah menunjukkannya pada siapa pun.

Saat ini, aku merasa bukan melihat sahabatku lagi. Aku bukan melihat Della yang sering menjahiliku waktu kecil. Bukan Della Amriza yang aku kenal.

Untuk pertama kalinya, aku merasa asing pada diri Della.

oOo

Di rumah, aku gelisah. Sudah tiga kali aku mencoba mengirim SMS, tapi tak kunjung ada balasan darinya. Apa dia masih marah? Seharusnya aku minta maaf tadi sore.

Saat aku sibuk mengutuk diriku sendiri, suara ibu memanggil dari dapur.

"Nar, turun dulu sini!"

Aku menggerutu, tetapi tetap turun. Ibu menyodorkan panci berisi sop ayam dan menyuruhku mengantarkannya ke rumah Della.

Ke rumah Della? Aduh...

Sesampainya di rumah Della, aku memanggil namanya. Namun suara yang menjawab dari dalam membuatku mengernyit.

"Lia! Buka dulu pintu, ada tamu!"

Siapa Lia? Sepupu Della?

"Ah!" tak lama aku menunggu, pintu sudah dibukakan untukku.

Namun yang menyambutku bukanlah yang kuharapkan. Della sekarang ini membukakan pintu untukku. Dia memakai baju tidur berwarna Aqua marine yang imut, rambutnya juga diikat dan diselempangkan di bahu kanannya. Wajahnya juga terpasang sebuah kacamata.

Tunggu dulu! Kacamata? Sejak kapan?

"D-della?" meskipun aku menyapanya namun itu juga sebuah pertanyaan.

"Silahkan masuk"

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Ada sesuatu yang berbeda. Nada suaranya terdengar lebih lembut, tatapannya lebih tenang, seolah aku sedang berbicara dengan orang lain.

Ibu Della datang menyambut.

"Oh, Danar rupanya!" katanya, seperti tidak terjadi apa-apa.

Tapi aku merasa ada sesuatu yang janggal. Della yang kukenal lebih ceria dan sedikit usil. Tapi yang berdiri di hadapanku ini, meski memiliki wajah yang sama, terasa begitu berbeda.

Saat aku hendak menyerahkan sop ayam dari ibuku, aku memperhatikan tangannya. Jemarinya bermain di ujung bajunya, sesuatu yang tidak pernah kulihat dilakukan oleh Della sebelumnya.

"Bawa ini ke dapur ya, Lia!" ucap ibunya tiba-tiba.

Aku membeku di tempat.

"Lia?"

Seketika, gadis di depanku berhenti. Ia menoleh ke arahku dengan ekspresi aneh, seperti terkejut tapi sekaligus... bersalah?

Aku menoleh ke arah ibu Della, mengharapkan jawaban. Tapi raut wajahnya sedikit berubah, seolah ada sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku.

"Kamu pasti bingung, ya?" suara lembut ibu Della memecah keheningan.

Aku menelan ludah. Entah kenapa, jantungku berdegup lebih kencang.

"Adelia Amriza..."

Aku menunggu kelanjutannya, napasku sedikit tercekat.

"Itu adalah nama saudara kembar Della."

Aku merasakan tubuhku membeku.

"Adik kembar Della, dia meninggal saat berumur tiga tahun."

xXx