Di sore yang tenang, Raine duduk bersandar di kursi kayu usang di sudut ruang tamunya, matanya terfokus pada layar televisi yang terpasang di dinding. Suara berita terus mengalir dengan nada serius, namun wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda kecemasan.
"Berita terkini, ketegangan antara negara-negara besar semakin memuncak. Ada desas-desus yang mengatakan bahwa perang nuklir mungkin akan segera terjadi," suara pembaca berita itu menggema di ruangan.
Raine hanya menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya lebih nyaman. Sudah setahun terakhir berita yang sama terus terdengar, namun dunia tetap saja berjalan seperti biasa.
"Ya, ya, mereka sudah mengatakannya sejak tahun lalu," gumamnya santai, memutar bola matanya dengan sedikit rasa bosan. "Jika perang itu benar-benar akan terjadi, kenapa tidak sekarang saja?"
Dia menyalakan rokoknya dan meniupkan asap ke udara, menyandarkan tubuh ke kursi dengan wajah yang lebih mirip seorang pengamat, bukan seseorang yang khawatir tentang apa yang sedang dibicarakan.
"Setahun penuh ketegangan, tapi dunia tetap berjalan. Mungkin mereka hanya mencari perhatian," lanjut Raine, berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun di sekitarnya.
Layar televisi tetap menyala, namun ia tak lagi terlalu memedulikannya. Ini sudah menjadi rutinitas, mendengar berita apokaliptik yang tak kunjungi datang.
Akhirnya raine berdiri dan keluar rumah lalu menutup pintu rumah dengan tenang, matanya menyapu sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mencurigakan. Udara pagi terasa segar meski langit tampak kelabu. Di luar rumah yang sederhana, tanah yang sudah retak karena kekeringan masih tampak luas, dipenuhi rerumputan kering dan beberapa pohon yang hampir mati.
Langkah kaki Raine terdengar mantap di jalan tanah, menuju hutan kecil di pinggiran desa. Di pundaknya tergantung tas berbahan kulit tua, penuh dengan peralatan berburu—panah, pisau, dan kantong kecil berisi obat-obatan. Ia sudah terbiasa berjalan jauh, setiap langkah penuh tujuan.
"Harus dapat sesuatu hari ini," gumamnya, berusaha memastikan dirinya tidak pulang dengan tangan kosong seperti kemarin.
Saat sampai di tepi hutan, Raine menyiapkan busur panjangnya. Dengan gerakan terlatih, ia menyiapkan anak panah dan menarik busur, menunggu dalam diam. Suara alam di sekitar hutan begitu sunyi, hanya terdengar suara daun yang bergesekan karena angin yang perlahan berhembus.
Sekitar beberapa menit kemudian, seekor rusa muncul dari balik semak-semak. Raine tidak langsung melepaskan anak panah. Ia menunggu, mengamati gerakan rusa yang tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Napas Raine teratur, matanya tajam mengarah ke sasaran.
"Ini dia," bisiknya dengan penuh keyakinan, lalu dengan gerakan cepat, ia melepaskan anak panah. Panah itu terbang lurus dan tepat mengenai sasaran.
Rusa itu terjatuh dengan suara lembut, dan Raine berjalan mendekat, tak terburu-buru. Dengan keterampilan yang sudah diasah selama bertahun-tahun, ia menghabisi rusa tersebut dengan cekatan. Tidak ada rasa puas, hanya kewajiban yang terpenuhi.
"Jangan pernah menganggap remeh alam ini," Raine berbicara pada dirinya sendiri, saat ia memulai proses membersihkan hasil buruannya. "Itu bisa saja menjadi hidup atau mati."
Dia mengangkat rusa itu dengan hati-hati, memastikan tidak ada bagian yang terbuang, dan melanjutkan perjalanan pulang dengan beban di punggungnya. Sambil berjalan, pikirannya mulai melayang kembali pada berita yang tadi didengarnya. Meski dunia sudah hancur dan penuh kekacauan, kadang, dalam keheningan hutan, Raine merasa masih ada sedikit rasa aman yang bisa dia nikmati.
Namun, tak lama, langkahnya berhenti. Sesuatu di kejauhan menarik perhatiannya. Seorang pengelana, atau mungkin lebih tepatnya, sebuah ancaman—masih sulit untuk dibedakan. Namun, insting Raine bekerja cepat, matanya sudah mengawasi dari
kejauhan.
"Siapa mereka?" gumamnya, siap menghadapi apapun yang datang.
Akhirnya Raine segera menundukkan tubuhnya, merunduk di balik semak-semak yang rimbun, tubuhnya bergerak hati-hati agar tidak mengeluarkan suara. Ia menahan napas, memastikan langkah kakinya tidak terdengar, dan hanya matanya yang bergerak cepat, mengamati dari tempat persembunyiannya.
Di kejauhan, beberapa sosok muncul, bergerak dengan langkah tegas. Mereka mengenakan seragam militer yang jelas terlihat berbeda dengan pakaian sipil, lengkap dengan senjata dan perlengkapan tempur. Raine tahu persis siapa mereka—tentara dari negara besar yang telah lama memegang kendali atas banyak hal, bahkan dalam dunia yang hancur ini.
"Sial," bisiknya pelan, matanya tak lepas dari sosok-sosok tersebut. Mereka tidak menyadari kehadirannya, dan itu adalah keuntungan baginya.
Dari posisinya yang tersembunyi, ia mendengar percakapan mereka yang makin jelas terdengar seiring angin yang berhembus pelan.
"Jadi, benar kita akan mulai dalam waktu dekat?" suara seorang pria berotot terdengar serius. "Nuklir... kita tidak punya banyak waktu lagi."
"Ya," jawab seorang wanita dengan suara tegas. "Kita sudah mengecek semuanya di markas militer. Misil nuklir sudah siap. Kita hanya menunggu perintah terakhir dari atasan."
Raine semakin menahan napas, tubuhnya semakin merunduk untuk memastikan tidak ada suara apapun yang mengkhianatinya. Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Ini bukan hanya desas-desus seperti yang sering dia dengar. Ini nyata.
"Setelah ini, tak ada yang akan sama lagi," pria itu melanjutkan, terdengar percaya diri. "Kita akan membersihkan segala yang lemah, memulai dari awal. Hanya mereka yang cukup kuat yang akan bertahan."
"Dan dunia akan dilahirkan kembali," wanita itu menambahkan, suara terdengar dingin. "Kita akan menguasai segalanya."
Raine meremas tanah dengan tangannya. Tidak ada yang bisa diprediksi, tapi satu hal yang pasti—dunia ini akan hancur lebih jauh lagi jika mereka benar-benar meluncurkan senjata nuklir itu. Itu adalah akhir yang tak terelakkan bagi siapa saja yang tidak siap.
Raine menggelengkan kepala pelan, merasa dunia yang dia kenal semakin jauh dari genggamannya.
"Jadi... kapan?" tanya pria yang lain, memastikan.
"Beberapa hari lagi," jawab wanita itu dengan tegas, "Perintah datang langsung dari atas."
Raine mendengarkan sejenak lagi, namun saat itu dia tahu. Semua ini bukan hanya ancaman kosong. Jika misil nuklir benar-benar diluncurkan, dunia yang masih tersisa akan hancur dalam sekejap.
Dia tidak bisa tinggal diam, tetapi juga tidak bisa bergerak lebih dekat. Semua yang dia dengar itu cukup untuk membuatnya sadar akan bahaya yang lebih besar yang akan datang. Langkah terbaik sekarang adalah tetap tersembunyi, mendengarkan lebih banyak, dan mencari tahu siapa yang bisa diandalkan—karena jelas, tidak ada ruang untuk kesalahan.
"Jaga mata kalian tetap terbuka," wanita itu berkata sebelum mereka mulai bergerak menjauh. "Kita tidak ingin kejutan yang tak diinginkan."
Raine tetap di tempatnya, menunggu beberapa saat setelah suara mereka menghilang. Setelah yakin tidak ada yang mengawasi, ia mulai bergerak perlahan, berbalik menuju hutan. Ada banyak hal yang harus dipikirkan. Ada banyak langkah yang harus diambil.
Namun satu hal yang jelas dalam pikirannya—perang nuklir bukan lagi sekadar desas-desus. Itu nyata. Dan dunia yang dikenalnya akan segera berubah.
Raine menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Pikiran-pikirannya berkecamuk, namun ia tahu, dalam situasi seperti ini, panik hanya akan membuat semuanya lebih buruk. Dengan langkah cepat, ia mulai berjalan kembali ke arah rumahnya, rusa yang ia buru masih tergantung di punggungnya, meskipun beban itu kini terasa lebih berat daripada sebelumnya.
Setiap langkahnya terdengar jelas di jalanan yang sunyi, namun tidak ada waktu untuk memperlambat langkah. Semakin dekat ia menuju rumah, semakin terasa ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya. Semua yang baru saja ia dengar—tentang misil nuklir yang siap diluncurkan, tentang dunia yang akan hancur lebih cepat dari yang ia duga—membuatnya merasa semakin tak berdaya.
Di tengah jalan, Raine menoleh sebentar ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Hanya angin yang berdesir dan daun-daun yang berguguran, tetapi hatinya tetap tak tenang.
"Ini bukan hanya tentang bertahan hidup lagi," gumamnya pelan, merasa seperti sesuatu yang lebih besar dari dirinya sedang terjadi. "Ada sesuatu yang lebih besar yang harus aku hadapi."
Ketika akhirnya ia sampai di rumah, Raine mendorong pintu kayu yang sudah sedikit lapuk itu dengan tenaga yang lebih keras dari biasanya. Ia menurunkan rusa dari punggungnya dengan gerakan cekatan, namun tubuhnya terasa lelah, bukan karena hasil buruannya, tetapi karena ketegangan yang sudah menumpuk dalam dirinya.
Ia duduk di meja kayu usang di sudut ruangannya, memandang rusa yang kini tergeletak di depan mata. Namun matanya tak benar-benar melihat, pikirannya melayang jauh.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Sudah setahun dunia ini berada dalam kekacauan, dengan tanda-tanda kehancuran di mana-mana. Namun percakapan yang baru saja ia dengar—tentang nuklir, tentang perang yang tak bisa dihindari—membuatnya merasa seperti hidupnya kini berada di ujung tanduk.
Tidak ada lagi waktu untuk menunda. Raine tahu, hidupnya yang sederhana sebagai pemburu, meskipun membuatnya merasa aman untuk sementara waktu, tak akan cukup lagi. Dunia ini semakin kecil, dan semakin sedikit tempat yang aman.
"Tak ada yang bisa menghindari ini," ia berkata dengan suara pelan, berusaha menenangkan dirinya. "Aku harus siap."
Dengan langkah perlahan, ia mulai menyiapkan rusa yang baru saja ia buru. Ia tahu, beberapa hal harus tetap dilakukan meskipun dunia sekitar mulai runtuh. Namun di dalam hatinya, ia juga tahu bahwa dunia yang ia kenal takkan bertahan lama.
Raine menyalakan api di perapian kecil di sudut ruangannya, aroma daging rusa mulai tercium. Suara daging yang mulai terpanggang memecah keheningan yang mencekam. Namun, meskipun ia sibuk menyiapkan makanan, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Percakapan yang ia dengar tentang misil nuklir dan ancaman dari kelompok militer terus terputar dalam benaknya.
Raine menyendok sedikit daging yang sudah matang dan memakannya, namun rasanya tidak seperti biasanya. Tak ada kepuasan yang ia rasakan. Pikirannya lebih terfokus pada pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Bagaimana bertahan hidup dalam dunia yang hancur ini?
Sambil makan, ia melirik ke arah pintu kecil yang mengarah ke lorong bawah tanah di belakang rumahnya. Itu adalah tempat yang hanya dia dan beberapa orang yang sangat ia percayai yang tahu tentang keberadaannya. Tempat itu berfungsi sebagai ruang penyimpanan, tetapi juga sebagai tempat perlindungan yang lebih aman.
Raine bangkit dan berjalan menuju pintu lorong, kunci tua yang selalu ia bawa di saku terpasang pada pintu itu. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu dan turun ke bawah tanah, lampu redup di sepanjang lorong yang sempit. Setiap langkahnya terasa berat, seakan beban dunia yang ia hadapi makin lama makin menekan dadanya.
Lorong bawah tanah itu penuh dengan persediaan yang disiapkan Raine untuk keadaan darurat—termasuk beberapa senjata yang ia sembunyikan dengan hati-hati. Senapan, pisau besar, bahkan bahan peledak yang cukup untuk bertahan jika dunia benar-benar berakhir. Dia tahu betul, suatu saat persediaan itu bisa jadi sangat dibutuhkan. Perang nuklir mungkin menjadi kenyataan, dan dunia yang dikenal Raine mungkin akan segera menjadi reruntuhan.
Raine mengamati senjata-senjata itu, menyentuh peluru-peluru yang disusun rapi. Tak ada pilihan selain menggunakan apa yang ada jika memang perang yang mengerikan itu datang. Jika kelompok militer itu memang benar-benar berniat meluncurkan misil nuklir dan menghancurkan segalanya, maka bertahan hidup akan menjadi lebih sulit.
"Kalau memang mereka takkan berhenti," gumamnya, "aku harus siap menghadapi apapun."
Dia menurunkan senapan ke tangannya, memeriksa kondisi alat itu dengan seksama, memastikan bahwa semuanya berfungsi dengan baik. Di dunia yang penuh ketidakpastian ini, persiapan seperti ini akan sangat menentukan siapa yang bertahan dan siapa yang tidak.
Raine kembali ke ruangannya dengan langkah tegas. Ia tahu, jalan yang ia pilih kini bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk menghadapi dunia yang penuh ancaman, yang telah lama ia kenal. Dan dengan persenjataan yang kini siap, Raine merasa sedikit lebih kuat, meski tak ada jaminan tentang masa depan.
"Jika mereka datang," Raine berbisik pada dirinya sendiri, "maka aku akan siap."
Raine duduk kembali di meja kayu, piring yang kini berisi sisa daging rusa yang hampir habis. Suasana hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar gemerisik api yang membakar kayu di perapian. Ia menatap piring itu seakan makanan di depannya tak lebih dari sekadar kewajiban yang harus ia penuhi, bukan sesuatu yang bisa dinikmati.
"Jika benar apa yang mereka katakan... perang nuklir akan datang," gumamnya pelan, suara itu seolah hilang tertelan ruang yang kosong.
Ia menatap api dengan tatapan kosong. Apa yang akan terjadi jika dunia ini benar-benar hancur? Ketika pasokan makanan semakin langka, ketika kota dan desanya mulai hancur, siapa yang akan menjadi musuh? Semua orang, bukan? Pikirnya. Semua orang yang sebelumnya hidup berdampingan, sekarang akan saling berebut untuk bertahan hidup. Tidak ada teman, tidak ada keluarga, hanya masing-masing berjuang untuk tetap bernapas.
Raine menarik napas panjang, menyendok sisa daging dan memakannya tanpa banyak berpikir. Otaknya bekerja dengan cepat, menghitung setiap kemungkinan. Dia tahu bahwa jika perang nuklir memang terjadi, kota ini akan dipenuhi dengan kekacauan. Semua orang yang dulu ia kenal, para pedagang, para petani, bahkan teman-temannya, mungkin akan berubah menjadi ancaman.
"Hanya yang kuat yang akan bertahan," ia berkata dengan suara rendah, lebih pada diri sendiri daripada siapa pun. "Dan aku harus menjadi salah satu dari mereka."
Ia menatap keluar jendela, menyaksikan langit yang tampak tenang, meskipun hatinya gelisah. Dunia ini tak lagi bisa dianggap biasa. Raine tak hanya harus bertahan dari bahaya luar, tapi juga dari manusia-manusia yang mungkin tak lagi mengenal belas kasihan.
Malam semakin larut, namun Raine tak bisa tidur. Berpikir tentang kemungkinan terburuk, tentang dunia yang terpecah, membuat matanya tak bisa terpejam. Ia tahu, di luar sana ada orang-orang yang sudah bersiap-siap untuk bertarung, untuk merebut apa yang tersisa dari dunia ini. Dan di saat itu, tak ada yang bisa diandalkan selain diri sendiri.
"Apapun yang terjadi," bisiknya, "aku tidak bisa hanya duduk diam."
Raine meletakkan sendok dan duduk tegak, pandangannya penuh tekad. Apa pun yang akan terjadi di masa depan, ia tidak akan menyerah begitu saja. Untuk bertahan hidup di dunia yang baru ini, dia harus lebih keras, lebih cepat, dan lebih tangguh dari siapa pun.
Karena satu hal yang pasti: jika perang itu datang, maka semua orang di kota ini akan menjadi musuhnya—dan Raine harus siap menghadapinya.
Singkat cerita Keesokan harinya saat Pagi hari, Raine terbangun dengan rasa berat di dadanya. Ia terjaga lebih awal dari biasanya, merasakan sesuatu yang tidak biasa mengganggu tidurnya. Ia mengucek mata dan mencoba untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya, yang tampak sunyi. Namun, sesuatu terasa aneh.
Tiba-tiba, suara keras yang memekakkan telinga menggema di seluruh kota—suara sirine. Suara yang seharusnya hanya terdengar di saat-saat darurat, namun kali ini lebih lama, lebih menakutkan, dan seakan mengingatkan akan datangnya sesuatu yang lebih buruk.
Raine langsung duduk tegak di tempat tidurnya, napasnya terengah-engah. Ia menatap jendela yang masih gelap, tak mampu bergerak sejenak. Sirine itu semakin keras, makin jelas terdengar di seluruh penjuru kota. Semua yang ia khawatirkan, semua yang ia takutkan, kini seperti akan menjadi kenyataan.
Perang itu—perang nuklir yang sudah lama diperkirakan—terjadi.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Raine menarik jaketnya, memakainya dengan cepat, dan berdiri. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat, pikirannya kacau, dan tubuhnya kaku. Dunia yang selama ini ia coba pertahankan dengan segala persiapannya, kini terancam hancur begitu saja.
Raine berlari ke luar rumah, menyaksikan langit pagi yang cerah, namun rasanya seperti dunia sedang bersiap untuk meledak. Suara sirine terus menggema, dan seiring dengan itu, suara langkah kaki yang terburu-buru mulai terdengar di sekitar rumahnya.
"Ini saatnya..." bisik Raine dalam hati, hanya untuk dirinya sendiri.
Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, tiba-tiba sebuah ledakan besar terdengar dari kejauhan, menggetarkan tanah di bawah kakinya. Hening seketika. Dunia terasa seperti berhenti.
Dan dengan itu, Raine hanya bisa berdiri di tempat, menatap cakrawala yang kini dipenuhi dengan kabut asap, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Akankah ia berhasil bertahan hidup?
Semua yang ia lakukan selama ini, apakah akan cukup untuk menghadapi kenyataan yang ada?