Jutaan tahun telah berlalu sejak dentuman besar yang terakhir. Semesta kembali tenang, atau setidaknya, mencoba untuk menenangkan dirinya setelah luka yang dalam ditinggalkan oleh perang para Constellation.
Galaksi-galaksi melayang bagai pulau-pulau yang hanyut di samudra hampa. Cahaya bintang-bintang baru mulai menyala, dan kehampaan menari-nari lembut di antara waktu yang beku.
Namun... di dalam celah terdalam kekacauan itu, sesuatu terbangun.
Di tempat di mana realitas sendiri pernah terkoyak dan diremukkan oleh konflik antar entitas tertua semesta, ia membuka mata. Tapi apa itu "mata"?
Tak ada bentuk yang bisa menjelaskan sosok ini. Tak ada bahasa kuno maupun modern yang mampu melukiskannya.
Ia adalah sesuatu yang tidak seharusnya ada, namun tidak dapat dihindari.
Tak bersuara. Tak bernapas. Tak punya bentuk tetap. Dan tetap saja... ada.
Dalam keheningan absolut, sosok itu bangkit perlahan. Tidak dari tempat—melainkan dari ketiadaan itu sendiri. Tak satu pun planet, bintang, atau galaksi di dekatnya.
Hanya ruang hampa yang nyaris tak mengenal konsep waktu. Namun dalam kehampaan itu, bintang-bintang berjauhan tampak berkedip… seakan mereka merasakan kehadirannya.
Ia mengangkat kepala. Perlahan. Tubuhnya tersusun dari serpihan dimensi yang retak dan berpendar.
Tidak ada wajah, hanya pusaran kosmik yang menyembunyikan identitasnya. Punggungnya tampak seperti sisa pecahan bintang yang belum terbentuk, menggantung seperti reruntuhan langit yang patah.
Lalu, dari kejauhan—cahaya galaksi memantul dalam lapisan spasial yang tipis. Ia menatap ke arah pantulan itu dan... melihat dirinya sendiri.
Tidak... bukan "dirinya". Ia tidak tahu siapa atau apa ia sebenarnya.
"Apa aku?"
Pertanyaan itu hanya berputar dalam keheningan, tak ada jawab. Sampai...
Sebuah suara menggema.
"Kau adalah obat… dari luka terdalam yang diciptakan semesta. Terlahir dari kekacauan Constellation, hiduplah… Stellar Aberration, anakku."
Suara itu tidak berasal dari luar. Ia ada di dalam dirinya—atau entah dari jauh, di luar jangkauan apapun.
Seperti gema dari asal-usul semesta itu sendiri. Setiap kata membelah ruang, menciptakan riak-riak kecil di dimensi.
Stellar Aberration.
Sebuah nama yang belum pernah ada… dan kini menjadi kenyataan.
Ia mengangkat tangan—atau sesuatu yang serupa tangan—untuk meraih suara itu. Tapi tidak ada apapun. Tidak ada sumber, tidak ada arah. Ia hanya sendirian.
Ia... sendiri.
Untuk waktu yang tidak bisa dihitung.
Lalu, matanya—jika ia memang punya—tertuju ke satu arah. Satu titik kecil yang berbeda dari lainnya.
Dikelilingi oleh semburat energi hidup, warna-warna yang bergerak, dan denyut yang... hangat. Galaksi Aegrion.
Ia menatapnya dalam diam.
"Dari seluruh galaksi yang ada… hanya satu yang memiliki kehidupan di dalamnya,"
gumamnya dengan suara rendah, serak, seperti tabrakan neutron dan nyanyian waktu yang putus.
"Namun... untuk apa aku ada? Apa yang harus kulakukan sebenarnya?"
Tak ada yang menjawab.
Tak ada suara dari semesta, hanya gema dari dirinya sendiri. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang... bergolak.
Sebuah sensasi aneh. Bukan amarah, bukan keinginan, bukan belas kasih. Sesuatu yang belum pernah ada di antara para Constellation—kesadaran tanpa niat.
Ia tidak merasa lapar akan kekuasaan. Ia tidak ingin menciptakan, tidak ingin menghancurkan. Tapi keberadaannya sendiri cukup untuk mengguncang keseimbangan.
Dan semesta... merasakannya.
Sementara itu, di Aegrion...
Bintang ungu kebiruan yang sebelumnya berkedip kini mengganggu alur sihir di sebagian planet.
Penjaga langit tertua mulai resah. Para penyihir agung di Menara Zenth merasakan kilasan mimpi buruk dalam meditasinya. Beberapa orang mulai mendengar suara aneh di telinga mereka, suara yang tidak berasal dari galaksi ini.
"Sesuatu… telah bangkit," gumam seorang High Sage, wajahnya pucat pasi.
Namun itu baru awalnya.
Kembali ke kekosongan antara galaksi...
Tiba-tiba, dari kehampaan, muncul cahaya terang. Salah satu Constellation, rasi naga purba bernama Thyrryx, muncul dari portal spasial.
Sosoknya megah, terbuat dari tulang bintang dan api kehampaan. Ia menatap Stellar Aberration dari jauh.
"Apa yang kau lakukan di sini, entitas?"
Suara Thyrryx mengguncang partikel waktu. Stellar Aberration menatapnya. Lama. Diam.
"Aku... tidak tahu."
Thyrryx mendesis. "Jika kau bukan bagian dari kami, kau bukan apa-apa. Jika kau bukan ciptaan kami, kau adalah anomali. Dan anomali... harus dihancurkan."
Tanpa peringatan, Thyrryx melesat. Galaksi-galaksi kecil yang dilaluinya hancur karena gaya tariknya yang gila.
Ia menyerang dengan semburan api antimateri—sesuatu yang bahkan bisa memusnahkan bintang dalam sekejap.
Tapi sebelum cahaya itu menyentuh Stellar Aberration...
Ia mengangkat satu jari.
Waktu... berhenti.
Tidak, bukan hanya waktu. Realitas itu sendiri membeku. Suara berhenti, cahaya menjadi padat, ruang menjadi cair. Semua hukum eksistensi... rusak.
Dan dalam keheningan itu, Stellar Aberration berbicara.
"Aku tidak ingin bertarung."
Namun kehendak semesta berbeda. Dalam satu denyutan jantung, Thyrryx meledak dari dalam.
Tidak seperti kehancuran biasa—melainkan pecah menjadi warna-warna yang belum pernah dikenal, serpihan bentuk, emosi, dan nyanyian yang membelah realitas.
Tak ada tubuh yang tersisa. Hanya gema kehancuran... yang perlahan sirna.
Stellar Aberration menatap tangannya. Ia tidak melakukan serangan. Ia hanya... bereaksi.
Dan entah kenapa, ia merasa... bersalah.
Di Langit Aegrion
Para penyihir, seers, dan penjaga galaksi kini melihat tanda-tanda yang tak bisa disangkal.
Kompas bintang mulai berputar liar. Ritual kuno gagal. Ramalan berbicara tentang sang yang tak terucap. Dan satu kalimat tertulis dengan darah di altar suci:
"Ia telah bangkit."
Kembali ke Batas Semesta
Stellar Aberration kini melayang dalam diam. Matanya—atau apa pun yang ia gunakan untuk melihat—menatap Aegrion.
"Satu galaksi... satu kehidupan... dan aku yang tak memiliki tujuan."
Lalu ia menutup matanya, dan untuk pertama kalinya...
Ia mendengar detak jantung.
Namun bukan miliknya.
Detak jantung... semesta.
"When a being is born not from light nor darkness, but from the wound of the cosmos itself—
It does not walk… it drags existence in its wake.
It does not speak… it redefines silence.
It does not desire… it simply becomes.
— The Book of Orundhal, Chapter I
Di ujung barat planet Velgrin, pada dataran tinggi Talth'Aeryon, sebuah pertemuan besar tengah berlangsung.
Di tengah lingkaran batu raksasa yang disusun oleh peradaban kuno yang sudah punah, lebih dari seratus sosok berkumpul.
Mereka bukan sembarang makhluk—mereka adalah para Marked, ras kuno yang menerima anugerah langsung dari para Constellation, menjadikan mereka pelindung, pemimpin, dan penghancur sekaligus.
Valtherion berdiri diam di pinggiran lingkaran, matanya tajam memandangi satu per satu sosok di hadapannya.
Ia berasal dari ras Elarin, ras Eldrin yang sudah berevolusi, makhluk bersayap kristalin dengan kulit seperti batu obsidian yang menyala dalam gelap.
Anugerahnya datang dari Orion, sang penguasa busur kosmik, yang memberinya kemampuan membelokkan garis waktu dengan panah kosmik dalam jangkauan tertentu.
Lalu seorang Marked yang berdiri di pusat lingkaran berbicara. Sosoknya tinggi, jauh lebih tinggi dari makhluk lainnya, dengan kulit keperakan dan mata menyala seperti plasma bintang.
Dia dari ras Voryn-Ka, dan dikenal sebagai Khaedros, yang menerima anugerah dari Zhal'Quar, Constellation Petarung Agung.
"Sesuatunya tidak seperti biasanya," ujar Khaedros dengan suara bergemuruh seperti retakan bumi.
"Fluktuasi energi terasa semakin kuat. Beberapa rasi bintang telah lenyap dari langit malam. Dan lebih dari segalanya—Thyrryx telah musnah."
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti petir yang membelah keheningan. Desas-desus langsung merebak di antara para Marked.
"Kau yakin?" tanya seorang Marked dari ras Na'rell, makhluk air dengan tubuh transparan dan kepala seperti terumbu karang.
Ia bernama Selvani, penerima anugerah dari Hydrenn, sang Constellation Lautan Kosmik. "Thyrryx adalah salah satu yang agung. Tidak mungkin musnah begitu saja."
"Lebih dari dua puluh Marked yang menerima kekuatannya telah... meledak dari dalam," jawab Khaedros dengan nada muram.
"Kekuatan itu tak bisa dikendalikan tanpa sumbernya. Mereka mati... tapi tidak sebelum menyebabkan kehancuran di lima benua."
Semua kembali terdiam. Lalu, seorang sosok berjubah putih dan emas berjalan ke tengah lingkaran.
Ia sangat tua, namun wajahnya seakan berdamai dengan waktu. Matanya tertutup oleh kain, namun aura yang dipancarkannya menyelimuti semua orang.
"Great Sage Rhy'larn," bisik beberapa Marked penuh hormat.
"Ramalan telah membisu," ujar Rhy'larn lirih. "Para Seers tak lagi menerima gambaran masa depan. Visi kami kabur, seperti semesta menolak untuk menunjukkan kebenaran. Seperti... ketakutan."
"Ketakutan akan apa?" tanya Selvani.
"Bukan apa. Siapa." Suara Rhy'larn semakin dalam. "Ini hanya dugaan, namun... mungkin Stellar Aberration telah bangkit."
Kata-kata itu meledak seperti petir ketiga belas dari badai purba. Beberapa Marked melompat dari tempat duduk mereka.
"Itu hanya dongeng!" teriak Vakar, dari ras Durnhal, makhluk batu dan magma yang menerima anugerah dari Ignis'Torr, sang Constellation Api Abadi.
"Sebuah cerita untuk menakuti anak-anak! Bahkan para Constellation tak tahu pasti tentang itu!"
"Para leluhur kita telah mencarinya berabad-abad, tak satu pun berhasil membuktikan keberadaan makhluk itu,"
tambah Nirell, seorang Marked wanita dari ras Luthari, dengan anugerah dari Caelyx, sang Constellation Angin Roh.
"Aku tidak menyatakan kebenaran," jawab Rhy'larn tenang. "Aku hanya menyampaikan... bahwa semua tanda mengarah ke sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Dan nama itu... selalu muncul dalam gema-gema bintang terakhir yang masih bisa didengar oleh para Seers."
"Ada kemungkinan bahwa Constellation sedang dalam konflik," sela Khaedros, mencoba meredakan gejolak.
"Thyrryx musnah karena perpecahan di antara mereka. Itu lebih masuk akal daripada legenda yang tak pernah terbukti."
Semua Marked akhirnya mengangguk, perlahan menerima penjelasan itu sebagai satu-satunya jawaban yang logis.
Namun Valtherion tetap diam. Pandangannya menembus langit malam yang semakin gelap.
"Ini tidak sesederhana itu," gumamnya dalam hati.
Sementara itu, di desa Yel'tharn, kehidupan tampak damai di tengah hutan Velgrin yang subur.
Anak-anak dari ras kuno Eldrin bermain di padang luas, mengejar kelinci bintang—makhluk kecil yang bulunya memantulkan cahaya bintang seperti kristal hidup.
Kaelen, salah satu anak yang paling muda di desa, tiba-tiba berhenti. Angin mendadak berhembus kencang dari arah utara. Rambut peraknya bergetar halus, dan bulu tengkuknya berdiri.
Ia menatap langit.
Ada sesuatu... tidak seperti biasanya. Langit malam seharusnya tenang, namun ada getaran tak terlihat yang menyentuh jiwanya.
"Kaelen!" panggil temannya. "Ayo cepat! Kalau tidak, mereka kabur!"
Namun Kaelen tak menjawab. Ia hanya berdiri terpaku, seperti mendengarkan bisikan dari langit itu sendiri.
"Mengapa hatiku terasa... berat?" bisiknya sendiri.
Dan saat itu juga, di sudut matanya, ia melihat sesuatu. Sebuah bintang. Tidak seperti yang lain. Warnanya ungu kebiruan. Dan bintang itu... berkedip.
Kaelen menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu... malam ini akan mengubah segalanya.