Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Gelapnya Langit Artapura

hafidznurassyifa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
505
Views
Synopsis
Judul: Gelapnya Langit Artapura Genre: Thriller, Aksi, Politik Di balik keindahan Artapura—sebuah negeri yang kaya akan sumber daya dan dikenal damai—tersembunyi kenyataan pahit. Hukum hanyalah tulisan tanpa makna, keadilan hanyalah ilusi bagi mereka yang tak memiliki kuasa. Para pejabat korup bersembunyi di balik jargon Hak Asasi Manusia, melindungi diri mereka sendiri sambil menindas rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Raka, seorang guru bahasa asing, telah lama melihat ketidakadilan ini. Ia mencoba berbaur, mengikuti aturan, dan menyuarakan perubahan dengan cara damai. Namun, diplomasi tak pernah bisa mengubah mereka yang telah dibutakan oleh keserakahan. Yang tidak diketahui banyak orang, Raka bukan pria biasa. Ia memiliki masa lalu sebagai pembunuh bayaran. Ketika ia akhirnya kehilangan kesabaran melihat hukum yang hanya berpihak kepada mereka yang berkuasa, Raka mengambil jalannya sendiri. Ia mengangkat senjatanya kembali, menjadi eksekutor bayangan yang menegakkan keadilan dengan satu peluru di kejauhan. Mayat para koruptor mulai berjatuhan, dan ketakutan pun menyebar di kalangan pejabat busuk. Namun, aksi ini juga menarik perhatian organisasi pembunuh bayaran yang disewa untuk memburunya. Perang diam-diam terjadi, Raka melawan musuh yang sepadan. Saat identitasnya akhirnya terbongkar, Raka dijebloskan ke dalam penjara dengan keamanan tertinggi. Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Para pejabat korup mengeluarkan sayembara: siapa pun narapidana yang membunuh Raka akan mendapatkan kebebasan dan hadiah besar. Dikelilingi oleh para kriminal kelas kakap, Raka dipaksa bertahan di tengah rencana pembunuhan yang mengincarnya dari segala sisi. Dengan kecerdikan dan keahliannya, Raka berhasil melarikan diri. Namun, kali ini ia tak sekadar membunuh. Ia menyebarkan bukti kejahatan para pejabat korup ke publik, menyalakan api perlawanan di seluruh negeri. Demonstrasi meledak, rakyat bangkit, dan perang melawan rezim busuk pun pecah. Di satu sisi, ada Raka, rakyat yang tertindas, dan pejabat bersih yang selama ini dipaksa bungkam. Di sisi lain, ada pejabat korup yang tak mau kehilangan kekuasaan, didukung oleh organisasi pembunuh bayaran yang haus darah. Darah tertumpah. Pengkhianatan terjadi. Dan di tengah langit Artapura yang kelam, sebuah pertarungan menentukan masa depan negeri pun dimulai. Akankah keadilan benar-benar bisa ditegakkan? Ataukah Artapura akan selamanya menjadi tanah yang kaya, tetapi tanpa hukum yang berdaya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Gelapnya Langit Artapura

Prolog

Seorang pria berdiri di depan pintu sebuah klub malam, mengisap rokoknya sambil menunggu mobil datang. Asap tipis melayang di udara, bercampur dengan aroma alkohol dan dentuman musik yang mengguncang dinding bangunan. Malam yang hingar-bingar seakan menelannya dalam keramaian, hingga—

DOR!

Sebuah letusan nyaris tenggelam dalam bisingnya musik. Pria itu terhenyak, tubuhnya sedikit terhuyung. Matanya membelalak, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

DOR!

Tembakan kedua menembus dadanya. Ia tersentak mundur, lalu ambruk seketika. Darah menggenang di aspal yang basah oleh sisa hujan. Dalam hitungan detik, kepanikan meledak. Orang-orang menjerit, berlarian menjauh, sementara tubuh tanpa nyawa itu tergeletak di bawah cahaya neon yang berkelip.

Suatu malam, Raka Wiratama—atau setidaknya itulah nama yang ia gunakan sekarang—sedang duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang biasa ia kunjungi bersama rekan-rekan kerja setelah seharian mengajar.

Hujan rintik-rintik turun, membasahi jalanan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Dari balik kaca jendela yang berembun, lampu-lampu jalanan tampak berpendar, menciptakan bayangan bergerak di atas aspal basah. Aroma kopi memenuhi ruangan, berpadu dengan alunan musik indie yang mengalir dari speaker di sudut ruangan.

Percakapan mereka awalnya ringan—tentang pekerjaan, murid-murid yang sulit diatur, dan rencana akhir pekan. Namun, suasana berubah ketika layar televisi di sudut ruangan tiba-tiba menampilkan berita utama dari Artapura News Channel (ANC).

 

"BREAKING NEWS! Dugaan Korupsi JKAP, Ribuan Pasien Terlantar"

📺 Siaran Langsung | Artapura News Channel (ANC)

"Selamat malam, pemirsa. Anda kembali bersama kami di Artapura News Channel (ANC). Kami membuka siaran ini dengan berita utama yang mengguncang negeri: dugaan korupsi di tubuh Jaminan Kesehatan Artapura atau JKAP. Skandal ini menyebabkan ribuan pasien terlantar dan memicu lonjakan darurat di rumah sakit pemerintah."

🔴 [Visual: Rekaman antrean pasien di rumah sakit pemerintah. Beberapa menangis, tenaga medis kewalahan.]

"Sejak beberapa pekan terakhir, sejumlah rumah sakit swasta di berbagai daerah menolak pasien peserta JKAP. Mereka mengaku klaim pembayaran dari pemerintah tidak kunjung cair. Akibatnya, rumah sakit pemerintah mengalami lonjakan pasien yang tidak terkendali, menyebabkan antrean panjang dan keterbatasan fasilitas medis."

🔴 [Visual: Grafik jumlah pasien yang membeludak, potongan wawancara dengan pasien yang ditolak.]

"Investigasi awal mengungkap bahwa rumah sakit swasta menolak klaim dengan berbagai alasan: mulai dari obat yang dianggap tidak tercakup dalam skema, perawatan yang disebut di luar cakupan JKAP, hingga kendala administratif yang mencurigakan."

🔴 [Visual: Dokumen klaim yang ditolak, keterangan dari sumber dalam di rumah sakit.]

"Namun, pemirsa, fakta yang lebih mengejutkan terungkap setelah Petugas Pemberantas Korupsi atau PPK turun tangan. Dana sebesar 536 triliun rupiah—yang awalnya dialokasikan dari pemangkasan subsidi beras untuk sektor kesehatan—diduga kuat mengalir ke kantong pribadi para pejabat terkait!"

🔴 [Visual: Angka '536 TRILIUN RUPIAH' muncul di layar, disertai grafik aliran dana mencurigakan.]

"Kami masih menunggu pernyataan resmi dari pihak terkait, termasuk Menteri Urusan Kesehatan Sosial, Dimas Adinata, yang hingga saat ini belum memberikan klarifikasi atas tuduhan ini."

🔴 [Visual: Cuplikan Dimas Adinata keluar dari kantor dengan wajah datar, dikerumuni wartawan yang menanyakan tanggapannya.]

"Bagaimana kelanjutan kasus ini? Siapa pihak yang bertanggung jawab? Kami akan terus mengupdate perkembangan terbaru hanya di ANC. Saya Lisa, tetaplah bersama kami."

 

Suasana kafe mendadak hening.

Hanya suara hujan di luar yang terdengar, mengetuk jendela kaca seperti melodi suram yang mengiringi kemarahan yang terpendam. Semua mata tertuju pada layar televisi di sudut ruangan, tempat siaran berita ANC masih berlangsung.

Di layar, seorang pria paruh baya berkacamata keluar dari gedung kementerian. Dimas Adinata, Menteri Urusan Kesehatan Sosial, mengenakan jas abu-abu dengan ekspresi datar. Blitz kamera menyala di sekelilingnya, wartawan berdesakan, mikrofon diacungkan ke arahnya.

"Apakah benar dana JKAP digunakan untuk kepentingan pribadi? Mengapa ribuan klaim pasien tidak dibayarkan?"

Langkah Dimas sempat terhenti, tetapi hanya sesaat. Ia menoleh dengan senyum tipis yang terlalu terkendali, terlalu terlatih.

"Itu kan masih dugaan. Ya, kita tunggu saja hasil penyelidikan," katanya dengan nada yang terdengar seperti kaset rekaman. "Kami akan bekerja sama sepenuhnya dengan pihak berwenang untuk menyelesaikan kasus ini seadil-adilnya. Percayalah, tidak ada yang kebal hukum di negeri ini."

"Tapi, Pak! Bukankah ada indikasi bahwa dana ini sudah diselewengkan bertahun-tahun?" seorang wartawan lain menyela. "Banyak pasien yang ditolak rumah sakit swasta dan terpaksa berdesakan di rumah sakit pemerintah! Ada ribuan yang terlantar, bahkan beberapa meninggal!"

Dimas menghela napas seolah berusaha menunjukkan empati. "Saya memahami kekhawatiran masyarakat. Kami sudah menginstruksikan audit menyeluruh. Jika ada pihak yang terbukti bersalah, kami pastikan akan ada tindakan tegas."

Jawabannya terdengar sempurna—terlalu sempurna. Seperti naskah yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Wartawan lain mencoba mendesaknya lagi. "Apakah Anda bersedia mundur dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab?"

Senyum Dimas melebar, tetapi matanya tetap kosong. "Periksa dulu dong, masa langsung disuruh mundur? Kan belum tentu saya terlibat."

Tanpa memberi kesempatan lebih lanjut, Dimas melanjutkan langkahnya, dikawal ketat oleh ajudan dan petugas keamanan.

 

Di kafe, Rendi menggebrak meja. Gelas kopinya bergetar.

"Gila! Bahkan dana kesehatan rakyat kecil pun mereka embat!" serunya, matanya membelalak penuh emosi. "Padahal mereka motong subsidi lain, katanya buat jaminan kesehatan rakyat kecil! Sekarang duitnya ke mana?"

Bagas yang sejak tadi diam, mengepalkan tangannya. "Mampus aja mereka semua. Sumpah, gua nggak ngerti gimana mereka bisa tidur nyenyak setelah nyolong duit segitu banyaknya."

Fajar, yang biasanya paling sinis soal politik, hanya menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya kosong, terpaku pada layar televisi yang kini menampilkan antrean pasien mengular di rumah sakit pemerintah. Wajah-wajah lelah, orang-orang tua dengan mata sembab, ibu-ibu menggenggam erat tangan anak mereka yang terkulai lemas.

"Ya begitulah, bro," katanya, suaranya datar tapi penuh kepahitan. "Para tikus berdasi makin kaya, kita makin sengsara. Dan yang lebih ngeselin? Paling nanti sidang sebentar, terus bebas lagi. Dapat diskon hukuman, lalu tiba-tiba entah gimana hilang dari berita."

Ia terkekeh sinis. "Dan rakyat? Ya, paling cuma bisa marah-marah di warung kopi. Demo sebentar, terus besoknya udah lupa."

Rendi mendengus. "Jawaban wawancaranya juga cuma template semua. Sama kayak kasus korupsi yang lain. 'Kami akan bekerja sama dengan pihak berwenang', 'percayalah, hukum akan ditegakkan', bla bla bla… Sampah."

Fajar menatapnya sambil tersenyum miring. "Udah biasa. Orang kayak dia nggak bakal kena hukuman beneran. Paling dicopot sebentar, lalu muncul lagi dengan jabatan baru. Ganti baju, ganti tempat, tapi tetep makan duit rakyat."

bagas mengaduk kopi panasnya dengan ekspresi malas. "Lagian, mau berharap apalagi? Hukum di negeri ini cuma tajam ke orang kecil. Selama lo punya duit dan kenalan orang dalam, lo kebal segalanya."

Raka tetap diam.

Tatapannya terpaku pada layar, tapi sorot matanya menggelap. Ia sudah terlalu sering melihat wajah-wajah seperti itu—wajah yang tahu bahwa hukum tak akan benar-benar menyentuh mereka. Wajah yang bisa berbicara tentang keadilan dengan nada santai, padahal tangan mereka berlumur darah rakyat.

Ia menyesap kopinya pelan, menahan sesuatu yang perlahan bangkit dalam dirinya. Sesuatu yang telah ia kubur bertahun-tahun.

Di luar, hujan semakin deras.

Seolah langit pun ikut menangisi nasib negeri ini.

 

Obrolan di kafe terus berlanjut, tetapi kini berubah arah, memasuki ranah politik yang lebih dalam.

"Menurut kalian, korupsi ini bakal ada habisnya nggak?" tanya Raka, menatap teman-temannya dengan ekspresi serius. "Atau bakal terus ada dari generasi ke generasi?"

Fajar, yang sedang mengaduk kopinya, mendengus pendek. "Nggak bakal bisa hilang," jawabnya tanpa ragu. "Ini udah kayak penyakit turunan. Selama sistemnya masih sama, selama celahnya masih ada, ya tetap lanjut. Paling nggak kalau hukumnya lebih ketat, mungkin bisa berkurang."

Rendi bersedekap, ikut menimpali. "Tapi siapa yang mau bikin hukum lebih ketat? Yang bikin undang-undang juga mereka-mereka itu. Nggak mungkin mereka potong jalur makan mereka sendiri."

Raka berpikir sejenak sebelum melontarkan ide lain. "Kalau semua orang di pemerintahan diganti serentak? Dari presiden sampai staf kecilnya?"

Fajar tertawa kecil sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. "Yang ada malah negara hancur," katanya, menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam. "Bayangin aja, semua diganti serentak. Besoknya pasti kacau. 'Ini kerjaan siapa? Itu tanggung jawab siapa?' Birokrasi mandek, negara lumpuh. Lagipula, yakin kalau mereka yang baru bakal lebih bersih?"

Raka menyeringai. "Kalau gitu, ganti aja sama mahasiswa hukum dan politik yang sering demo itu!" katanya, mulai berlagak. "Atau nggak, aktivis-aktivis yang suka berdiri paling depan, wajah sangar, kepala diikat kain, satu tangan mengepal ke atas, kaki kanan diangkat satu, dan teriak—MERDEKA!"

Kalimat terakhirnya diteriakkan dengan begitu keras hingga satu kafe mendadak menoleh ke arah mereka.

Sejenak, suasana hening.

Lalu tawa pecah serempak.

Barista yang sudah akrab dengan mereka ikut menyahut dari belakang meja. "Hei, tolol! Kalau mau merdeka, yang dipegang itu bambu, bukan rokok!" katanya sambil tergelak.

Pengunjung lain ikut tertawa, beberapa bahkan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Raka. Sementara itu, Fajar, Rendi, dan Bagas buru-buru menutupi wajah mereka, berusaha menyembunyikan rasa malu.

Raka duduk kembali. Fajar, Rendi, dan Bagas hanya diam, mungkin karena kejadian memalukan seperti ini sudah terlalu sering terjadi.

"Kok diem aja sih? Jawab, dong," ujar Raka sambil menepuk pundak Fajar.

"Lu sih, malu-maluin anjing," sahut Bagas, akhirnya buka suara.

"Kayak baru pertama aja," timpal Rendi dengan tawa kecil.

Raka mengangkat alis, tetap bersemangat. "Gini ya, gua lanjutin. Yang sekarang jadi politisi itu dulunya juga mahasiswa dan aktivis. Mereka dulu juga sering demo, teriak nolak korupsi. Tapi pas udah dapet jabatan? Sama aja! Pakai baju tersangka juga, masuk berita juga."

Fajar mendengus, menghembuskan asap rokoknya perlahan. "Berharap apa sama masyarakat yang kalau ada truk kecelakaan, bukannya nolong malah ngerampok isinya? Lu pikir semua yang demo itu emang beneran nolak korupsi? Bisa jadi mereka cuma minta jatah, pengen naik posisi, pengen korupsi juga."

Kata-katanya membungkam semua orang di meja.

Raka menatap Fajar, lalu menyeringai kecil. "Belajar dari mana sih lo? Pinter amat."

Fajar baru mau menjawab, tapi Raka lebih dulu melanjutkan. "Jadi menurut lo, korupsi di Artapura ini beneran gak bakal bisa dihentikan?"

Fajar mengangkat bahu. "Bisa, nggak bisa. Hukuman di Artapura udah berat, tapi tetap aja nggak ada yang kapok. Mungkin harus lebih berat lagi. Hukuman mati? Dimiskinkan sampai gak bisa beli nasi?"

Hening sejenak. Di luar, hujan semakin deras, membentur jendela kaca dengan suara monoton.

Raka menyesap kopinya, lalu bersandar ke kursi. "Gue pernah baca artikel di internet. Dulu ada kasus banyak preman mati dengan luka tembak misterius. Mayatnya ditemukan begitu aja di gang-gang sempit atau pinggiran jalan. Setelah itu, preman lain langsung tiarap. Ketakutan."

Fajar mengangkat alis. "Oh, yang itu. Gue inget."

"Sampai sekarang pelakunya nggak ketemu," lanjut Raka.

Fajar tertawa kecil—tapi bukan tawa santai. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik nada suaranya.

"Ya iyalah," katanya sambil menyandarkan tubuh. "Tapi kalau lo mikir dikit aja, harusnya udah tahu siapa pelakunya."

Rendi mengernyit. "Maksud lo?"

Fajar menghela napas, lalu menatap mereka satu per satu.

"Coba pikir. Siapa yang bisa punya akses ke senjata api di Artapura? Senjata nggak dijual bebas. Polisi pun nggak bisa sembarangan pakai. Kalau orang biasa yang nembak, lo pikir dia bakal lolos? Belum tentu bisa make senjata dengan benar. Dan kalaupun bisa, pasti ketangkep."

Raka mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. "Jadi kesimpulannya?"

Fajar menatapnya tajam.

"Kesimpulannya? Pelakunya pasti orang yang punya akses senjata. Bisa aparat, bisa mantan aparat, atau orang yang punya hubungan sama mereka. Preman-preman itu bukan mati secara acak. Itu eksekusi. Bisa jadi pembersihan dari atas."

Keheningan menggantung di udara.

Raka menyilangkan tangannya, menatap gelas kopinya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah beberapa detik, ia mendengus kecil.

"Hmm… jadi, kenapa nggak lakuin hal yang sama aja ke para koruptor?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja. Nadanya samar—di antara candaan dan keseriusan.

Rendi menatapnya tanpa ekspresi.

Di benaknya, kata-kata itu menggantung lebih lama dari yang seharusnya.

Sebuah ide yang terlalu berbahaya untuk dianggap sekadar candaan.

Tapi juga terlalu nyata untuk diabaikan.

Fajar tertawa kecil. Tapi bukan tawa yang ringan.

"Hahaha, Raka, Raka… Lo tahu kenapa para preman itu bisa diberesin diam-diam?" katanya dengan nada rendah.

"Karena yang mereka bersihin bukan bagian dari mereka dan nggak menguntungkan mereka."

Ia menatap Raka tajam, lalu melanjutkan,

"Lo nggak bisa berharap pemerintah bakal perintahkan aparat buat nembak diri mereka sendiri, rekan kerja mereka sendiri. Itu sama aja kayak nyuruh serigala bunuh serigala lain dari kawanan yang sama."

Bagas, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat suara.

"Belum lagi masalah HAM," sahutnya.

Fajar tertawa sinis. "Nah, HAM ini beneran jadi tameng buat mereka. Baru usulan hukuman mati aja, udah teriak-teriak HAM. Apalagi kalau dilakukan kayak preman dulu?"

Ia menggeleng pelan, tatapannya tajam. Ada kekecewaan yang nyata di sana.

"Lucu ya, mereka teriak HAM buat satu orang koruptor. Padahal sebelum dia dihukum, dia udah merenggut HAM milik banyak orang. Logikanya, mengorbankan satu orang buat menyelamatkan jutaan orang itu lebih masuk akal, kan?"

Hening.

Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Mungkin kalau korupsi dihukum mati, bakal banyak yang takut korupsi. Rakyat bisa dapat fasilitas kesehatan, pendidikan, bahkan makan layak… dan mungkin aparat juga bisa naik gaji."

Fajar menghembuskan asap rokoknya perlahan. "Tetep aja," lanjutnya, "kalau koruptor dihukum mati, langsung ada yang teriak-teriak soal kemanusiaan."

Hujan di luar semakin deras.

Tetesannya menghantam jalanan yang kini basah dan berkilauan di bawah cahaya lampu jalan.

Raka kembali diam. Tapi di dalam kepalanya, percakapan ini terus berulang.

Bukan sekadar obrolan biasa.

Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya.

Sesuatu yang lama terkubur, tapi kini perlahan mulai bangkit kembali.

 

Sementara itu, Alya—salah satu teman mereka yang baru datang—tertawa kecil sambil menyeruput cokelat panasnya.

"Udah deh, jangan ngomongin politik mulu. Nggak bakal ada yang berubah kalau cuma kita yang marah-marah," katanya santai, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

Rendi mengangguk setuju. "Bener. Kalo kita kebanyakan mikirin beginian, nanti malah stres sendiri. Udah banyak orang yang lebih pinter dari kita yang ngurusin ini. Kita tinggal lihat aja hasilnya nanti."

Raka hanya diam. Tatapannya kosong, menatap sisa kopi di cangkirnya seolah pikirannya melayang entah ke mana.

Obrolan perlahan menjauh dari politik. Membahas korupsi terus-menerus hanya akan membuat kepala panas, sementara kenyataannya, mereka hanyalah warga biasa yang tak bisa berbuat banyak.

Rendi mulai bercerita tentang rencananya liburan ke pegunungan, sementara Fajar bercanda soal betapa menyebalkannya atasannya di tempat kerja. Obrolan berubah menjadi lebih ringan, penuh tawa dan keluhan sehari-hari. Seolah-olah tidak ada yang terjadi malam itu.

Namun di sudut meja, Raka tetap diam.

Tawa mereka terdengar seperti suara latar yang jauh—sayup dan hampa.

Jauh di dalam dirinya, obrolan tadi tidak berakhir di sini.

Tidak seperti mereka, ia tahu satu hal yang tidak akan pernah berubah—ketidakadilan hanya akan terus hidup jika tidak ada yang benar-benar berani menghentikannya.

 

Di luar, hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik tipis yang masih menempel di udara. Langit tetap gelap, bayang-bayang lampu jalan memantul di aspal basah.

Seolah mengingatkannya bahwa dunia di luar sana masih sama kejamnya.

Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Satu per satu bangkit dari kursinya, merapikan jaket, dan melangkah keluar kafe. Obrolan mereka mungkin telah usai, tapi bagi Raka, Sesuatu dari malam ini masih tertinggal—menghantui pikirannya, bergema di dalam dada.

Saat ia melangkah keluar, dinginnya udara malam menyambutnya. Namun, ada sesuatu yang lebih dingin di dalam dirinya. Bukan sekadar dingin yang menusuk kulit, melainkan sesuatu yang merayap dari masa lalunya. Sesuatu yang perlahan menumbuhkan keraguan—atau mungkin, justru keyakinan yang selama ini ia tekan.