Chereads / Aquila Requiem / Chapter 1 - Awal Bergerigi

Aquila Requiem

the_sayber_rx
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 12
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Awal Bergerigi

Suara pedang diayunkan berkali-kali terdengar, diikuti oleh napas yang tersengal-sengal. Suara itu berasal dari Revil, yang sedang berlatih teknik berpedang.

Di usianya yang menginjak 17 tahun, dia merasa teknik berpedangnya semakin meningkat. Namun, hal itu tidak membuatnya yakin bahwa dia mampu melindungi Tuan Muda Kertia. Meskipun kemampuannya meningkat, dia masih sangat kurang dalam pengalaman.

Dalam benaknya, terlintas sebuah pertanyaan, bagaimana jika suatu hari nanti dia gagal melindungi Tuan Muda?

Jika itu benar-benar terjadi, bukankah tujuan hidupnya akan hilang? Atau lebih tepatnya, tujuan Klan Aquila akan lenyap? Mungkin bukan kematian Tuan Muda yang dia takutkan, melainkan kehilangan arti dari kehidupannya.

Belum sempat menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu, terdengar suara burung elang di atas kepalanya.

Revil mendongak dan melihat Farius, burung milik pamannya, Davani, yang biasa digunakan untuk mengirim pesan.

Elang itu hanya berputar-putar di atas kepala Revil dan sekali mengeluarkan suara melengking.

Sepertinya aku diperintahkan untuk pulang, ucap Revil dalam hati.

Ia segera menyarungkan pedangnya dan bergegas pulang ke tempat persembunyian, tempat Tuan Muda dan yang lainnya berada.

Dia berjalan menyusuri hutan hingga akhirnya tiba di desa Aqri, tempat persembunyian keluarga Aquila. Desa ini dipenuhi rumah-rumah kayu yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi, menjadikannya sulit ditemukan.

Di tengah desa, terdapat sebuah rumah yang lebih besar dibandingkan yang lain. Itu adalah rumah tetua Klan Aquila, tujuan Revil saat ini.

Sesampainya di sana, dia membuka pintu dan melihat pamannya, Davani, serta tetua Darvi sudah menunggu.

"Ah, akhirnya kamu datang juga. Duduklah," ucap Davani.

Revil menaruh pedangnya di pojok ruangan dan duduk di samping pamannya.

"Baiklah, langsung ke intinya saja. Beberapa hari yang lalu, desa Marin telah diserang oleh pasukan Noctis."

Mendengar hal itu, Revil cukup terkejut. Desa Marin tidak jauh dari sini—hanya setengah hari berjalan kaki—dan lokasinya cukup tersembunyi di balik lereng besar. Hal ini jelas membahayakan desa tempatnya tinggal.

"Apakah Farius yang memberi tahu hal ini?" tanya Revil.

"Iya, tadi pagi Farius melihat asap hitam mengepul dari arah utara, tempat desa Marin berada," jelas Davani.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus pergi dari sini?" tanya Revil dengan wajah panik.

"Aku berniat melakukan itu, tetapi aku juga tidak ingin menimbulkan kepanikan dan membuat situasi semakin tidak terkendali," ucap tetua Darvi, yang sejak tadi terdiam. "Sekarang, aku ingin hal ini dirahasiakan, termasuk dari Tuan Muda Kertia. Aku juga ingin kalian berdua, bersama anggota Klan Aquila terpilih lainnya, melakukan penjagaan saat malam tiba."

"Baik, aku mengerti," jawab Revil singkat.

Tiba-tiba, pintu terbuka dan seorang remaja mungil berambut perak masuk. Itu adalah Tuan Muda Kertia.

"Ternyata benar kamu ada di sini, Revil! Aku kaget karena dari pagi kamu tidak ada. Kamu pergi ke mana sih?" tanyanya dengan nada sedikit kesal.

"Saya tadi berlatih sebentar," jawab Revil lembut.

"Pantas saja aku cari-cari kamu tidak ada. Karena kamu sudah di sini, temani aku berburu yuk!" katanya penuh antusias.

Revil sadar bahwa permintaan ini bisa berbahaya, mengingat informasi yang baru saja ia terima. Maka dari itu, dia menoleh ke arah pamannya dan tetua untuk memastikan. Mereka hanya mengangguk dan tersenyum tipis, mengizinkan keinginan Tuan Muda.

Melihat itu, Kertia tersenyum lebar. Keinginannya dikabulkan.

"Revil, jaga Tuan Muda," pesan tetua Darvi.

Revil mengangguk. "Baik, akan aku lakukan."

Mereka berdua pun bersiap dan segera pergi berburu.

Dalam perjalanan, Revil berpikir. Setelah semua kejadian yang dialami Kertia, bukankah suatu keajaiban dia masih bisa tersenyum lebar seperti tadi? Bukan hal yang mudah memulai hidup dengan awal yang buruk, tetapi dia tampak begitu bahagia.

"Kamu mikirin apa, Revil?" ucap Kertia, mengagetkannya.

"Saya tidak berpikir apa-apa kok," jawab Revil, tidak ingin menyampaikan isi pikirannya.

"Apa iya begitu? Apa kamu memikirkan hewan apa yang akan kita buru?" tanyanya curiga.

Itu alasan yang bagus.

"Iya, aku sedang memikirkan hal itu. Di sekitar sini terdapat banyak jenis hewan untuk diburu."

"Benarkah? Wah, aku jadi tidak sabar!" ucap Kertia penuh antusias.

Akhirnya, mereka sampai di ladang luas, tempat kelinci berwarna-warni berkeliaran—coklat, putih, hitam, dan yang paling unik, berwarna biru.

"Apakah kita akan berburu kelinci itu?" tanya Kertia penasaran.

"Karena itu yang kita temukan, maka itu yang akan kita buru."

Tuan Muda Kertia mengambil anak panah dari pinggang kirinya dan mengangkat busur, lalu mengarahkannya pada kelinci biru.

Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat dari belakang, mengarah kepadanya. Dengan cepat, Revil mencabut pedang dari pinggang kirinya dan menebas anak panah tersebut.

"Siapa di sana!?" seru Revil ke arah semak belukar tempat panah itu berasal.

Dari semak-semak, muncul seorang pria muda yang sedikit lebih tinggi dari Revil. Dia berjalan perlahan ke arah mereka, lalu berhenti beberapa langkah di depan Revil dan Kertia.

"Jadi benar, sang ahli waris Kerajaan Astrium ada di sekitar sini."

Revil cukup kaget bahwa pria ini mengenali wajah Tuan Muda.

Namun, dia ingin berpura-pura bahwa itu hanya dugaan.

"Apa maksudmu?" tanya Revil.

"Sudahlah, kau tidak usah berpura-pura. Namamu sendiri adalah Revil, bukan? Anak dari Dravo Aquila, si Pedang Kilat," ucap pria itu dengan nada kesal.

Revil tidak terkejut jika dia mengenali ayahnya, tetapi bagaimana dia bisa tahu bahwa Revil adalah anaknya?

Sebelum Revil bisa menyangkal, pria itu menerjang dengan cepat, mengayunkan pedangnya. Revil menangkisnya dengan mantap.

Suara dentingan pedang terdengar keras, membuat Kertia mundur beberapa langkah.

Dari arah kanan, belasan anak panah melesat. Revil mendorong Kertia menjauh, lalu menangkis anak panah yang datang.

Lalu tiba-tiba pria yang tadi mengobrol denganya berlari dengan cepat menuju Tuan Muda, Revil ingin menghentikannya, tapi tanpa ia sadari gelombang anak panah kedua muncul.

Karena fokusnya yang terbagi membuat tubuhnya banyak tertancap anak panah.

Kesakitan memenuhi sekujur tubuh Revil. Darah mengalir dari berbagai bagian tubuhnya.

Ia jatuh berlutut, mencoba mempertahankan kesadarannya, tapi ia tidak bisa, kemudian jatuh terkapar. Hal terakhir yang ia lihat adalah Kertia diseret oleh pria tak dikenal itu.

"REVIL!" itu suara terakhir yang dia ingat, diikuti wajah Tuan Muda Kertia yang begitu khawatir dan marah saat dia diseret orang pria yang tidak dikenal itu.