Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

PERJALANAN ANAK DESA

popyy_5435
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
10
Views
Synopsis
Hutan Sancang, tempat yang dikenal sebagai tanah sakral bagi para pendekar, diselimuti kabut tipis saat fajar menyingsing. Di antara pepohonan raksasa dan akar-akar yang menjalar, seorang bocah lelaki berdiri tegap, tubuhnya kecil namun penuh tenaga, matanya tajam menatap seekor kijang yang tengah minum di tepi sungai. (Cicit burung terdengar bersahutan, air sungai mengalir dengan gemericik lembut…) Namanya Wira, seorang anak yatim piatu yang sejak kecil hidup di alam liar. Tubuhnya berbalut kain sederhana yang sudah usang, tetapi matanya penuh dengan semangat tak terkalahkan. Hari ini, ia harus berburu untuk bertahan hidup. Dengan nafas teratur, ia melangkah perlahan mendekati kijang itu. Namun tiba-tiba… (Dentuman keras! Seperti petir yang menyambar…) Dari dalam semak-semak, seekor harimau kumbang meloncat menerjang kijang itu dengan cakarnya yang tajam. Wira terperanjat, tapi bukan karena takut—melainkan karena kagum. Harimau itu melirik sekilas ke arahnya, seolah memberi peringatan untuk tidak mendekat. Namun, Wira tidak mundur. “Kau hebat,” gumamnya pelan. (Hening. Angin berbisik lembut di antara dedaunan…) Tanpa diduga, langkah kakinya justru membawanya lebih dekat. Harimau itu menatapnya tajam, tetapi bukan dengan amarah—melainkan dengan ketenangan yang menggetarkan jiwa. Saat itu, terdengar suara langkah kaki berat mendekat dari balik pepohonan. (Suara ranting patah, gemuruh langkah mendekat…) Sosok berjubah hitam dengan sorot mata tajam muncul dari balik rimbunan hutan. Wira menatapnya tanpa gentar. Ia tahu siapa pria itu—Prabu Siliwangi, penguasa Pajajaran, seorang raja sakti mandraguna yang konon memiliki ikatan batin dengan harimau putih. “Anak kecil, mengapa kau tidak lari?” suara Prabu Siliwangi bergema seperti petir di langit yang tenang. Wira menatapnya langsung. “Aku tidak takut.” (Guruh menggelegar di kejauhan…) Sang Prabu tersenyum tipis. Ia melihat ke dalam diri bocah itu—bukan sekadar keberanian, melainkan juga ketulusan yang langka. “Kau tidak takut mati?” “Aku hanya takut jika hidupku tidak berarti,” jawab Wira mantap. (Desir angin berhembus lebih kencang, dedaunan berjatuhan…) Mata Prabu Siliwangi berbinar. Di usianya yang telah matang, ia jarang menemukan seseorang seperti Wira—seorang anak yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki jiwa yang bersih. “Aku akan mengajarimu ilmu sejati,” ujar sang Prabu. Wira mengernyit, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Mengajarku?” Prabu Siliwangi mengangguk. “Kejujuran dan keberanianmu lebih kuat daripada pedang mana pun. Kau layak menjadi muridku.”
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1:Takdir di Hutan Sancang

(Suara desir angin menyapu dedaunan, di kejauhan terdengar auman harimau samar-samar…)

Hutan Sancang, tempat yang dikenal sebagai tanah sakral bagi para pendekar, diselimuti kabut tipis saat fajar menyingsing. Di antara pepohonan raksasa dan akar-akar yang menjalar, seorang bocah lelaki berdiri tegap, tubuhnya kecil namun penuh tenaga, matanya tajam menatap seekor kijang yang tengah minum di tepi sungai.

(Cicit burung terdengar bersahutan, air sungai mengalir dengan gemericik lembut…)

Namanya Wira, seorang anak yatim piatu yang sejak kecil hidup di alam liar. Tubuhnya berbalut kain sederhana yang sudah usang, tetapi matanya penuh dengan semangat tak terkalahkan. Hari ini, ia harus berburu untuk bertahan hidup. Dengan nafas teratur, ia melangkah perlahan mendekati kijang itu.

Namun tiba-tiba…

(Dentuman keras! Seperti petir yang menyambar…)

Dari dalam semak-semak, seekor harimau kumbang meloncat menerjang kijang itu dengan cakarnya yang tajam. Wira terperanjat, tapi bukan karena takut—melainkan karena kagum. Harimau itu melirik sekilas ke arahnya, seolah memberi peringatan untuk tidak mendekat. Namun, Wira tidak mundur.

"Kau hebat," gumamnya pelan.

(Hening. Angin berbisik lembut di antara dedaunan…)

Tanpa diduga, langkah kakinya justru membawanya lebih dekat. Harimau itu menatapnya tajam, tetapi bukan dengan amarah—melainkan dengan ketenangan yang menggetarkan jiwa. Saat itu, terdengar suara langkah kaki berat mendekat dari balik pepohonan.

(Suara ranting patah, gemuruh langkah mendekat…)

Sosok berjubah hitam dengan sorot mata tajam muncul dari balik rimbunan hutan. Wira menatapnya tanpa gentar. Ia tahu siapa pria itu—Prabu Siliwangi, penguasa Pajajaran, seorang raja sakti mandraguna yang konon memiliki ikatan batin dengan harimau putih.

"Anak kecil, mengapa kau tidak lari?" suara Prabu Siliwangi bergema seperti petir di langit yang tenang.

Wira menatapnya langsung. "Aku tidak takut."

(Guruh menggelegar di kejauhan…)

Sang Prabu tersenyum tipis. Ia melihat ke dalam diri bocah itu—bukan sekadar keberanian, melainkan juga ketulusan yang langka. "Kau tidak takut mati?"

"Aku hanya takut jika hidupku tidak berarti," jawab Wira mantap.

(Desir angin berhembus lebih kencang, dedaunan berjatuhan…)

Mata Prabu Siliwangi berbinar. Di usianya yang telah matang, ia jarang menemukan seseorang seperti Wira—seorang anak yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki jiwa yang bersih.

"Aku akan mengajarimu ilmu sejati," ujar sang Prabu.

Wira mengernyit, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Mengajarku?"

Prabu Siliwangi mengangguk. "Kejujuran dan keberanianmu lebih kuat daripada pedang mana pun. Kau layak menjadi muridku."

(Gema gong besar mengguncang udara, pertanda takdir telah berubah…)

Demikianlah, di bawah langit yang mulai memerah, takdir Wira mulai terukir. Ia tidak hanya akan menjadi seorang pendekar, tetapi juga pewaris ilmu yang melampaui batas manusia biasa—murid dari seorang raja sakti, Prabu Siliwangi.

(Suara auman harimau menggema di seluruh hutan, membawa kabar tentang murid baru sang Raja…)

(Suara angin mendesir melewati pepohonan tinggi, burung-burung berkicau di kejauhan…)

Wira mengikuti langkah Prabu Siliwangi yang berjalan tanpa ragu di jalur sempit menuju puncak Gunung Gede. Langkah sang raja seolah tidak menyentuh tanah, begitu ringan dan penuh kendali, sementara Wira masih harus menyesuaikan diri dengan medan yang semakin menanjak.

(Gemericik air terjun terdengar dari kejauhan, bercampur dengan suara dedaunan yang bergesekan…)

Matahari mulai naik, menyinari jalur berbatu yang mereka tempuh. Wira tak pernah mendaki sejauh ini, tapi semangatnya tak surut.

"Jangan tertinggal," ujar Prabu Siliwangi tanpa menoleh.

Wira mengangguk, mengatur napasnya, lalu mempercepat langkah. Ia bukan anak sembarangan, ketahanan tubuhnya sudah teruji selama bertahun-tahun hidup di hutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari perjalanan ini—setiap langkah terasa seperti ujian.

Setelah beberapa jam mendaki, mereka tiba di sebuah dataran tinggi. Di sana, sebuah sungai mengalir jernih, dikelilingi pepohonan rimbun yang menyembunyikan cahaya matahari.

(Suara air sungai mengalir pelan, beberapa dedaunan jatuh dan tersapu arus…)

Prabu Siliwangi berhenti. "Di sini kita akan berlatih."

Wira menatap sekeliling. Tidak ada rumah, tidak ada peralatan latihan—hanya alam liar. Ia mengernyit. "Bagaimana aku harus berlatih tanpa senjata atau guru yang menjelaskan langkah-langkahnya?"

Prabu Siliwangi tersenyum tipis. "Alam adalah gurumu. Dengarkan, rasakan, dan pelajari."

(Angin berhembus lebih kencang, seolah membawa bisikan dari masa lalu…)

Wira mencoba memahami kata-kata gurunya. Ia menutup matanya, mendengarkan suara angin, air, dan dedaunan. Namun, tiba-tiba…

(Duk! Duk! Suara kayu menghantam batu…)

Sebuah batang kayu meluncur cepat ke arahnya! Refleks, Wira melompat ke samping, nyaris menghindari serangan itu. Namun sebelum ia bisa berdiri tegak, batang lain datang dari arah berbeda.

(Swush! Angin membelah udara, batang kayu hampir mengenai tubuhnya…)

Dengan gesit, Wira berputar, lalu menangkis serangan itu dengan lengannya. Kayu terpental, tapi dampaknya membuat tangannya terasa bergetar.

Prabu Siliwangi menyilangkan tangan. "Tubuhmu kuat, tapi kau belum memahami gerakan alam."

Wira menghela napas, matanya penuh tekad. "Aku siap belajar."

Sang Prabu mengangguk. "Duduk. Rasakan aliran air sungai, dengarkan desir angin, perhatikan gerakan burung."

(Gemericik air terdengar lebih jelas, burung-burung berkicau lebih riang…)

Wira menutup matanya dan fokus. Perlahan, ia mulai memahami—air tidak hanya mengalir, tetapi juga menyesuaikan diri dengan rintangan. Angin tidak sekadar berhembus, tapi memiliki ritme. Alam bergerak dengan keseimbangan.

Ketika ia membuka matanya, Prabu Siliwangi mengangguk puas. "Sekarang, hadapi aku."

(Duk! Prabu Siliwangi melangkah maju, menciptakan getaran di tanah…)

Wira mengangkat kedua tangannya dalam posisi bertahan. Tanpa peringatan, sang Prabu melayangkan serangan—bukan dengan kecepatan luar biasa, melainkan dengan gerakan yang menyatu dengan alam.

Wira berusaha menghindar, tapi setiap gerakan Prabu Siliwangi seperti air yang mengalir, seperti angin yang berhembus, sulit ditebak. Satu serangan mengenai bahunya, membuatnya mundur beberapa langkah.

(Duk! Duk! Setiap pukulan terasa berat, namun tetap terkendali…)

"Jangan melawan arus. Ikuti aliran."

Wira menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menyesuaikan gerakannya dengan ritme alam. Saat Prabu Siliwangi menyerang lagi, Wira tidak menghindar dengan paksa, melainkan mengikuti arah serangan dan menggunakannya untuk mengalir ke posisi lebih baik.

(Swush! Suara langkah kaki Wira kini lebih ringan, lebih harmonis dengan lingkungan…)

Sang Prabu tersenyum. "Bagus. Kau mulai mengerti."

Wira merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sebuah pemahaman baru. Latihan ini bukan sekadar soal kekuatan, melainkan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan alam.

(Suara gong besar menggema, seolah menandai awal perjalanan baru bagi Wira…)

Di bawah langit senja, Wira bersumpah dalam hati—ia akan menguasai ilmu ini, menjadi murid yang layak bagi Prabu Siliwangi, dan menapaki jalan seorang pendekar sejati.

(Suara angin sepoi-sepoi menyapu dedaunan, gemericik air sungai terdengar lembut di kejauhan…)

Hari telah beranjak malam. Langit di atas Gunung Gede dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan seperti permata. Di tepi sungai, Wira duduk bersila, tubuhnya masih terasa pegal setelah latihan siang tadi. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda—seakan-akan tubuhnya mulai memahami irama alam.

Prabu Siliwangi berdiri di dekatnya, menatap langit. "Kau sudah mulai mengerti dasar dari ilmu ini," katanya perlahan. "Tapi untuk benar-benar menguasainya, kau harus memahami asal-usulnya."

Wira mengangkat wajah. "Asal-usul?"

Sang Prabu mengangguk. "Ilmu ini berasal dari para leluhur yang telah lama menyatu dengan alam. Mereka memahami gerak air, angin, dan tanah. Itulah yang menjadi dasar dari Pencak Sancang—ilmu bela diri yang hanya diwariskan kepada mereka yang benar-benar layak."

(Gema gong samar terdengar, membawa aura mistis ke dalam malam…)

Wira terdiam, menyerap setiap kata gurunya. Ia sudah sering mendengar legenda tentang ilmu sakti yang hanya bisa dipelajari oleh mereka yang memiliki keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa.

"Bagaimana aku bisa mempelajarinya?" tanyanya mantap.

Prabu Siliwangi tersenyum tipis. "Dengan mendengar bisikan alam dan memahami rahasianya."

(Suara angin mendadak berhembus lebih kencang, dedaunan berjatuhan mengitari mereka…)

Tiba-tiba, Prabu Siliwangi mengangkat tangannya. Dalam sekejap, ia bergerak! Gerakannya begitu halus, seolah menyatu dengan angin, namun dalam sekejap, batu besar di tepi sungai terbelah dua tanpa ia sentuh.

(Duk! Batu besar itu retak dengan suara berat, pecah menjadi dua bagian…)

Wira terkejut. Ia tidak melihat pukulan atau tendangan, tetapi batu itu terbelah begitu saja.

"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya penuh takjub.

"Karena aku tidak melawan, aku mengikuti," jawab Prabu Siliwangi. "Gerakan ini tidak mengandalkan kekuatan semata, tetapi keselarasan dengan alam."

Wira mengangguk, lalu bangkit berdiri. Ia menatap air sungai yang mengalir, mencoba memahami bagaimana air bisa membelah batu, bukan dengan kekuatan kasar, tetapi dengan kesabaran dan kesinambungan.

(Gemericik air semakin terdengar jelas, seperti memberi petunjuk…)

"Tutup matamu," perintah Prabu Siliwangi.

Wira menurut. Ia merasakan angin menyentuh kulitnya, mendengar suara daun bergesekan, dan merasakan getaran tanah di bawah kakinya.

"Lepaskan segala pikiranmu. Biarkan tubuhmu bergerak mengikuti arus."

(Hening. Hanya suara alam yang berbisik…)

Perlahan, Wira mulai menggerakkan tubuhnya. Tangannya terangkat, kakinya melangkah, seolah mengikuti aliran angin yang membelai tubuhnya. Ia tidak lagi berpikir untuk menyerang atau bertahan—hanya bergerak dalam keseimbangan.

(Swush! Suara langkah kaki Wira kini terdengar ringan, mengalir seperti air…)

Prabu Siliwangi mengangguk puas. "Bagus. Kau mulai merasakannya."

Tiba-tiba, terdengar suara dari dalam hutan.

(Krak! Sebuah ranting patah, diikuti suara langkah kaki yang berat…)

Wira membuka matanya. Dari bayangan pepohonan, muncul tiga sosok berpakaian hitam dengan mata tajam dan sorot penuh kewaspadaan.

"Kami datang mencari Prabu Siliwangi," salah satu dari mereka berkata dengan nada hormat, namun tegas.

Sang Prabu tetap berdiri tenang. "Apa yang membawa kalian kemari?"

"Guru kami mengirim pesan. Ada ancaman besar yang sedang mengintai Pajajaran."

(Guruh bergemuruh di kejauhan, seakan menandakan datangnya bahaya…)

Prabu Siliwangi menghela napas. "Aku mengerti. Namun, aku tidak bisa meninggalkan tempat ini sekarang."

Orang-orang itu saling berpandangan, lalu mata mereka tertuju pada Wira. "Siapa anak ini?"

Prabu Siliwangi menatap muridnya sejenak, lalu berkata, "Dia adalah harapan baru bagi Pajajaran."

Wira mengepalkan tangannya. Ia belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi ia tahu satu hal—ia akan terus berlatih, hingga benar-benar pantas menyandang nama murid Prabu Siliwangi.

(Suara auman harimau menggema di kejauhan, pertanda bahwa malam ini bukan malam biasa…)