Angin dingin berhembus pelan melewati gang-gang sempit Karang Tirta, membawa serta bau kotoran industri yang mengendap di udara. Matahari mulai tenggelam di balik gedung-gedung tinggi yang menjulang bak raksasa kelaparan, menelan habis cahaya terakhir hari itu. Di salah satu sudut kota yang paling terlupakan, Aditya duduk di tangga kayu reyot di depan rumah kontrakannya, memandangi langit yang perlahan berubah menjadi merah gelap.
Hari ini adalah hari yang sama seperti kemarin—dan mungkin juga akan sama dengan esok. Sebuah siklus tanpa akhir dari pekerjaan keras, upah kecil, dan mimpi-mimpi yang semakin pudar. Setiap pagi, dia bangun sebelum ayam berkokok, menempuh perjalanan satu jam dengan angkutan umum menuju pusat kota, tempat ia bekerja sebagai teknisi di PT Lintang Abadi, salah satu korporasi besar yang mendominasi Karang Tirta. Namun, meski lelah seharian bekerja memperbaiki mesin-mesin canggih, gaji yang ia bawa pulang hanya cukup untuk bertahan hidup selama beberapa minggu.
"Adit, kamu belum masuk?" suara lembut ibunya menyentakkan pikirannya. Ibu Siti, wanita paruh baya dengan wajah penuh kerut karena usia dan kelelahan, muncul di pintu dengan sapu lidi di tangan. Rambutnya yang mulai memutih terselip di balik jilbab sederhana, dan matanya tampak sayu namun tetap hangat.
"Sekarang lagi istirahat, Bu," jawab Aditya singkat, mencoba tersenyum meski hatinya dipenuhi kepedihan. Dia tahu betul bahwa senyum itu tidak cukup untuk menutupi semua beban yang mereka tanggung bersama.
Ibu Siti menghela napas pelan, lalu duduk di samping anaknya. "Aku tahu kamu capek, Nak. Tapi kita harus tetap kuat. Allah pasti punya rencana baik untuk kita."
Aditya hanya mengangguk, tak sanggup berkata apa-apa. Dalam hati, dia sering bertanya-tanya apakah Tuhan benar-benar melihat penderitaan mereka. Bagaimana mungkin ada rencana baik ketika setiap hari terasa seperti pertarungan melawan waktu? Ketika setiap keputusan yang dia buat selalu dibatasi oleh uang? Ketika bahkan sekadar membeli obat untuk ibunya yang sering sakit kepala pun harus dipikirkan berkali-kali?
Malam itu, seperti biasa, mereka makan malam dengan lauk sederhana: nasi putih dan tumis kangkung yang hampir habis bumbunya. Aditya menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, tapi rasanya hambar. Bukan karena masakan ibunya kurang enak, melainkan karena lidahnya sudah terbiasa dengan kepahitan hidup. Pikirannya terus melayang pada tagihan listrik yang belum dibayar, cicilan utang ke warung tetangga yang semakin menumpuk, dan biaya sekolah adiknya, Ani, yang semakin mahal setiap tahun.
"Adit," panggil ibunya pelan, membuyarkan lamunan Aditya. "Kamu ingat cerita tentang desa kita dulu?"
Aditya mengangguk. Tentu saja dia ingat. Sejak kecil, ibunya sering bercerita tentang masa-masa ketika Karang Tirta masih hijau dan damai. Tentang ladang-ladang yang subur, sungai-sungai yang jernih, dan orang-orang yang saling membantu tanpa pamrih. Namun, semua itu lenyap ketika korporasi besar datang dan mengambil alih tanah mereka. Pohon-pohon ditebang, sungai-sungai tercemar, dan penduduk asli dipaksa menjual tanah mereka dengan harga murah. Hanya segelintir orang yang bisa bertahan, termasuk keluarga Aditya, meskipun hidup mereka kini jauh dari kata layak.
"Aku cuma ingin kamu tahu," lanjut ibunya, suaranya bergetar sedikit, "bahwa meskipun sekarang kita susah, kita tidak boleh menyerah. Kamu harus tetap percaya bahwa ada harapan, Nak. Ada cahaya di ujung jalan ini."
Aditya menunduk, menatap mangkuk nasinya yang hampir kosong. Dia ingin percaya pada kata-kata ibunya, tapi sulit. Terlalu banyak hal yang membuatnya ragu. Terlalu banyak ketidakadilan yang membuatnya marah. Dia tahu bahwa korporasi besar seperti PT Lintang Abadi adalah penyebab semua penderitaan ini. Mereka menghisap kekayaan Karang Tirta sampai tandas, meninggalkan rakyat kecil seperti dirinya dalam lumpur kemiskinan.
Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanyalah seorang pemuda biasa, tanpa kekuasaan atau pengaruh. Bahkan untuk protes pun dia takut, karena dia tahu bahwa perusahaan itu memiliki mata dan telinga di mana-mana. Jika dia berani melawan, mungkin besok dia sudah kehilangan pekerjaannya—dan tanpa pekerjaan, bagaimana caranya membayar tagihan dan memberi makan keluarganya?
Namun, di tengah kebuntuan pikirannya, sebuah ide kecil mulai tumbuh. Ide itu muncul ketika dia mengingat percakapan dengan teman lamanya, Nisa, seorang jurnalis muda yang pernah tinggal di lingkungan yang sama dengannya. Beberapa bulan lalu, Nisa pernah menghubunginya, bertanya apakah dia tahu sesuatu tentang praktik ilegal yang dilakukan PT Lintang Abadi. Saat itu, Aditya menolak untuk bicara, takut risikonya terlalu besar. Tapi sekarang, dia mulai berpikir ulang.
"Mungkin... mungkin aku bisa melakukan sesuatu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada ibunya.
Ibu Siti menoleh padanya, matanya berbinar meski samar. "Apa yang kamu maksud, Nak?"
Aditya tidak langsung menjawab. Dia masih ragu, masih takut. Tapi di dalam hatinya, api kecil mulai menyala. Api yang mungkin bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan.
---
Esok paginya, Aditya bangun lebih awal dari biasanya. Udara masih dingin, dan embun masih menetes dari daun-daun yang tersisa di halaman belakang rumah. Dia mengenakan seragam kerjanya yang sudah lusuh, lalu mengambil tas kecil berisi perkakas teknisi. Sebelum berangkat, dia melihat ibunya yang sedang menyiapkan teh panas di dapur.
"Bu, aku berangkat dulu," katanya, suaranya terdengar lebih mantap dari biasanya.
Ibu Siti menoleh, tersenyum lembut. "Hati-hati ya, Nak. Semoga hari ini lebih baik."
Aditya mengangguk, lalu melangkah keluar. Dia naik angkutan umum yang penuh sesak, duduk di pojok sambil memandangi jendela. Di luar, pemandangan Karang Tirta tampak semakin suram. Gedung-gedung tinggi berdiri megah di tengah kota, sementara rumah-rumah kumuh tersebar di pinggiran. Sungai yang dulunya jernih kini berwarna hitam pekat, dipenuhi limbah industri. Udara terasa berat, seolah membawa beban ribuan orang yang hidup dalam ketidakadilan.
Saat tiba di kantor PT Lintang Abadi, Aditya langsung menuju ruang teknisi. Hari itu, dia mendapat tugas untuk memperbaiki salah satu mesin besar di pabrik utama. Mesin itu sangat penting bagi operasi perusahaan, dan jika rusak terlalu lama, produksi bisa terhenti. Aditya bekerja dengan tekun, memastikan setiap komponen berfungsi dengan baik. Namun, saat sedang memeriksa bagian dalam mesin, dia menemukan sesuatu yang mencurigakan: sebuah pipa kecil yang tampaknya digunakan untuk membuang limbah kimia secara ilegal.
Jantung Aditya berdebar kencang. Dia tahu bahwa ini adalah bukti nyata dari praktik ilegal yang dilakukan perusahaan. Jika dia melaporkan hal ini, mungkin ada harapan untuk menghentikan penderitaan rakyat Karang Tirta. Tapi di sisi lain, dia juga sadar bahwa risikonya sangat besar. Jika perusahaan tahu bahwa dia mengetahui rahasia ini, hidupnya bisa dalam bahaya.
Setelah selesai memperbaiki mesin, Aditya diam-diam mengambil foto pipa itu menggunakan ponselnya. Dia menyimpannya dengan hati-hati, lalu melanjutkan pekerjaannya seperti biasa. Sepanjang hari, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan: Apakah dia harus melaporkan hal ini? Kepada siapa? Dan bagaimana caranya agar dia tetap aman?
Pulang kerja, Aditya memutuskan untuk mengunjungi Nisa. Dia tahu bahwa Nisa adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya. Setelah menempuh perjalanan singkat, dia tiba di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat Nisa sering bekerja. Wanita muda itu sedang duduk di sudut, mengetik sesuatu di laptopnya. Ketika melihat Aditya masuk, dia tersenyum ramah.
"Adit! Sudah lama nggak ketemu. Ada apa?" tanya Nisa, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Aditya duduk di hadapannya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Nis, aku butuh bantuanmu. Aku menemukan sesuatu di tempat kerjaku. Sesuatu yang bisa membuktikan bahwa PT Lintang Abadi melakukan praktik ilegal."
Nisa langsung tegak duduknya, matanya berbinar. "Serius? Apa yang kamu temukan?"
Aditya menunjukkan foto pipa itu di ponselnya. "Ini. Mereka membuang limbah kimia secara ilegal. Aku yakin ini adalah salah satu penyebab utama pencemaran di Karang Tirta."
Nisa memandang foto itu dengan serius. "Ini besar, Adit. Kalau kita bisa membuktikan ini, kita bisa membongkar kejahatan mereka."
"Tapi aku takut, Nis. Kalau mereka tahu aku yang melaporkan ini, aku bisa celaka."
Nisa menepuk bahu Aditya dengan lembut. "Kita harus hati-hati. Tapi percayalah, ini adalah kesempatan kita untuk melawan ketidakadilan. Kita bisa bekerja sama untuk mengungkap kebenaran."
Aditya mengangguk pelan. Dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju perubahan. Langkah yang penuh risiko, tapi juga penuh harapan.
---
Malam itu, Aditya pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa jalan yang dia pilih tidak akan mudah. Tapi di dalam hatinya, api kecil yang mulai menyala kemarin kini semakin membara. Dia yakin bahwa meskipun dunia terasa gelap, cahaya di ufuk timur masih bisa bersinar.
Dan ketika dia melihat ibunya yang sedang tersenyum lembut di depan pintu, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Bersama-sama, mereka akan berjuang untuk masa depan yang lebih baik.