Suara genderang yang bergemuruh memenuhi udara, berpadu dengan raungan pedang yang beradu dan teriakan prajurit yang membelah langit. Abdi berdiri di tengah kekacauan, matanya menelisik sekeliling dengan napas memburu. Pekikan kuda yang berpacu, jeritan kesakitan, dan bau anyir darah bercampur dalam udara yang pekat oleh debu dan asap.
Tangan Abdi meraba sesuatu yang lengket di tanah. Ketika ia mengangkat telapak tangannya, cairan merah pekat menetes di antara jemarinya. Amis. Anyir. Perutnya bergejolak. Ia melangkah mundur, namun kakinya tersandung sesuatu. Pandangannya jatuh pada sebuah tongkat kayu dengan dua utas bulu tersemat di ujungnya. Napasnya semakin berat saat matanya mengikuti batang kayu itu hingga ke pangkalnya—seorang prajurit terkapar dengan mata kosong menatap langit, dada berlubang oleh tombak yang masih tertancap di tubuhnya.
Abdi menjerit, tubuhnya limbung, namun sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, suara gemuruh yang lebih besar terdengar. Dari kejauhan, seorang panglima berbaju besi keemasan melintas, membawa panji kebesaran kerajaannya. Mata panglima itu menatapnya tajam, seolah mengenali Abdi. Saat Abdi hendak bertanya siapa dia, tiba-tiba sebuah tombak melesat ke arahnya. Ia mencoba menghindar, namun sebelum senjata itu mengenainya, semuanya berubah.
Abdi terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Matanya menatap sekeliling—ia masih berada di ruang guru, kepalanya bersandar di atas tumpukan buku. Mimpi itu terasa begitu nyata, seakan ia benar-benar berada di tengah peperangan.
Siang itu, matahari bersinar terik, menyinari halaman sekolah tempat anak-anak bermain riang. Abdi duduk di ruang guru, masih berusaha menenangkan dirinya setelah mimpi aneh yang dialaminya. Ia bukan orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis, tetapi mimpi itu terasa begitu nyata.
Abdi adalah seorang kutu buku sejati. Sejak kecil, ia gemar membaca, terutama buku-buku sejarah. Baginya, masa lalu bukan sekadar kumpulan peristiwa yang telah berlalu, tetapi sebuah jendela yang membuka pemahaman tentang dunia. Kegemarannya itu membawanya menjadi seorang guru sejarah di sekolah dasar ini, meskipun banyak orang mengatakan bahwa mengajar anak-anak adalah tugas yang melelahkan. Namun, bagi Abdi, mengajarkan sejarah dengan cara yang menyenangkan adalah kepuasan tersendiri.
Setiap harinya, ia selalu mencari cara baru untuk membuat murid-muridnya tertarik pada sejarah, entah dengan bercerita seperti seorang pendongeng, menggunakan ilustrasi, atau membuat kuis interaktif. Tapi hari ini, pikirannya masih terbayang pada mimpi yang begitu nyata tadi malam—mimpi tentang perang, darah, dan seorang panglima yang menatapnya seolah mengenalnya.
Bel tanda masuk berbunyi nyaring, membuyarkan lamunannya. Abdi tersentak, menyadari bahwa ia harus segera menuju kelas. Ia merapikan buku-bukunya, lalu melangkah cepat menuju ruang kelas 5C, tempat ia akan mengajar sejarah Indonesia pada jam kelima hari itu. Sambil berjalan di koridor, ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Mimpi itu masih membekas di benaknya, tetapi kini saatnya ia kembali ke dunia nyata—setidaknya, itulah yang ia pikirkan saat itu.
Tanpa ia sadari, tubuhnya kini telah berdiri tepat di depan pintu kelas 5C. Ia menghembuskan napas perlahan, menata ekspresinya agar tetap tenang dan berwibawa. Dengan langkah mantap, ia mendorong pintu kayu itu dan masuk ke dalam kelas. Seketika, suasana kelas yang semula riuh menjadi lebih tertata saat para siswa menyadari kehadirannya. Abdi berjalan menuju meja guru yang terletak di pojok kanan depan kelas, lalu meletakkan buku-bukunya dengan rapi.
"Assalamu'alaikum, selamat siang anak-anak," sapanya dengan suara yang tenang namun berwibawa.
"Wa'alaikumsalam, selamat siang Pak Abdi!" jawab para siswa serempak.
Dengan senyum kecil, Abdi mengangguk puas. Ia membuka daftar hadir, mulai memanggil nama satu per satu. Sambil mengabsen, pikirannya sesekali melayang kembali ke mimpi aneh yang dialaminya tadi malam. Namun, kini ia harus fokus. Sejarah Indonesia menantinya untuk diceritakan kepada anak-anak di hadapannya.
Setelah daftar hadir selesai, Abdi berdeham dan mulai menulis di papan tulis: Perang Paregreg – Pertempuran di Akhir Majapahit.
"Anak-anak, hari ini kita akan membahas salah satu perang saudara paling berpengaruh dalam sejarah Majapahit, yaitu Perang Paregreg," ujarnya sambil menatap murid-murid yang mulai menunjukkan ketertarikan.
Abdi mulai bercerita. "Perang ini terjadi pada akhir kejayaan Majapahit, sekitar tahun 1400-an, ketika kerajaan ini terpecah menjadi dua kekuatan besar: Istana Barat yang dipimpin oleh Wikramawardhana dan Istana Timur yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi. Awalnya, Majapahit adalah kerajaan yang kuat, tetapi seiring waktu, perebutan kekuasaan mulai merusak kestabilannya."
Ia melanjutkan, "Bisa kalian bayangkan, dua kubu ini mengerahkan pasukan terbaik mereka. Ribuan prajurit bertempur di bawah panji masing-masing, tombak-tombak terangkat, dan suara genderang perang menggema. Pasukan berkuda melaju dengan kecepatan tinggi, menerjang barisan lawan. Panah melesat dari menara-menara pertahanan, sementara suara dentingan pedang bersahutan di medan pertempuran yang berdebu."
Anak-anak semakin terhanyut dalam cerita, seolah mereka benar-benar bisa melihat adegan peperangan itu di depan mata mereka.
"Pada akhirnya, Istana Barat berhasil memenangkan perang ini. Bhre Wirabhumi, pemimpin Istana Timur, tertangkap dan dihukum mati. Namun, kemenangan ini bukannya tanpa akibat. Perang Paregreg melemahkan Majapahit dari dalam, menyebabkan ketidakstabilan politik, dan menjadi awal dari runtuhnya kerajaan yang pernah berjaya di Nusantara ini."
Abdi menatap para siswanya, melihat ekspresi kagum dan rasa ingin tahu di wajah mereka. "Jadi, anak-anak, dari sejarah ini kita belajar bahwa perang saudara bisa melemahkan sebuah kerajaan besar. Jika tidak ada persatuan, maka sebesar apa pun kekuatan yang kita miliki, lambat laun akan runtuh."
Beberapa murid mengangguk pelan, mulai memahami makna yang lebih dalam dari kisah itu.
Namun, saat Abdi hendak menutup bukunya, matanya tertuju pada sebuah buku tua bersampul cokelat yang terselip di antara buku pelajaran sejarah di mejanya. Buku itu terlihat asing, seakan baru saja muncul di sana. Di sampulnya, terukir aksara Jawa kuno: ꦧꦧꦢ꧀—Babad, yang berarti awal mula.
Abdi mengernyit, merasa penasaran. Namun, ia mengabaikan buku itu untuk sementara. Waktu sudah menunjukkan jam pulang sekolah, dan ia harus segera bergegas merapikan barang-barangnya. Dengan cepat, ia menumpuk buku-buku pelajaran dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, ia melangkah keluar kelas, berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai lengang.
Di luar, matahari sore menggantung rendah di langit, menyinari halaman sekolah yang mulai sepi. Beberapa guru dan murid masih terlihat berbincang di sudut-sudut lorong, namun kebanyakan sudah bergegas pulang. Abdi menarik napas panjang, mencoba menghilangkan sisa kegelisahan dalam pikirannya. Tanpa sadar, pikirannya kembali terbayang pada buku misterius yang ia temukan tadi.
Bersambung ................................................................