Bab 2: Di Antara Denting Peluru dan Detak Jantung
Malam itu, di tengah hutan yang sunyi, hanya suara rintik hujan yang menemani. Tenda-tenda militer berdiri kokoh meski diterpa angin malam. Suasana tenang ini seolah menjadi jeda singkat di antara hiruk-pikuk perang yang tak kunjung usai.
Di salah satu tenda, Lucio Noil duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Pikirannya melayang pada sosok Claudia Clara, perawat yang selalu hadir dengan senyum hangatnya di tengah medan perang. Namun, bayangan Arthur Agrof, rekannya sesama tentara, juga tak lepas dari benaknya. Arthur dan Claudia tampak semakin dekat akhir-akhir ini, membuat hati Lucio diliputi rasa cemburu yang tak terelakkan.
Tiba-tiba, suara ledakan keras memecah keheningan malam. Tanah bergetar, dan alarm tanda bahaya berbunyi nyaring. Lucio segera bangkit, meraih senapannya, dan berlari keluar tenda. Di kejauhan, terlihat api membumbung tinggi, menandakan serangan musuh yang mendadak.
Di tenda medis, Claudia sedang memeriksa persediaan obat ketika guncangan terasa. Tanpa ragu, ia segera bersiap menerima gelombang tentara yang kemungkinan akan terluka. Arthur muncul di pintu tenda, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Claudia, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan napas tersengal.
Claudia mengangguk. "Aku baik. Kita harus bersiap. Mereka akan segera datang."
Sementara itu, Lucio memimpin pasukannya menuju garis depan. Dentuman senjata dan teriakan pertempuran memenuhi udara. Di tengah kekacauan, pikiran Lucio tetap terpaku pada Claudia. Ia harus memastikan tenda medis aman.
Setelah berjam-jam pertempuran sengit, pasukan berhasil memukul mundur musuh. Dengan tubuh lelah dan luka di lengan, Lucio berjalan menuju tenda medis. Di sana, ia melihat Claudia dan Arthur bekerja sama merawat para tentara yang terluka. Hatinya berdesir melihat kedekatan mereka.
"Lucio!" panggil Claudia saat melihatnya. "Kau terluka. Duduklah, biar aku periksa."
Lucio tersenyum lemah dan duduk di kursi terdekat. "Hanya luka kecil. Bagaimana keadaan di sini?"
"Beberapa luka serius, tapi kami bisa menanganinya," jawab Claudia sambil membersihkan luka di lengan Lucio. "Kau harus lebih berhati-hati."
Arthur mendekat, membawa perban. "Kau selalu saja ceroboh, Lucio."
Lucio tertawa kecil. "Itu bagian dari pekerjaanku."
Malam itu, di tengah tenda medis yang sibuk, tiga hati berdenyut dalam irama yang berbeda. Lucio dengan perasaannya yang terpendam, Claudia dengan kebingungannya, dan Arthur dengan perhatian yang tulus. Di antara denting peluru dan detak jantung, cinta dan persahabatan diuji dalam api pertempuran.